Assalammu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Welcome to Blog ADAM DIANSUNI IDIIL (ADID) MUTHALIB

Senin, 23 Juli 2012

PENTINGNYA PROSES DALAM PENCAPAIAN TUJUAN

“Should you find yourself in a chronically leaking boat, energy devoted to changing vessels is likely to be more productive than energy devoted to patching leaks” Tulisan diatas dikutip dari Warren Buffet, salah satu orang terkaya dan paling berpengaruh di dunia khususnya berkaitan dengan cara-cara menguasai perekonomian dunia dengan konsep-konsep kapitalisme global dan intervensi melalui pasar uang maupun pasar modal di negara-negara maju maupun negara berkembang. Hampir semua dari kita tentunya pernah mendengar nama tokoh tersebut yang sampai sekarang masih hidup di Amerika. Namun yang menarik dari sosok seorang Warren Buffet sendiri adalah kesederhanaannya dalam menjalani kehidupannya, bertolak belakang dengan yang dilakukannya untuk mempengaruhi dan menguasai perekonomian di dunia melalui ekspansi kapitalisme secara global. Ternyata hinggga di usia senja, Warren Buffet hidup sangat sederhana bersama isterinya tercinta, di rumah sederhana yang pertama kali mereka miliki. Warren Buffet juga masih menggunakan mobil sederhana mereka, serta kehidupannya dijalani dengan tinggal di rumah menonton acara televisi maupun kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Hal diatas bagaikan sebuah paradoks. Seseorang seperti Warren Buffet yang secara outward looking tampaknya memiliki visi untuk “menguasai” ekonomi dunia melalui penguasaan pasar dan modal (kapitalisme global) yang identik dengan hawa nafsu keserakahan dan eksploitasi tanpa batas terhadap sumberdaya-sumberdaya yang tidak mengenal belas kasihan, ternyata tidak demikian untuk kehidupan pribadinya (inward looking) dimana hawa nafsunya dapat dikendalikan sedemikian rupa sehingga merasa puas dengan menikmati fasilitas yang serba terbatas, walaupun sebenarnya memiliki kemampuan untuk melakukan lebih. Kalau kita melihat ke masa kanak-kanak, ada dua jenis permainan anak-anak yang kita kenal dengan dua pola permainan yang berbeda dan dapat menggambarkan kondisi kontradiktif diatas. Kedua permainan kompetisi tersebut adalah monopoli dan congklak. Seperti kita ketahui, permainan monopoli sesuai namanya adalah jenis permainan yang sejalan dengan karakteristik kapitalisme (zero-sum game) dimana setiap pemain di”doktrin” untuk berusaha memiliki dan mendominasi aset-aset penting dan strategis yang dapat menjadi mesin uang bagi yang memiliki, apalagi bila menguasai kompleks aset tersebut. Semakin vital suatu aset dalam menguasai hajat hidup orang banyak (seperti perusahaan listrik, air, dan transportasi), maupun aset dengan nilai yang semakin tinggi karena lokasinya yang strategis sehingga apabila lawan mau tidak mau harus “tinggal” di sana maka akan dibebani dengan sewa yang sangat mahal. Seorang pemain dinyatakan menang apabila lawannya bangkrut Sebaliknya, permainan tradisional yang kita kenal dengan nama congklak justru menggambarkan bagaimana seseorang bisa menang tanpa harus menghancurkan lawan, yaitu dengan mendapatkan biji congklak lebih banyak namun tetap “menyisakan” biji congklak yang sudah dijkuasai lawannya sehingga lawannya tidak harus kalah dalam keadaan bangkrut. Hal ini sangat menggambarkan situasi yang “win-win”, bertolak belakang dengan situasi “win-lose “ atau “zero sume game”. Permainan congklak menuntut pemainnya untuk memiliki strategi yang fokus dan mengacu pada visi yang jelas. Bagaimana setiap pemain harus tetap mengisi “kantong-kantong” di wilayah lawan sebagai bagian dari strategi untuk memenangkan kompetisi. Hal tersebut mengajarkan kepada pemain agar tidak hanya berpikir untuk meraup keuntungan jangka pendek saja dengan menimbun “kantong-kantong” yang ada di wilayahnya karena setiap kantong yang ada di wilayahnya belum mutlak menjadi miliknya. Kesalahan strategi dan perhitungan justru bisa memberikan kesempatan bagi lawan untuk menguasai dan memiliki seluruh isi kantong di wilayah kita yang “gemuk” karena kita selalu menimbun. Visi: Process or Result Oriented? Menurut pandangan penulis, process oriented bukanlah berarti seseorang melakukan suatu strategi tanpa tujuan, namun justru diiringi oleh tujuan-tujuan antara yang selalu mendampingi selama proses dan sifatnya hakiki karena didasarkan nilai-nilai keilahian seperti jujur, sabar dan konsisten. Sedangkan result oriented menetapkan/memastikan sejak awal tujuan akhir yang akan dan harus dicapai dengan cara pembenaran apapun untuk dapat mencapainya. Walaupun tampak sejalan, namun karena tujuan yang ingin dicapai oleh mereka yang process oriented lebih bersifat kualitatif, maka seringkali hal tersebut tidak bisa diterima oleh mereka yang result oriented karena segala sesuatunya harus bisa dihitung alias kuantitatif (atau bahkan dikapitalisasi). Kapitalisme bagaikan bola salju yang digelindingkan dari atas bukit dan diharuskan mencapai kaki bukit dengan skala tertentu yang lebih besar dan biasanya dengan waktu yang ditentukan pula. Karena tujuan akhir yang sudah ditentukan dan bahkan diperhitungkan, maka dianggap harus selalu ada cara untuk dapat mencapai tujuan tersebut dan tidak boleh ada excuse. Perumpamaan bola salju diatas, maka medan yang dihadapi selalu dianggap ”menurun” karena tempat tujuan akhir yang berada di bawah sehingga harus lancar dan mudah mencapainya. Setiap halangan yang ada membuat bolah ”memecah diri” atau jika sudah cukup besar akan menghantam halangan tersebut asal bisa sampai di bawah. Sesampainya di bawah yang berakhir di jurang, dari target hanya satu bola besar menjadi lebih banyak bola besar sehingga yang menjadi tujuan akhir tersebut justru tidak sanggup menampung begitu banyaknya bola yang tidak terduga. Lama-kelamaan tidak tertahan dan kaki bukitpun longsor. Sungguh sebuah tragedi! Kita mungkin bisa bersatu saat berjuang menghadapi masalah. Namun, ujian terbesar justru datang saat kemenangan. Karena saat itulah nafsu serakah akan datang menggoda kita