Assalammu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Welcome to Blog ADAM DIANSUNI IDIIL (ADID) MUTHALIB

Jumat, 28 Mei 2010

PROGRAM CSR PERBANKAN UNTUK PENDIDIKAN

Berminat melanjutkan studi di luar negeri? Jika pertanyaan ini diajukan kepada pemuda-pemudi Indonesia, sudah dapat dipastikan jawabannya adalah ya. Namun belum tentu semuanya menjawab dengan antusias. Mengapa demikian? Karena tidak semua orang merasa bisa memiliki kesempatan untuk studi di luar negeri. Dan yang menjadi kendala utama adalah masalah biaya, khususnya mereka yang berada di daerah dan tidak memiliki akses informasi.

Banyak putera-puteri daerah yang memiliki potensi akademis untuk melanjutkan pendidikan tinggi bahkan sampai ke luar negeri, namun terbentur oleh kendala besarnya biaya yang dibutuhkan. Padahal dengan adanya kesempatan belajar di negara lain akan memperluas wawasan dan cara berpikir global serta meningkatkan kemampuan berbahasa asing dalam rangka menyongsong era Pasar Bebas, selain sebagai bagian dari usaha pemerataan pembangunan. Untuk itu perlu membuka kesempatan seluas-luasnya bagi putra-putri Indonesia khususnya golongan menengah ke bawah yang berada di daerah untuk memiliki akses informasi yang sama, terutama melalui pendidikan.

Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional, telah menjadikan pendidikan sebagai salah satu fokus utama pembangunan dalam rangka mencerdaskan bangsa sekaligus mempersiapkan generasi penerus yang siap bersaing di era globalisasi. Upaya yang dilakukan pemerintah termasuk menyalurkan dana-dana bantuan pendidikan luar negeri agar bisa mencapai jangkauan yang lebih luas.

Untuk membantu program-program pemerintah, bank-bank di Indonesia telah menyisihkan sebagian dana untuk disalurkan melalui program-program CSR (Corporate Social Responsibility), termasuk di bidang pendidikan. Diharapkan program-program tersebut mendorong pemerataan kesempatan mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya khususnya bagi mereka yang tidak mampu namun memiliki potensi.

Sebenarnya potensi ekonomi yang ada di daerah memungkinkan masyarakatnya untuk dapat membiayai putra-putrinya bersekolah tinggi hingga ke luar negeri. Beberapa hal yang mungkin menjadi kendala adalah:
• Jumlah penghasilan mereka umumnya tidak tetap (misalnya sebagai petani atau nelayan)
• Dibutuhkannya biaya yang cukup besar di awal untuk persiapan dan masa awal studi
• Kesulitan mencari sumber dana talangan, termasuk dari lembaga pembiayaan, karena sulitnya menilai kelayakan antara usaha yang dijadikan jaminan dengan tujuan pembiayaan (pendidikan anak)
• Kekhawatiran terhadap kemungkinan efek negatif terhadap perilaku putera-puteri mereka yang bersekolah di luar negeri (cultural shock)


