Assalammu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Welcome to Blog ADAM DIANSUNI IDIIL (ADID) MUTHALIB

Minggu, 13 Maret 2016

MELAWAN DILEMA

"You can't build a reputation on what you are going to do." (Henry Ford) Fenomena yang menarik di negara Indonesia adalah bisa bersatunya dua “budaya/karakter” yang berlawanan dalam satu individu karena mengikuti kepentingan, yaitu budaya ngetem dan budaya instan. Budaya ngetem biasanya muncul pada waktu seseorang tersebut menjadi penyedia layanan (service provider), sementara budaya instan muncul pada waktu orang yang sama menjadi pelanggan (customer). Istilah ngetem sendiri rasanya hanya ada di Indonesia, karena sulit mencari padanan katanya dalam bahasa internasional misalnya bahasa Inggris. Banyak contoh aktivitas yang memperlihatkan bagaimana budaya ngetem dilakukan. Hal yang paling kita kenal dalam keseharian adalah angkutan umum yang terbiasa berhenti di suatu lokasi tertentu untuk waktu tertentu, menunggu calon penumpang hingga dirasa cukup oleh si awak bis. Namun contoh tersebut bukan hanya di jalan. Kita sering melihat di berbagai acara resmi kantor yang waktunya sudah ditentukan, ternyata tertunda untuk dimulai karena pertimbangan yang sama seperti angkutan umum yang ngetem, misalnya menunggu undangan penuh atau menunggu seseorang yang diperlakukan sebagai undangan khusus/VIP. Demikian pula seringkali kita melihat aktifitas kantor selama jam kerja yang ternyata banyak diisi dengan “haha-hihi” yang berkelanjutan atau lunch time yang molor. Bila hal seperti ini kerap dilakukan atau bahkan menjadi kebiasaan, maka aktivitas di kantor tersebut bisa diibaratkan seperti ngetem dengan resiko penumpukan kerja yang bias menjadi opportunity loss. Atau dampak lainnya adalah bertambahnya biaya lembur, yang jika berulang terjadi bisa berakibat pada kenaikan overhead cost dan menurunnya produktifitas karena secara alamiah efektivitas beban tubuh manusia sudah diatur dan diukur sedemikian rupa oleh Allah. Dampak kedua hal tersebut secara kolektif adalah menurunnya competitiveness perusahaan. Pertanyaan selanjutnya berkaitan dengan budaya ngetem adalah mana yang seharusnya dilakukan, apakah menunggu hingga penuh (sempurna) baru jalan, atau biarkan semua berjalan mengikuti waktu Pada dasarnya kita harus memiliki keyakinan bahwa Allah sudah mengatur segalanya, sehingga kita tinggal mengikuti jalan/caraNya. Manusia tidak dapat menghentikan waktu dengan segala konsekuensi kejadian yang tidak bisa diputar kembali oleh manusia. Atas dasar keyakinan tersebut, maka sebagai mahluk kita tinggal menjalankan segala rencana Allah dengan tawakal karena tidak ada satupun kejadian di dunia ini kecuali dengan izin Allah. Berkaitan dengan munculnya pandangan seperti diatas, kita perlu melihat dua hal yang jika dipahami sepintas, keduanya dianggap mempunyai pengertian yang sama, yaitu : ngetem dan tawakal. Keduanya seringkali dimaknai tidak berbuat apa-apa karena biasanya individu yang melakukan masing-masing dari kedua hal tersebut cenderung terlihat pasif, yaitu menunggu sesuatu yang akan terjadi padanya. Tetapi jika kita melihat implementasi dari kedua hal tersebut tersebut secara end to end sebagai suatu proses, maka kita akan melihat bahwa keduanya tidak hanya dapat dimaknai sebagai dua hal yang relatif sama, namun justru bahkan sama sekali berbeda. Kita bisa melihat bahwa apabila kita melakukan ikhtiar dengan tawakal berarti kita telah melakukan sesuatu yang benar dengan didasari keyakinan bahwa apa yang terjadi adalah dengan izin Allah. Hal ini tentunya berbeda dengan ngetem, yaitu diam menunggu apa yang akan datang/terjadi pada kita, namun setelah itu kita melakukan tindakan secara berbeda (kontradiktif) yaitu terburu-buru dan cenderung impulsif dengan dalih mengejar rezeki Allah. Belakangan ini di media sosial kita melihat banyak beredar komentar-komentar yang skeptis terhadap upaya-upaya yang tengah dilakukan oleh pemerintah dalam mengembangkan infrastruktur di negara kita. Berbagai komentar yang muncul, sebagian besar intinya adalah menganggap bahwa upaya-upaya pembangunan yang dilakukan dirasakan lambat dan tidak langsung mengena ke masyarakat sehingga dipertanyakan efektivitasnya. Mengutip ucapan Ernest Hemingway “Never confuse movement with action”, seharusnya komentar-komentar seperti itu bisa disikapi secara bijak dan dewasa agar tidak menimbulkan dilema yang meluas di masyarakat. Bagi kita sebagai bagian dari masyarakat, pilihannya adalah apakah akan mendukung polemik yang terus diciptakan dan secara cepat atau lambat akan membawa kita kembali kepada kondisi ngetem (status quo), atau justru mendukung dengan keyakinan bahwa perubahan yang sedang terjadi adalah atas izin Allah, serta mendahulukan prasangka baik (husnudzon) bahwa ikhtiar yang sedang dilakukan oleh para pemimpin bangsa merupakan bentuk tindakan yang didasari oleh sikap tawakal kepada Sang Pencipta. Apabila setiap anggota masyarakat sudah memiliki keyakinan dan sikap tawakal demikian, maka akan berkuranglah dilema yang justru akan memecah-belah masyarakat. Kondisi ini akan menguntungkan pihak-pihak yang sebelumnya merasa dirugikan akibat terjadinya perubahan, dan berpotensi menimbulkan bahaya yang lebih besar apabila kita tidak bersatu. Maka kuncinya adalah bertawakalah kepada Allah. “One of the basic causes for all the trouble in the world today is that people talk too muh and think too little. They act impulsively without thinking. I always try to think before I talk.” (US Senator Margaret Chase Smith) Mandiri University Group (14032016)