Dari pengalaman Penulis, Australia dapat menjadi alternatif utama untuk studi di luar negeri dengan pertimbangan antara lain:
1. Letak geografisnya yang relatif dekat dengan Indonesia
2. Standar pendidikan yang kompetitif di tingkat global karena mayoritas universitas di Australia milik pemerintah dengan akreditasi dari lembaga-lembaga pendidikan di luar Australia seperti Eropa atau Amerika
3. Jenjang dan bidang studi yang semakin bervariasi dan menawarkan banyak pilihan sesuai trend perkembangan global
4. Banyaknya kesempatan beasiswa yang ditawarkan kepada putra-putri Indonesia dengan potensi terbaik baik dari pemerintah Australia seperti melalui ADS/Ausaid ataupun dari pihak swasta ataupun dari universitas sendiri.
5. Beberapa kota di Australia di luar Sydney dan Melbourne dapat direkomendasikan karena memiliki indeks biaya hidup (living cost) terendah, ditambah adanya fasilitas-fasilitas kemudahan (concessions) untuk pelajar/mahasiswa seperti transportasi umum
6. Banyaknya mahasiswa Indonesia yang sedang/telah menuntut ilmu di berbagai universitas dan adanya organisasi mahasiswa dan masyarakat Indonesia disana akan membantu dalam hal:
• Koordinasi mulai dari penjemputan sampai pengenalan wilayah untuk mempercepat adaptasi wilayah dan budaya termasuk melapor ke pewakilan pemerintah RI setempat
• Mendata dan merekomendasikan alternatif tempat tinggal yang layak dan relatif murah bagi para calon peserta
• Menjembatani komunikasi dengan pihak universitas serta memberikan mentoring untuk memudahkan mereka mengikuti pelajaran termasuk meminjamkan buku-buku teks yang digunakan
• Memberikan informasi dan rekomendasi untuk mendapatkan pekerjaan paruh waktu agar lebih cepat
• Membantu pengurusan dokumen dan hal-hal yang diperlukan agar dapat bekerja paruh waktu seperti visa kerja dari Imigrasi (DIMIA), registrasi pajak (TFN) dari ATO, dan pembukaan rekening bank
• Menginventarisir barang-barang mereka yang telah selesai studi dan akan pulang untuk didistribusikan kepada yang membutuhkan
• Mempersiapkan dana talangan (pinjaman) dari kas organisasi untuk kondisi yang benar-benar darurat dan membutuhkan likuiditas cepat

Agar program ini dapat direalisasikan dengan lebih efektif, maka perbankan perlu beraliansi dengan beberapa pihak terkait seperti:
1. Para alumni yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia untuk penyebaran informasi dan mencari bibit-bibit potensial serta memberikan pengarahan (orientation) dan bimbingan (counseling) kepada calon peserta dan orangtuanya yang telah menyatakan berminat termasuk mempersiapkan peserta mengikuti ujian potensi akademis seperti aptitude test, kemampuan bahasa Inggris, serta teknik wawancara yang akan menentukan kompetensi akademis masing-masing calon peserta
2. Lembaga pendidikan di negara tujuan (misalnya: Australia), dimana bank dapat membantu proses perekrutan para calon pelajar/mahasiswa yang berminat dan berpotensi, melalui kerjasama dengan International Office dimana bank berperan sebagai penghubung (liaison) melalui jaringan kantornya yang tersebut di seluruh wilayah Indonesia
3. Organisasi-organisasi masyarakat Indonesia di negara tujuan sebagai akses untuk mendapatkan akomodasi/tempat tinggal yang layak dan terjangkau serta jaringan informasi kesempatan bekerja yang luas agar dapat segera membiayai sendiri (swadana) studinya sehingga tidak terlalu lama bergantung dari dana beasiswa ataupun dana program CSR bank

Bagi perbankan, hal ini membuka peluang baru dalam alternatif penyaluran kredit sekaligus sebagai salah satu wujud kepedulian bank terhadap pembangunan sumberdaya manusia yang merata bagi seluruh lapisan masyarakat melalui program-program CSR perbankan, yaitu untuk pembiayaan studi di luar negeri bagi putera-puteri yang memiliki potensi akademis dengan sumber pembayaran (repayment capacity) berasal dari usaha orangtuanya. Setelah adanya usulan calon-calon peserta yang telah diseleksi awal kompetensi akademisnya, bank akan melakukan peninjauan kondisi usaha orangtua untuk mengukur kesanggupan dan kelayakan mereka dalam mengembalikan pinjaman. Hasil akhir penilaian akan menentukan kemampuan finansiil calon peserta dalam hal repayment capacity.

Dari hasil seleksi potensi akademis dan finansiil, bagi mereka yang memenuhi syarat akan dibuat ranking dengan bobot yang ditentukan untuk masing-masing parameter (bobot akademis lebih besar dari bobot finansiil). Apabila pemeringkatan berdasarkan kemampuan akademis dan finansiil diatas siap, data tersebut kemudian diajukan kepada pihak yang terkait (ADS, Departemen Pendidikan Nasional RI, dan universitas-universitas di Australia khususnya yang menawarkan subsidi dana/beasiswa) untuk dipertimbangkan dari segi kelayakan.