Rabu, 11 Februari 2015

INTEGRITY MARKETING

"If we cannot do great things, we can do small things in a great way." -- Oliver Wendell Holmes. Baru-baru ini di salah satu koran nasional menampilkan berita tentang adanya biro jodoh syariah/islami. Tujuan pendirian biro jodoh tersebut pada prinsipnya sama dengan biro jodoh lain pada umumnya, yaitu sebagai penghubung/mediator bagi mereka yang ingin mencari pasangan. Yang membedakan mereka dari biro jodoh lain adalah cara kerjanya yang menghindari terjadinya penyalahgunaan tujuan tersebut, seperti yang selama ini sering kita dengar, bahkan tentang penyalahgunaan media sosial oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk menemukan “mangsa” dengan tujuan penipuan materiil maupun non materiil. Proses kerja yang dilakukan oleh biro jodoh syariah ini adalah melalui mekanisme “ta’aruf”, suatu istilah dalam perjodohan di Islam yang artinya perkenalan antara pria dan wanita dengan sasaran akhir untuk mendorong hubungan keduanya ke arah pernikahan. Penggunaan istilah berbahasa Arab inipun sesuai dengan tujuan dan maknanya, bukan hanya supaya terdengar islami. Karena pernah salah satu teman yang hobi main golf mengatakan bahwa sekarang permainan golf sudah sesuai syariah, karena taruhannya menggunakan metode “bagi hasil”, suatu istilah yang dikenal umum dalam perbankan syariah, namun sayangnya digunakan dengan tujuan dan makna yang berbeda. Dalam konteks mediasi diatas, ta’aruf sendiri merupakan suatu proses yang melibatkan ketiga pihak terkait yaitu pihak yang mempertemukan dengan kedua pihak yang akan dipertemukan. Dalam proses ta’aruf, pihak yang mempertemukan (dhi biro jodoh) harus memiliki informasi selengkap mungkin mengenai masing-masing orang yang meminta bantuannya. Berdasarkan informasi dan data yang diperolehnya, pihak biro jodoh akan mencari kesesuaian dengan data lawan jenis yang paling mendekati (matched) dengan data calon yang sedang diproses. Jadi proses penentuan lawan pasangannya tidak bisa dengan cara acak atau hanya mencari kesesuaian dengan kriteria fisik berdasarkan permintaan salah satu pihak. Apa yang terjadi dalam proses perjodohan melalui ta’aruf seperti digambarkan diatas, tampaknya bisa dianalogikan dengan marketing. Seorang marketer bertindak layaknya seorang mediator seperti di biro jodoh, yang memiliki tujuan untuk mempertemukan antara penjual/barang yang akan dijual dengan pembeli/barang dibutuhkan. Dan ini yang membedakannya dengan seorang sales. Seorang sales yang dalam menjual barang, apa yang dilakukannya bisa diidentikkan dengan cara seorang mediator biro jodoh yang menentukan pasangan secara acak atau hanya berdasarkan kesesuaian mengenai kriteria fisik. Tujuan seorang sales hanyalah untuk menjual barang yang dititipkan padanya sebanyak mungkin, sehingga apa yang dilakukannya adalah berusaha mencocokkan (matching) fitur barang yang dijualnya dengan kebutuhan calon pembeli (product push). Seorang marketer tentu tidak semestinya memaksakan barang-barangnya terjual seperti yang dilakukan oleh seorang sales. Untuk menghindari praktek demikian, seorang marketer harus benar-benar memahami tentang produk dan pelanggan seperti layaknya seorang mediator biro jodoh memahami tentang masing-masing individu yang akan dijodohkannya. Dari sisi produk, seorang marketer tidak boleh hanya mengetahui fiturnya saja, tapi juga harus mampu menjelaskan apa benefit yang bisa diberikan sesuai fitur yang dimiliki produk tersebut, dan bagaimana pelanggan dapat memanfaatkan produk tersebut untuk menyelesaikan permasalahannya (Feature-Benefit-Solution). Dari sisi lain, yaitu pemahaman mengenai pelanggan, seorang marketer harus benar-benar mengenal pelanggannya dengan baik, dan tidak memperlakukannya seperti walk-in customer. Seorang marketer harus memahami karasteristik dan kompetensi pelanggannya, serta harus bisa menempatkan diri dalam posisi sebagai pelanggan (customer’s point of view) untuk bisa mengetahui kebutuhan pelanggan secara spesifik. Proses seorang marketer menentukan kesesuaian produk tertentu dari sekian banyak produk yang dimilikinya dengan kebutuhan pelanggan sama seperti proses seorang mediator di biro jodoh menemukan pria/wanita mana yang cocok menjadi pasangan lawan jenisnya dari sekian banyak orang yang mendaftar di biro jodohnya. Berbeda dengan hasil kerja sales yang cenderung bekerja satu-arah (one way communication) karena “mengarahkan dan meyakinkan” calon pembelinya untuk membuat mereka merasa memang membutuhkan barang yang akan dijualnya. Proses mempertemukan yang dilakukan seorang marketer hasilnya tidak harus langsung klop, tapi biasanya membutuhkan semacam proses sinkronisasi atau bahkan kalibrasi, hingga pelanggan benar-benar buy-in. Sama halnya dengan proses ta’aruf yang biasanya diikuti pertemuan-pertemuan lanjutan yang difasilitasi oleh si mediator yang biasanya berakhir dengan komitmen berupa pernikahan. Untuk dapat melalui tahapan-tahapan tersebut hingga mencapai tujuan, diperlukan sikap dan tindakan yang selalu didasarkan pada prasangka baik (khusnudzon), konsisten pada tujuan baik (istiqomah), serta kejujuran dan keikhlasan hati. Bila semua ini dijalankan sesuai itikad baik, maka insyaa Allah dapat tercapai apa yang menjadi tujuan dari kedua proses diatas yang serupa tapi tak sama: bagi mediator biro jodoh terwujudnya pasangan bahagia yang menjalani pernikahan dengan langgeng, dan bagi marketer loyal customer. (11022015)