Selain upaya diatas, alternatif bantuan pembiayaan adalah pemberian pinjaman lunak dari bank sebagai bagian dari program CSR untuk biaya persiapan dan periode awal studi. Selanjutnya calon-calon peserta akan diberikan bimbingan untuk memilih universitas/lembaga pendidikan yang sesuai minat disertai pembekalan tentang kondisi riil di negara tujuan sebagai fisik dan mental. Mereka juga akan dibantu dalam hal memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan seperti IELTS, dll., serta untuk mendaftarkan diri hingga memperoleh Letter of Offer. Persiapan bisa dilakukan di daerah asal berkoordinasi dengan persatuan alumni setempat, hingga dikumpulkan di Jakarta untuk persiapan keberangkatan.

YOU GIVE YOUR BEST, WE TAKE CARE OF THE REST

Penerapan konsep Strategic Business Unit (SBU) oleh suatu perusahaan yang memiliki organisasi besar dengan struktur yang relative kompleks mendorong setiap unit kerja untuk memperbaiki atau meningkatkan kinerjanya yang secara riil diwujudkan dalam bentuk profitabilitas. Setiap unit bisnis didorong untuk dapat memiliki peran yang cukup strategis dalam pengembangan bisnis sesuai dengan segmen pekerjaan dan pelanggan yang dikelolanya dengan tujuan untuk dapat memberikan kontribusi terbesar dalam profitabilitas perusahaan. Untuk itu setiap unit bisnis dituntut agar dapat menjadikan unit kerjanya berorientasi bisnis.

Langkah yang telah dilakukan manajemen untuk mengantisipasi perubahan diatas adalah dengan menyesuaikan atau merubah struktur organisasi setiap unit bisnis agar menjadi lebih fokus dan dan efektif dalam menjalankan bisnis. Namun hal ini baru merupakan tahap awal dari proses untuk menjadikan organisasi lebih efektif. Selanjutnya diperlukan upaya-upaya untuk mengoptimalkan interaksi fungsional antar unit kerja di bawah setiap bisnis unit agar dapat berkoordinasi dengan baik dalam pelaksanaan pekerjaan. Hal ini memerlukan keterlibatan dan kontribusi khususnya yang bersifat strategis dari seluruh pegawai agar tujuan pengembangan bisnis dapat tercapai.

Interaksi di tempat kerja tidak dapat dipungkiri menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari pegawai, bahkan sebagian pegawai lebih banyak menghabiskan waktunya di tempat kerja daripada di rumah. Keseharian para pegawai di tempat kerja tentunya membuat mereka memahami apa yang terjadi di tempat kerjanya dan tentunya untuk pegawai yang kritis dan peduli akan dapat melihat jika ada hal-hal yang kurang selaras di pekerjaan dan dirasakan perlu untuk diperbaiki. Sebagai pegawai tentunya mereka berkepentingan pula terhadap kelancaran pelaksanaan pekerjaan yang berpengaruh terhadap kinerja baik individu maupun sebagai tim di unit bisnis.

Salah satu cara untuk merangsang keterlibatan para pegawai adalah dengan mengadakan kontes untuk menghimpun masukan-masukan yang sifatnya dapat mendorong akselerasi dalam proses pelaksanaan pekerjaan.

Bagaimana kontes tersebut berjalan? Mekanisme pelaksanaannya pada prinsipnya sangat sederhana. Kontes terbuka untuk seluruh pegawai dengan topik diarahkan pada hal-hal yang dapat meningkatkan fungsi strategis unit bisnis. Pegawai dapat mengikuti kontes baik secara individu maupun secara tim maksimum 2 (dua) orang.

Pegawai yang mendaftar sebagai peserta harus menyerahkan tema yang akan dibahas kepada Tim Panitia. Tema-tema yang masuk kemudian dicek ulang untuk memastikan tidak ada tema yang dianggap sama atau menjurus sama. Dalam hal demikian, maka peserta diberi kesempatan untuk meyakinkan Tim bahwa tema yang diajukannya berbeda, atau mengganti dengan tema lain.

Hasil karya peserta dalam bentuk paper terstruktur yang memuat Permasalahan, Pembahasan dan Kesimpulan, serta dibatasi jumlah halamannya untuk memastikan peserta menggunakan bahasa yang efektif dalam penyampaian idenya. Peserta juga harus menyiapkan rangkuman tulisannya dalam format presentasi.

Adapun faktor-faktor yang akan dijadikan pertimbangan dalam menilai karya peserta meliputi:

1. Originality: tulisan harus merupakan karya asli peserta. Diperkenankan sumber ide tulisan diinspirasikan dari karya orang lain namun harus disertai modifikasi maupun improvisasi sehingga tidak menjiplak secara utuh.

2. Content: isi tulisan harus mencakup tema-tema yang bersifat strategis bagi pengembangan bisnis WMG baik secara langsung maupun tidak langsung, misalnya tentang :
• Strategic Alliance : bagaimana menciptakan keselarasan interaksi antar unit kerja serta menciptakan sinergi dalam menyelesaikan pekerjaan baik secara internal unit bisnis maupun dengan unit kerja lain di Bank Mandiri.
• Service Quality : usaha-usaha meningkatkan customer perceived value (internal/eksternal) atau pihak-pihak terkait lain terhadap service level yang diberikan unit bisnis baik yang bersifat tangible maupun intangible.
• Area Focus : isi tulisan agar diarahkan pada satu aspek tertentu yang menurut peserta perlu ditingkatkan, misalnya untuk unit bisnis yang langsung berhubungan dengan nasabah bisa meliputi aspek Product, People, Channel, ataupun Marketing Strategy.
• Profit Concern : organisasi yang berbasis SBU menitikberatkan pada profitabilitas. Karenanya peserta dapat mencantumkan upaya-upaya untuk meningkatkan revenue dan/atau menurunkan cost bank termasuk pengelolaan expenses secara optimal.

Tema yang dipilih bisa mencakup salah satu atau kombinasi dari tema-tema diatas. Namun perlu dipertimbangkan bahwa bagaimanapun cakupan tema yang dipilih harus tetap dibahas secara spesifik dan tajam.

3. Applicability: Bagaimanapun bagusnya usulan yang dibuat tentulah jadi berkurang manfaatnya apabila tidak dapat langsung diterapkan di unit kerja. Seberapa dekat keterkaitannya dengan kondisi pekerjaan saat ini menentukan nilai tulisan yang disampaikan peserta.

4. Writing Skill: menyangkut dua hal yang berkaitan dengan teknik dan gaya penulisan, yaitu:
• Sistematika (struktur & alur tulisan)
• Tata Bahasa (pemilihan kata dan bentuk kalimat yang komunikatif)

5. Presentation Skill: bagaimana peserta menyampaikan idenya secara verbal termasuk menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sehingga dapat meyakinkan pihak-pihak yang berkepentingan bahwa idenya akan memberikan nilai tambah bagi perusahaan.

Sistem penilaian didasarkan atas pembobotan terhadap masing-masing faktor yang dijadikan aspek penilaian. Bobot yang diberikan untuk masing-masing aspek disesuaikan dengan korelasinya untuk mengukur kompetensi peserta sesuai sistem penilaian terlampir.

Sebagaimana halnya sebuah Kontesm, maka pemenangnya akan mendapatkan hadiah. Sesuai dengan tujuan dilaksanakannya kontes yaitu untuk merangsang kepedulian pegawai dan keinginan untuk memberikan kontribusi terhadap perusahaan, maka hadiah yang diberikan diharapkan dapat mengapresiasi pegawai agar selalu kompeten dan concern terhadap pekerjaannya.

Untuk itu hadiah yang diberikan diusulkan agar dapat diberikan dalam dua bentuk, yaitu:
• Langsung dapat dinikmati pegawai, misalnya dalam bentuk tunai ataupun barang;
• Tidak langsung, yaitu berupa contribution point/cum yang menjadi nilai tambah dalam penilaian pegawai.

Dengan diadakannya kontes ini, maka diharapkan dapat membiasakan pegawai untuk memiliki sikap peduli terhadap lingkungan kerja serta menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap kualitas hasil pekerjaan.

TIGA MENUJU SEMPURNA

“High achievement comes from high aims.”
- King Ching of Chou (1100 B.C.)