Selasa, 27 Januari 2015

KETIKA TUJUAN MENGHALALKAN CARA

"No man has a good enough memory to be a successful liar."(Abraham Lincoln) Sebagaimana kondrat yang telah ditentukan Allah untuk manusia, maka setiap manusia yang terlahir ke bumi sudah mendapatkan fitrahnya untuk menjadi seorang pemimpin, paling tidak pemimpin bagi dirinya sendiri ataupun bagi lingkungan terdekatnya seperti keluarga. Kodrat sebagai pemimpin di muka bumi ini dipertegas oleh hakikat dan predikat khusus yang diberikan Allah hanya kepada setiap insan manusia, yaitu menjadi khalifah (utusan) Allah. Dalam perjalanan kehidupannya, manusia sebagai mahluk yang lemah seringkali teralihkan perhatiannya dari tujuan utama hidup oleh target-target sementara yang sifatnya fana dan duniawi. Perjalanan kehidupan dunia yang relatif dirasakan panjang dan lama membuat manusia terkadang menciptakan target-target antara yang sifatnya subyektif dan penuh dengan pembenaran. Padahal kehidupan di dunia sendiri merupakan sebuah proses perjalanan menuju tujuan akhir yang sebenarnya, sehingga target-target antara yang diciptakan di dunia seharusnya hanya bersifat sementara dan merupakan bagian dari proses perjalanan, bukan tujuan. Sebagaimana layaknya sebuah proses, maka perjalanan kehidupan berkaitan erat dengan perjalanan waktu. Permasalahan yang muncul dan seharusnya dirasakan manusia bukanlah betapa terbatasnya waktu yang harus dilalui di dunia, namun bagaimana manusia memanfaatkan waktu agar dapat menjalankan kewajiban sebagai khalifah sehingga tidak membuatnya termasuk golongan yang merugi. Seorang pemimpin yang amanah bukan hanya menyuruh kepada yang lain untuk berbuat, namun juga selalu memberikan contoh yang baik (uswatun hasanah) secara ikhlas dan konsisten, atau yang dalam bahasa manajemen modern dikenal dengan istilah “walk the talk”. Mengutip ucapan Winston Churchill “I am always ready to learn, although I do not always lilke being taught”, seseorang diikuti dan dijadikan panutan dengan ikhlas bukan karena apa yang dia perintahkan namun apa yang dicontohkan secara konkrit dalam perbuatannya sehari-hari. Saat ini banyak bermunculan pemimpin-pemimpin baru yang pada awalnya dijadikan panutan oleh yang lain karena perbuatan-perbuatannya terlihat membawa kepentingan umum pada kesan pertama, atau yang dalam ilmu Sosiologi disebut sebagai impression management. Namun seiring perjalanan waktu, apa yang dilakukan oleh sebagian pemimpin-pemimpin tersebut ternyata bukanlah didasari oleh fitrahnya sebagai insan yang ingin mencapai tujuan utamanya di dunia sebagai khalifah. Banyak yang menjadikan kepemimpinan ataupun kekuasaan yang didapatkannya tersebut sebagai tujuan-tujuan antara untuk mencapai kepentingan-kepentingan pribadinya yang dianggap lebih berharga walaupun mereka tahu pencapaian tersebut sifatnya semu dan sementara. Kita mengenal istilah-istilah yang muncul di masyarakat untuk memberikan gambaran tentang kondisi-kondisi seperti diatas. Ada istilah STMJ yang dipelesetkan menjadi “Sholat Terus, Maksiat Jalan”, NATO (“No Action, Talk Only”), atau istilah yang lebih dikenal secara global seperti “The End Justifies the Means” (Tujuan Menghalalkan Cara). Istilah-istilah tersebut sebagai sindiran atas apa yang banyak terjadi di masyarakat. Seharusnya, suatu perbuatan tidak hanya dilihat dari hasil akhirnya, tapi juga dilihat bagaimana proses yang dilalui untuk mencapai tujuan tersebut. "The ability to understand doesn't automatically confer the ability to change." (Robert Parker). Secara umum, setiap kelompok masyarakat secara kolektif sudah menyadari akan pentingnya peran moral dan ketertiban dalam menjaga tatanan kehidupan yang baik. Setiap anggota masyarakat secara sadar maupun tidak sadar dituntut untuk berlaku sesuai norma-norma yang berlaku. Pelajaran tentang norma agama dan etika terus diajarkan dan didapat sejak manusia mulai bergaul dengan lingkungannya. Namun seringkali hal pengetahuan tersebut hanya dalam tataran teoritis, tidak dilaksanakan dalam praktek sehari-hari. Kita tahu bahwa kenyataannya banyak tokoh-tokoh masyarakat yang dikenal karena pemahamannya yang sangat baik tentang norma-norma sosial maupun agama, ternyata perbuatannya tidak dapat dijadikan panutan. Tujuan pendidikan etika dan agama adalah agar manusia membangun sistem pertahanan diri sehingga terhindar dari perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Namun agar sistem pertahanan diri tersebut bisa terbangun dengan baik dan utuh, perlu adanya “law enforcement mechanism”. Idealnya manusia jika akan berbuat yang tidak sesuai norma, maka kesadaran dalam dirinyalah (self control) yang akan menjadi early warning system yang memastikan dirinya melakukan perbuatan halal dan thoyib. Mekanisme yang lain seperti social punishment maupun law punishment control hanya akan menghalangi, namun tidak mencegah manusia dari perbuatan istidraj, karena Allah tetap memberikan peringatan untuk perbuatan yang dilakukan untuk tujuan baik, namun cara/underlyingnya tidak halal. Belajar dari metodologi pembelajaran yang diterapkan oleh Bank dimana Penulis saat ini bekerja, yaitu ”I Know, I Learn, I Share”, maka apa yang kita ketahui seyogyanya juga perlu mekanisme untuk memastikan bahwa hal-hal tersebut telah dilaksanakan, yaitu dengan cara berbagi pengalaman kepada orang lain melalui berbagai media, yang intinya adalah menginformasikan apa yang telah kita praktekkan (Walk the Talk). Dan bukan dengan cara sebaliknya yaitu ”I Want, I Go, I Don’t Care”, yaitu dengan cara memajukan kepentingan-kepentingan pribadi saja yang kita paksakan untuk dilaksanakan dengan mengatasnamakan kepentingan atau kinerja bersama/organisasi, yang pada akhirnya setelah hasilnya menunjukkan ketidakharmonisan, dilakukan pembenaran dengan mengatasnamakan dinamika perubahan dalam organisasi (faktor internal) ataupun perubahan yang diperlukan mengikuti tuntutan persaingan (faktor eksternal). Wallahua’lam.

FUNGSI EDUKASI PERBANKAN

"Don't confuse a clear vision with a short distance." (Paul Saffo, Institute for the Future) Musibah yang menimpa penumpang dan awak pesawat Air Asia menjelang pergantian tahun merupakan sebuah tragedi yang menyisakan rasa duka yang panjang dan mendalam. Kecelakaan tersebut menambah daftar musibah kecelakaan pesawat yang kerap terjadi di negeri ini dan menimbulkan keprihatinan mendalam bagi seluruh elemen bangsa. Tanpa mengurangi rasa prihatin atas kejadian tersebut, yang menarik adalah mengikuti berita penanganan jatuhnya pesawat Air Asia. Berbeda dengan kecelakaan-kecelakaan yang terjadi sebelumnya, penanganan kecelakaan yang terjadi pada awal pemerintahan Presiden Jokowi diwarnai dengan semangat dan respons yang positif dari berbagai pihak, baik instansi yang terkait langsung karena tugas maupun anggota masyarakat yang bersimpati. Seluruh pihak yang bertugas maupun para simpatisan melakukan koordinasi secara terpadu serta fokus pada tujuan untuk penyelamatan penumpang dan awak pesawat yang jatuh, dan semuanya tunduk dan berada di bawah satu komando yaitu Badan SAR Nasional (BASARNAS). Terpadunya koordinasi upaya penyelamatan diatas, selayaknya bisa dijadikan referensi dalam bisnis perbankan di negara kita. Sejauh ini kita sudah melihat bagaimana gencarnya upaya yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah yang berfungsi sebagai regulator, dalam mengatur pengelolaan bisnis perbankan maupun institusi keuangan lainnya di negara kita. Salah satu tujuannya adalah untuk memastikan agar perbankan maupun institusi keuangan lainnya dapat menjalankan fungsinya secara menyeluruh, termasuk fungsi edukasi yaitu untuk mendukung pendidikan di masyarakat agar seluruh anggota masyarakat sadar dan mau menabung/berinvestasi, serta meninggalkan gaya hidup konsumtif. Lembaga-lembaga regulator telah membuat aturan-aturan untuk mengantisipasi persaingan di dunia perbankan dalam mengakuisisi nasabah, seperti membatasi “perang bunga” (price war) maupun persaingan pemberian hadiah seperti kendaraan bermotor dan barang-barang elektronik sebagai bentuk reward kepada nasabah. Namun sangat ketat dan kerasnya persaingan membuat bank-bank mencari-cari cara lain guna mensiasati aturan-aturan yang ada agar dapat memenangkan persaingan yang tampak jelas di depan mata, dan melupakan fungsi dan visi untuk mengedukasi masyarakat. Bank-bank di Indonesia berlomba-lomba membuat marketing program dengan tujuan untuk menggaet dana masyarakat, yang intinya mengiming-imingi hadiah bunga atau berbagai barang yang justru mendorong masyarakat malah menjadi konsumtif. Di sisi lain, ketatnya persaingan dalam membuat berbagai program tersebut memunculkan permasalahan naiknya biaya, baik cost of fund maupun cost of marketing yang semakin membebani kinerja bank. Bandingkan dengan keadaan di Jepang. Masyarakat Jepang memiliki kesadaran yang sudah sangat tinggi utuk menabung/berinvestasi, sehingga mendorong mereka untuk tidak bergaya hidup konsumtif. Suku bunga perbankan di Jepang sudah demikian rendah, bahkan hampir mencapai 0%. Bagi perbankan disana, menaikkan suku bunga di dalam negeri tidak termasuk dalam pilihan karena tidak akan berpengaruh secara signifikan bagi masyarakat Jepang yang sudah investment-minded. "The ability to understand doesn't automatically confer the ability to change." (Robert Parker). Ungkapan tersebut sangat tepat untuk menggambarkan bagaimana perilaku bank-bank di Indonesia seperti yang digambarkan diatas. Di satu sisi bank-bank di Indonesia berusaha untuk mengembangkan bisnisnya untuk dapat meningkatkan profit yang dihasilkan. Namun dengan kondisi persaingan nyaris sempurna yang terjadi di industri perbankan, mendorong langkah-langkah pengembangan bisnisnya banyak dilakukan dalam bentuk pricing strategy yang justru menekan laba. Walaupun mereka memahami perlunya merubah strategi ke arah edukasi yang akan dapat menekan biaya, namun sulit bagi mereka untuk menjalankannya karena ketidakyakinan bahwa bank-bank lain memiliki visi dan strategi yang sama sehingga akan melakukan hal yang sama. Akibatnya tidak seperti upaya penyelamatan korban pesawat Air Asia, langkah-langkah di dunia perbankan menjadi tidak fokus dan tidak terkoordinasi secara terpadu. Untuk itu, perlu adanya gerakan bersama yang didorong oleh semangat dan komitmen yang dikoordinasikan secara terpadu untuk merubah perilaku masyarakat (consumer behavior) terhadap perbankan. Tujuannya yaitu mengedukasi dan mendorong masyarakat agar tidak konsumtif, dan memanfaatkan bank serta institusi-institusi keuangan lainnya sebagai tempat menabung dan berinvestasi, dan bukan untuk mendapatkan hadiah yang menjadi mindset mereka selama ini. Contoh kongkrit yang dapat dilakukan oleh perbankan adalah dengan mempertimbangkan bentuk lain dalam pemberian reward kepada nasabah yang sejalan dengan fungsi bank untuk mengedukasi masyarakat agar gemar menabung/berinvestasi. Misalnya hadiah yang diberikan berupa obligasi, reksadana, asuransi, emas, dan barang-barang lainnya yang bernilai investasi, sehingga mendorong masyarakat untuk giat/sadar melakukan kegiatan finansial secara positif, dan bukan sebaliknya secara tidak langsung mendorong mereka justru untuk semakin berperilaku konsumtif seperti yang terjadi selama ini. Apabila hal ini dapat dikoordinasikan untuk dilaksanakan secara bersama-sama oleh seluruh bank di Indonesia sebagai bagian dari strategi, maka tidak mustahil akan mendorong turunnya cost of fund. Selain itu, akan terbuka peluang untuk kerjasama yang lebih baik lagi antara perbankan dengan institusi-institusi keuangan lainnya yang mengelola investasi baik sebagai selling agent/cross selling maupun dalam bentuk bundling program, tentunya di bawah koordinasi terpadu pemerintah sebagai regulator keuangan misalnya dengan menetapkan parameter-parameter baru dalam mengukur dan menentukan kesehatan lembaga keuangan.