Dalam suatu sesi training yang Penulis ikuti, pernah muncul pertanyaan yang diajukan oleh salah satu peserta training dari unit kerja lain. Pertanyaan yang diajukan sekilas terdengar sangat “rutin” dan bernada mengeluh: Sebenarnya apa sih yang diinginkan oleh manajemen? Sebelumnya seluruh unit kerja diberikan arahan untuk memfokuskan target kepada pencapaian contribution margin. Namun kemudian seperti ada perubahan target dari manajemen yang semula fokus pada contribution margin beralih ke market share. Apakah yang sebenarnya ingin dituju manajemen?

Menurut Penulis, apa yang dilakukan oleh manajemen perusahaan seperti hal diatas belum tentu merupakan perubahan kontroversial yang muncul akibat distorsi ataupun disorientasi target yang dialami manajemen. Justru tampaknya hal tersebut dilakukan sebagai bagian dari strategi manajemen dalam mengkalibrasikan target serta merealisasikan upaya-upaya pencapaiannya. Karena organisasi bisnis manapun tentunya akan menempatkan laba sebagai tujuan utama, atau seperti istilah sehari-hari yang sering kita dengar bahwa tujuan utama adalah “Ujung-ujungnya duit!”.

Lantas bagaimana hubungan antara contribution margin dan market share? Contribution margin (CM) merupakan indikasi besarnya keuntungan yang bisa diciptakan oleh suatu perusahaan dari transaksi produk dan jasa yang dilakukannya dengan counterparty. Sementara market share (MS) biasanya dijadikan indikasi terhadap kesuksesan perusahaan dalam melakukan penetrasi di pasar.

Dari penjelasan diatas, pertanyaannya adalah apakah suatu perusahaan yang memiliki CM besar berarti akan mampu melakukan penetrasi pasar lebih agresif? Atau justru bila memiliki MS yang dominan maka suatu perusahaan akan mampu menciptakan CM yang besar? Atau bahkan hubungan keduanya seperti ayam dan telur?

Sebetulnya kedua premis diatas benar, namun memerlukan satu aspek lagi untuk bisa membuat hubungannya tidak seperti ayam dan telur, yaitu adanya brand equity. Brand equity (BE) dapat dipahami secara bebas sebagai marketing value yang diberikan oleh brand perusahaan sebagai intangible asset dimana keberadaannya bisa meningkatkan positioning perusahaan maupun produk-produk yang dijualnya. Seperti ungkapan sehari-hari yang sering kita dengar “Posisi menentukan prestasi”, semakin baik posisi brand suatu perusahaan, maka akan besar peluang perusahaan tersebut untuk dapat menikmati premium price karena semakin tinggi positioning suatu brand biasanya semakin rendah sensitifitas pelanggan terhadap harga produk dan/atau jasa yang dipasarkan dengan brand tersebut.

Keterkaitan ketiganya adalah dengan adanya brand equity yang dinilai tinggi oleh masyarakat (baca: konsumen), maka berarti mereka mempersepsikan produk/jasa yang dikaitkan dengan brand tersebut memiliki kualitas tinggi pula. Akibatnya penetrasi pasar yang dilakukan biasanya akan lebih mudah karena persepsi positif yang dimiliki masyarakat terhadap brand tersebut. Ditambah dengan adanya premium price yang dimiliki, maka kombinasi keduanya akan meningkatkan MS dan CM. Dalam konteks keilmiahan, bias dikatakan BE berperan sebagai independent variable sementara dua lainnya menjadi dependent variable.

Namun demikian, keberadaan ketiganya dalam perusahaan dapat diibaratkan seperti tripod yang melambangkan kehandalan dalam menopang kestabilan posisi benda yang didukung. Namun demikian, kesempurnaan dukungannya tergantung pada keseimbangan ketiga kakinya yang menjadi kekuatan utama.

Artinya, suatu perusahaan yang didukung oleh adanya ketiga hal yaitu CM, MS dan BE memiliki potensi kekuatan yang akan menopang eksistensi perusahaan secara konsisten. Yang selanjutnya perlu dilakukan adalah bagaimana strategi mengembangkan dan memelihara ketiganya secara simultan agar tumbuh seimbang dalam perusahaan sehingga benar-benar dapat menjadi tiang penopang yang sempurna bagi perusahaan.