Jumat, 28 Maret 2014

DIKHOTOMI OTONOMI DAN INDEPENDENSI

"Don't confuse a clear vision with a short distance." (Paul Saffo, Institute for the Future) Isu seputar otonomi daerah tidak pernah surut sejak pertama kali dicetuskan sebagai tindak lanjut reformasi, dan kemudian diimplementasikan. Mulai dari isu terkait dengan batas kewenangan, kriteria, pembagian hasil, sampai isu-isu yang intinya membicarakan pembagian “kue” kekuasaan yang menjadi terpecah-pecah (decentralized) sebagai konsekuensi dari otonomi daerah yang dijalankan di negara kita. Bahkan lebih jauh lagi, pemberlakukan otonomi daerah akhirnya mendorong pemecahan/pemekaran wilayah-wilayah dengan pertimbangan dan asumsi bahwa pengelolaan sumberdaya alam akan lebih lebih merata dan lebih fokus untuk kepentingan masyarakat di masing-masing wilayah. Pertimbangan awal otonomi daerah diberlakukan pasca reformasi adalah karena desakan untuk mendistribusikan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah, dengan tujuan agar dapat mempercepat proses pembuatan keputusan. Masing-masing pemerintah daerah (PEMDA) memfokuskan pada bagaimana cara meningkatkan nilai tambah/nilai jual daerahnya dengan memanfaatkan potensi sumberdaya yang ada di daereahnya secara maksimal. Dampaknya adalah eksklusivitas PEMDA-PEMDA tertentu yang memiliki keunggulan komparatif maupun kompetitif karena potensi sumberdaya kelolaan daerahnya. Eksklusivitas tersebut mendorong arogansi dan keinginan mendapatkan hak swakelola/share yang lebih besar, karena daerah-daerah tersebut merasa independen dan karenanya tidak membutuhkan bantuan pemerintah pusat maupun daerah lain. Otonomi daerah juga mengakibatkan banyak aturan-aturan negara yang tadinya diberlakukan secara nasional di seluruh daerah jadi “tidak punya gigi” lagi karena “dikalahkan” oleh kepentingan masing-masing daerah. Dampak otonomi daerah diperburuk lagi dengan adanya kepentingan individu-individu yang menjadi “elite” di pemerintahan daerah, dimana setiap penguasa daerah biasanya memiliki kepentingan masing-masing sebagai “raja lokal” sehingga terjadilah konflik kepentingan. Ekskalasi konflik-konflik kepentingan di daerah akhirnya mencuat di tingkat nasional, yang dampaknya lama-kelamaan memperlebar kesenjangan antara kepentingan nasional negara dan kepentingan daerah. Apabila kita melihat implementasi kebijakan Strategic Business Unit (SBU) di perusahaan, menurut hemat penulis dalam beberapa hal dapat dipersamakan dengan otonomi daerah. Tujuan yang ingin dicapai oleh top management dengan diberlakukannya SBU adalah agar setiap unit bisnis dapat lebih fokus dan detail dalam menggarap sektor/segmen bisnis yang telah ditetapkan oleh manajemen sebagai targetnya. Namun kondisi yang dapat timbul sebagai dampaknya adalah kecenderungan masing-masing unit bisnis hanya berusaha agar target bisnis unit kerjanya dapat tercapai, sehingga segala upaya dilakukan untuk membuat kinerja unit bisnisnya tampak hebat agar dikenal. Untuk memastikan implementasi SBU berjalan sesuai keinginan manajemen, diperlukan komitmen dan ketegasan dari unit kerja yang yang menjalankan fungsi mediasi agar konflik kepentingan antar unit bisnis dapat diminimalisir sehingga keberadaan SBU sebagai unit yang terintegrasi dapat meningkatkan daya saing organisasi di pasar. Keberadaan unit bisnis “moderator” sekaligus menjadi internal strategic partner bagi semua unit bisnis dalam mendapatkan kejelasan arahan strategi manajemen secara makro. Karena implementasi SBU yang tidak dilakukan secara sekaligus/komprehensif biasanya berdampak pada kurang jelasnya arahan yang didapatkan oleh unit bisnis, sementara di sisi lain unit bisnis selalu dituntut untuk dapat mencapai target. Kondisi seperti ini akan mendorong pimpinan setiap unit bisnis untuk selalu memikirkan strategi yang lebih sempit/mikro untuk keberhasilan unit bisnis yang dipimpinnya, terkadang tanpa memikirkan dampaknya secara luas ke organisasi. Seringkali keputusan manajemen untuk menerapkan satu kebijakan disusul dengan arahan untuk segera mengimplementasikannya, terkadang disertai dengan target waktu yang ditentukan oleh manajemen berdasarkan pertimbangan prestise perusahaan di pasar. Keputusan seperti ini seringkali mengharuskan untuk menetapkan dulu target waktu implementasi sesuai keinginan manajemen, baru kemudian menetapkan aturan/ketentuan sambil berjalan (learning by doing). Hal positif dari gaya implementasi seperti diatas adalah target waktu menjadi terukur dan relatif pasti (measurable & framed), sehingga sangat sesuai dan mendukung keinginan pembuat keputusan. Namun di sisi lain, ada beberapa kutipan pendapat yang patut dipertimbangkan terkait gaya implementasi seperti diatas, yaitu: • "If you fail to plan, you are planning to fail." - unknown : perencanaan yang baik dapat menjadi kunci kesuksesan. • “It’s easier to act your way into a new way of thinking than to think your way into a new way of acting.” - Monique Sternin : lebih mudah menuangkan pemikiran sebagai suatu konsep daripada mengimpelementasikannya. • “Any man who can drive safely while kissing a pretty girl is simply not giving the kiss the attention it deserves.” - Albert Einstein : suatu pemikiran/perbuatan yang baik seharusnya dilakukan dengan kesungguhan. • "Competition brings out the best in products and the worst in people." - David Sarnoff : Persaingan dapat menimbulkan jarak antara mereka yang bersaing. • "When a ship sinks, does it matter whether the water came in through a small hole or a large one?" - St. Augustine : Ketidakselarasan dan tidak adanya kerjasama internal yang baik akan berpotensi melemahkan organisasi. Jadi kembali ke dikhotomi antara otonomi dan independensi, pertanyaan yang harus dijawab oleh semua pihak adalah apakah kekuasaan dan kewenangan dapat dijadikan pembenaran untuk memaksakan implementasi keputusan sesuai keinginannya, dengan cara dikemas sebagai suatu kebijakan dengan pertimbangan untuk mendapatkan prestise?

Selasa, 18 Maret 2014

WISATA BLUSUKAN

"If there is any great secret of success in life, it lies in the ability to put yourself in the other's place and to see things from his point of view - as well as your own." (Henry Ford) Setiap kali menghadapi musim liburan, percakapan yang seringkali kita dengar adalah kemana atau bagaimana masing-masing akan memanfaatkan waktu libur tersebut. Biasanya yang diperbincangkan adalah kemana mereka akan pergi berwisata, disesuaikan dengan waktu libur dan anggaran yang tersedia. Berbarengan dengan ramainya persiapan liburan tersebut, biasanya iklan-iklan yang dipasang oleh agen-agen perjalanan juga mulai banyak bermunculan di berbagai media, mulai dari media cektak seperti koran dan majalah hingga media elektronik seperti TV hingga internet dan SMS. Semuanya berlomba-lomba menawarkan paket wisata ke berbagai tujuan baik dalam negeri dan luar negeri, dan masing-masing mengklaim telah berpengalaman dan menawarkan paket wisata yang katanya termurah dan terlengkap, sehingga dijamin tidak akan mengecewakan. Selanjutnya kita dihadapkan pada pilihan apakah akan mengatur sendiri rencana perjalanan wisata tanpa bantuan jasa agen perjalanan, atau pergi dengan menggunakan paket wisata yang ditawarkan agen perjalanan. Pastinya mengatur sendiri rencana bepergian kita akan berbeda dengan bepergian yang diatur oleh agen perjalanan, terutama dari segi pengaturan waktu dan biaya. Tentunya sebelum memutuskan kita perlu memastikan pertimbangan dan kondisi apa yang mendasari kita membuat keputusan. Ada pengalaman yang mungkin dapat menjadi ilustrasi sekaligus inspirasi, yaitu terkait pengalaman penulis dalam mengurus sertifikat tanah di kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) beberapa tahun lalu. Kita sudah sama-sama tahu bahwa citra birokrasi kantor pemerintah di Indonesia yang kurang berjiwa melayani (red tape). Sudah terlalu banyak informasi yang beredar tentang betapa repotnya mengurus sendiri sertifikat tanah di BPN. Informasi negatif yang beredar seperti ini diperparah dengan ketidakpahaman masyarakat sebagai konsumen tentang prosedur, atau ketidakmauan dan ketidaksabaran mereka untuk mempelajari dan menjalankan prosedur pengurusan yang berlaku di BPN. Akibat budaya “serba ingin cepat, tidak mau pusing dan repot” yang cenderung sudah membudaya, akhirnya membuat mereka memilih untuk mengurus sertifikat tanahnya di BPN melalui pihak ketiga atau calo, karena dalam bayangan mereka mengurus sendiri sertifikat tanahnya hingga selesai adalah sesuatu yang mustahil dan tidak memberi nilai tambah. Yang menarik adalah ungkapan yang dikutip dari Walter Bagehot: “The greatest pleasure in life is doing what other people say you cannot do." Dalam diri manusia pada dasarnya terdapat sisi dimana ada keinginan untuk membuktikan kemampuan diri yang menurut orang lain sulit atau bahkan mustahil untuk bisa dilakukan. Hanya saja agar pembuktian tersebut berhasil, yang terpenting adalah bagaimana kita memahami apa yang akan dilakukan serta memitigasi resikonya dengan kesadaran bahwa "Risk comes from not knowing what you're doing." Untuk itu dalam merencanakan perjalanan wisata, perlu perencanaan yang matang karena "If you fail to plan, you are planning to fail." (Warren Buffet). Tujuan utama berwisata seharusnya bukan sekedar berlomba mendapatkan pengakuan atas berapa banyak tujuan yang telah didatangi. Tapi lebih dari itu, seharusnya berwisata juga dalam rangka menambah ilmu dan pengalaman. Ibarat sebuah pelatihan, seharusnya berwisata merupakan proses on the job training (OJT) dimana si pelancong mendapat kesempatan untuk meng-exercise apa yang sudah direncanakan di pikirannya, dan bukan sekedar melaksanakan jadwal yang sudah ditentukan oleh agen perjalanannya. Berlibur seharusnya tidak hanya sekedar melakukan ‘tandem’, digiring oleh agen perjalanan menuju ke tempat-tempat wisata yang sudah menjadi icon/landmark di tempat yang didatangi, biasanya ke tempat-tempat wisata yang sejenis seperti Dufan, Disneyland maupun Universal Studio. Untuk mencapai tempat-tempat wisata tersebut biasanya agen perjalanan menggunakan bisa wisata (charter coach). Padahal berwisata bisa lebih berarti apabila diusahakan agar kita juga melakukan ‘blusukan’, berbaur dalam ritme kehidupan sehari-hari masyarakat setempat dengan menaiki kendaraan umum, karena yang berbeda di setiap tempat justru kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Berwisata juga merupakan bagian dari dan tidak diharamkan dalam perencanaan keuangan (financial planning/FP). Memang berwisata bukan salah satu cara dalam melakukan FP karena termasuk spending, tetapi berwisata bisa menjadi salah satu program/tujuan pelaksanaan FP. Namun sebagai tujuan FP, salah satu cara yang harus dilakukan agar tujuan berwisata tercapai adalah dengan mempersiapkan sebaik-baiknya rencana berwisata, termasuk melakukan hedging. Hedging dalam berwisata antara lain dapat dilakukan dengan membuat perencanaan wisata jauh hari sebelumnya. Dengan demikian seakan-akan melakukan transaksi forward, kita bisa membeli tiket dan memesan hotel dalam rangka mengantisipasi harga dan/atau kurs yang berubah/naik (jika kita memprediksi akan naik, sesuai view). Yang terpenting adalah kemauan kita untuk mengumpulkan data dan informasi pendukung yang terkini dan terpercaya serta keberanian kita untuk mencoba dan berimprovisasi dalam membuat perencanaan wisata, sehingga dapat mengeliminir, minimal meminimalisir, timbulnya kebingungan ataupun kepanikan pada waktu kita berwisata. Dengan demikian, kejadian-kejadian unik yang kita alami selama berwisata akan menjadi kenangan indah dan memberikan pengalaman berharga yang tidak ternilai. "Experience is simply the name we give to our mistakes." (Oscar Wilde)