Ketidakseimbangan pertumbuhan ketiga hal tersebut dalam perusahaan dapat diibaratkan seperti sebuah tripod yang memiliki tiga kaki yang tidak sama panjang. Bayangkan tripod yang kaki-kakinya tidak seimbang, akibatnya walaupun tripod tersebut masih tetap dapat berdiri dan berfungsi menopang, namun dengan salah satu saja kakinya lebih pendek maka tripod tersebut tidak akan mencapai ketinggian yang ideal yang diperlukan seorang fotografer untuk mendapatkan sudut yang tepat dalam membidik obyek.

Tantangan yang harus dijawab adalah bagaimana meningkatkan BE? Menyitir ucapan Henry Ford “You can’t build a reputation on what you are going to do”, maka segera lakukan inovasi atau diferensiasi agar brand yang dimiliki selalu menjadi yang pertama diingat oleh konsumen diantara seluruh brand pesaing (top of mind/brand salience). Dalam beberapa kasus pemuatan iklan secara gencar kelihatannya dapat meningkatkan awareness konsumen walaupun belum bisa dibuktikan keterkaitan langsung antara iklan dengan peningkatan akuisisi pelanggan.

Cara lainnya adalah dengan masuk ke niche market. Namun upaya ini harus diiringi dengan kemampuan untuk mengedukasi (baca: men-drive) kebutuhan konsumen yang lebih luas untuk segmen tersebut dalam rangka memperluas pasar. Tetap waspada, karena para pesaingpun tentu akan berusaha masuk ke niche market yang menggairahkan. Maka jika ketiga kaki tripod sudah tegak berdiri dengan kokoh, lensa sudah terpasang dengan mantap …… let’s shoot the market!!

Minggu, 23 Mei 2010

TEKNOLOGI UNTUK SANG PRIMADONA

Pada waktu Penulis masih bersekolah di sebuah SMU Negeri di Jakarta Selatan, kelas kami mendapat kesempatan menerima siswi tamu yang berasal dari program pertukaran pelajar AFS. Siswi yang berasal dari Oregon, AS tersebut diberi nama panggilan Atika. Sebagaimana layaknya siswi baru, maka Atika diminta menceritakan secara singkat tentang diri dan keluarganya. Pada waktu diceritakan bahwa ayahnya adalah seorang dokter spesialis yang khusus menangani pasien dengan keluhan di bagian pergelangan tangan, kamipun terheran-heran karena bagaimana mungkin ada dokter yang khusus menangani satu bagian kecil tertentu saja dari tubuh. Sementara yang kami tahu waktu itu walaupun ada dokter spesialis namun bidang spesialisasinya tidak sesempit itu.

Belakangan fenomena seperti ini semakin jelas bagi Penulis, khususnya setelah bergabung dengan Wealth Management Group yang menangani nasabah-nasabah Prioritas Bank Mandiri. Fenomena seperti ini terjadi karena perubahan dalam masyarakat yaitu adanya kenyataan bahwa semakin meningkat taraf kehidupan suatu masyarakat maka permasalahan yang dihadapi akan semakin kompleks dan terdiversifikasi. Hal ini membuat insan-insan di dalam masyarakat tersebut harus mampu mengklasifikasikan serta harus lebih fokus dalam memandang suatu permasalahan agar dapat menemukan solusi yang tepat bagi masing-masing permasalahan yang dihadapi.

Kemudian saya menerima surat elektronis dari seorang rekan pegawai Bank Mandiri yang sedang melaksanakan tugas belajar di Inggris. Dalam kaitan dengan tugas akhir kuliah yang akan dibuat, rekan tersebut bertanya tentang pemanfaatan teknologi yang ada di sektor perbankan seperti dalam bentuk layanan electronic banking dalam rangka mengembangkan bisnis wealth management. Hal yang menarik untuk dibicarakan, bukan?

Berdasarkan data tahun 2005, nasabah Bank Mandiri Prioritas (BMP) yang berjumlah sekitar 1% dari total nasabah ritel Bank Mandiri memberikan kontribusi lebih dari 62% dari total dana retail dengan kontribusi terhadap keuntungan bank sebesar 13%. Dari data diatas terlihat bahwa segmen nasabah yang dikelola oleh Wealth Management Group seharusnya memberikan profitabilitas tinggi. Untuk meningkatkan profitabilitas nasabah tersebut perlu dilakukan berbagai upaya, diantaranya adalah fokus dalam melayani kebutuhan nasabah mengingat bertambah ketatnya persaingan dalam memperebutkan pangsa pasar segmen wealth management.