Jumat, 14 Maret 2014

PEMIMPIN SEJATI

“Sometimes when I’m angry I have the right to be angry, but that doesn’t give me the right to be cruel” Adalah lumrah dan sudah kita ketahui bersama bahwa Allah SWT melengkapi kehidupan di bumi dengan berbagai guncangan sebagai variasi, baik itu guncangan-guncangan kecil maupun guncangan-guncangan yang lebih besar dirasakan manusia seperti gempa dahsyat maupun gunung meletus. Guncangan-guncangan seperti itu akan tetap dirasakan oleh manusia di bumi dan terus terjadi hingga pada akhir masa ketika Allah memberikan guncangan maha dahsyat di hari kiamat yang menjadi akhir dari kehidupan seluruh mahluk di alam dunia. Dalam kehidupan sehari-hari, setiap individu dihadapkan dengan berbagai peran di komunitas atau kelompok di masyarakat yang berbeda-beda pula. Terkadang keberadaan kita sebagai anggota di satu kelompok, namun di kelompok lain bisa jadi kita dihadapkan dengan peran sebagai pemimpin, baik sebagai pemimpin formal (achieved status) maupun informal (ascribed status). Dalam kedua status kepemimpinan tersebut, kita ditantang untuk bisa menunjukkan leadership kita. Dalam hal kedudukan sebagai pemimpin formal, kita perlu mendapatkan dukungan bukan hanya dari atasan tapi juga dari bawahan, yang akan memberikan kita legalitas dalam melakukan tindakan agar semua pihak dapat menerima (buy-in). Dalam kehidupan suatu komunitas/kelompok atau organisasi, tentunya tidak akan terlepas juga dari berbagai gejolak yang harus dihadapi oleh komunitas atau organisasi tersebut. Disinilah peran seorang pemimpin sejati yang harus mampu meredam dampak guncangan-guncangan tersebut sehingga tidak perlu dirasakan oleh seluruh orang yang dipimpinnya. Pemimpin ibarat shockbreaker absorber di kendaraan yang berfungsi meredam “gejolak-gejolak” yang berasal dari luar organisasi yang dipimpinnya agar bagian-bagian lain dari organisasi tersebut dapat merasakan kestabilan, dan berfungsi serta menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Mari kita lihat bagaimana shockbreaker absorber bekerja dalam kendaraan. Berbeda dari bagian-bagian lain dari kendaraan, misalnya rem atau gas yang berfungsi jika diinjak oleh pengemudi (responsive), atau bahkan setir maupun bagian lain seperti lampu dan wiper yang menunggu instruksi dari yang mengemudikan kendaraan, maka shockbreaker absorber dalam menjalankan fungsinya memiliki fleksibilitas dan mendapat kewenangan yang relatif independen dalam menjalankan fungsinya, yaitu menjaga harmonisasi dengan cara menyesuaikan guncangan yang terjadi dari luar sehingga fungsi-fungsi lain yang ada di kendaraan dapat berfungsi optimal. Tidak pernah terjadi shockbreaker absorber menyalahkan fungsi lain, misalnya rem yang tidak segera berfungsi ketika ada lubang di jalan karena kondisi yang berasal dari luar memang unpredictable. Keberadaan shockbreaker absorber yang posisinya tersembunyi/terlindung seakan-akan membuatnya tidak terlihat mencolok. Begitupun pemimpin yang terkadang terkesan berlindung di balik fasilitas-fasilitas serta privileges yang diberikan kepadanya. Seorang pemimpin seharusnya tidak boleh terlena oleh fasilitas-fasilitas dan privileges yang dimilikinya, dan harus mau keluar dari ‘comfort zone’ tersebut, tidak takut menghadapi guncangan seperti apapun dan siap berkorban demi harmonisasi kerja fungsi-fungsi yang ada di bawah koordinasinya, seperti halnya shockbreaker absorber sehingga kendaraan dapat berjalan dengan baik dan selamat sampai tujuan. Di sisi lain, shockbreaker absorber yang berada di tempat yang tidak mudah dilihat, tidak pernah memaksakan agar dirinya terlihat ketika sedang berfungsi agar kelihatan penting dan dikenal. Begitu juga seorang pemimpin sejati tidak perlu hanya dikenali sosoknya, tapi yang terpenting justru dikenali karakternya. Pemimpin sejati seharusnya bukan dikenal sekedar dari bagaimana penampilan dirinya, tapi yang lebih utama adalah bagaimana dia menjalankan peran terbaiknya sehingga orang-orang yang dipimpinnya dapat bersinergi secara harmonis dan produktif. Dalam kehidupan organisasi, seringkali kita temui kenyataan bahwa orang yang dikenal ternyata memiliki peluang lebih besar mendapatkan promosi untuk menjadi pemimpin dibanding mereka yang tidak terlalu dikenal. Slogan “untuk bisa dipromosikan, seseorang tidak cukup hanya pintar, tapi yang lebih penting adalah dikenal” dalam hal ini mungkin ada benarnya. Tapi rasanya akan lebih baik lagi apabila seseorang dipromosikan bukan karena dirinya sering muncul dan dikenal wajahnya oleh orang-orang yang berwenang untuk mempromosikannya, namun juga dikenal karena kepintarannya (smartness). Seseorang pemimpin sejati seharusnya senantiasa menawarkan nilai tambah (added value), dan bukan sekedar menjadi penyegaran (refreshment) bagi organisasi, dengan cara mendorong orang yang dipimpinnya untuk berpikir kreatif. Diibaratkan seorang marketing kendaraan bermotor yang tidak hanya menawarkan konsumennya untuk mengganti kendaraan miliknya dengan keluaran terbaru tapi dengan jenis kendaraan yang sama (misalnya Panther lama diganti dengan Panther terbaru), tapi harusnya yang ditawarkan adalah kendaraan yang memberi nilai dan pengalaman lebih dibandingkan kendaraan yang dimiliki konsumen sebelumnya (misalnya Panther diganti dengan Alphard atau bahkan Hummer). Seorang pemimpin sejati dalam mengelola organisasi, termasuk orang-orang yang dipimpinnya, seharusnya memiliki sense or ownership dan tidak merasa hanya perpanjangan tangan dari atasannya, karena jika tidak demikian maka pemimpin tersebut tidak akan menjadi ”shockbreaker absorber” bagi orang yang dipimpinnya, sebaliknya yang muncul adalah sikap mementingkan keselamatan sendiri. Ilustrasi yang mungkin dapat menggambarkan sikap kontradiktif seperti ini adalah jika kita melihat perbedaan antara rak alas kaki di mesjid/musholla yang menyediakan alas kaki/sendal pengganti dengan tempat yang tidak. Di tempat yang tidak menyediakan biasanya relatif bisa lebih rapih selalu, sementara di mesjid yang menyediakan justru hampir tidak pernah begitu. Kenapa? Karena di mesjid yang menyediakan alas kaki pengganti, rak digunakan juga untuk meletakkan kembali alas kaki pengganti milik bersama sehabis kita berwudhu. Sementara di mesjid yang tidak, rak hanya digunakan untuk menyimpan alas kaki milik kita sewaktu kita menunaikan sholat, dan biasanya kita cenderung hati-hati menjaga milik kita. Akhirnya, sesuai tuntunan agama seorang pemimpin sejati haruslah seorang yang amanah dan istiqomah dalam melaksanakan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya dan bukan hanya melihat kenikmatan dan kenyamanan yang diperoleh dari kedudukannya tersebut, karena dirinya selalu ingat akan konsekuensi kedudukannya yang harus dipertanggungjawabkan kelak. Pemimpin seperti ini akan menjadi panutan, dan bukan menjadi momok, bagi orang-orang yang dipimpinnya, dan insya Allah menimbulkan perasaan segan dan respek dari orang-orang lain di sekitarnya, termasuk atasan yang juga amanah. "True leadership only exists if people follow when they have the freedom not to." -- Jim Collins, author of Good To Great