Salah satu faktor utama yang menentukan tercapainya layanan yang fokus kepada nasabah Mandiri Prioritas adalah kualitas Priority Banking Manager dan Officer yang menjadi ujung tombak (frontliners) Wealth Management Group. Namun saat ini jumlah nasabah Mandiri Prioritas terlalu banyak bila dibandingkan dengan jumlah priority bankers yang bertugas melayani sehingga ratio yang ada sangat jauh dari ideal. Kondisi ini menjadi kendala bagi priority bankers untuk dapat memberikan layanan yang prima dan komprehensif sesuai kebutuhan setiap nasabah.

Menyambung pertanyaan yang dilontarkan oleh rekan pegawai tugas belajar tersebut diatas, maka tampaknya disinilah peran teknologi dapat dimaksimalkan untuk melayani nasabah Mandiri Prioritas. Hal ini sejalan dengan segmentasi yang saat ini tengah dilakukan oleh Wealth Management Group terhadap nasabah-nasabah Mandiri Prioritas yang dibagi menjadi 3 (tiga) segmen sesuai jumlah portfolio nasabah yaitu Mass Affluent, Affluent dan High Networth Individual. Pertanyaannya adalah bagaimana menjadikan virtual marketing yang umumnya digunakan untuk yang bersifat mass menjadi segmented.

Langkah awal yang perlu dilakukan adalah mendata nasabah Mandiri Prioritas yang aware/minded dengan teknologi khususnya internet. Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan mengecek secara silang dengan data pengguna internet banking yang dimiliki oleh unit bisnis di Bank Mandiri yang mengelola e-channels. Bahkan untuk memperluas segmen khusus ini dapat dilakukan kerjasama untuk memasarkan internet banking kepada nasabah-nasabah Mandiri Prioritas khususnya segmen Mass Affluent maupun Affluent. Untuk mendukung pemasarannya, alternatif benefit bagi nasabah dapat diberikan dalam bentuk akses internet gratis (free subscription fee) melalui kerjasama dengan ISP yang terpercaya.

Langkah selanjutnya adalah mengembangkan portal khusus Wealth Management/Bank Mandiri Prioritas di website Bank Mandiri tentang investment & treasury products yang hanya bisa diakses oleh nasabah Mandiri Prioritas dan dibuat seinformatif mungkin serta user-friendly berisi:
• Informasi rinci mengenai berbagai jenis produk dan market update
• Manajemen resiko berupa quiz untuk mengukur risk profile nasabah
• Program simulasi bagi nasabah untuk menyusun portfolio investasinya sendiri
• Helpdesk/Hotline siaga 24 jam untuk membantu nasabah

Program ini akan menjadi semacam electronic personal banker sekaligus sarana edukasi kepada nasabah. Diharapkan hasilnya akan lebih efektif karena nasabah dapat mengukur sendiri resikonya secara private dan dilakukan sesuai waktu luang nasabah sehingga hasil analisa diharapkan lebih akurat. Eksklusifitas diberikan kepada nasabah dalam bentuk membership karena hanya nasabah Mandiri Prioritas yang mendapatkan akses untuk bisa menikmati layanan ini sehingga membedakan dari nasabah pengguna internet banking lainnya.

Keuntungan program ini adalah selain jangkauan kepada nasabah yang lebih luas juga biaya yang lebih ekonomis. Hal ini sesuai dengan karakter dari virtual marketing yaitu mass dan cost efficient. Berani mencoba?

TEMAN TETAP MENGUNTUNGKAN

Masih ingat dengan istilah Pakta Pertahanan? Pada masa perang dingin, dua negara adidaya waktu itu yaitu Amerika dan Uni Soviet mempopulerkan konsep tersebut melalui pembentukan NATO dan Pakta Warsawa dalam rangka berusaha sebanyak mungkin merengkuh negara-negara ”sahabat” di seluruh belahan dunia agar menjadi aliansi strategis mereka dengan tujuan untuk ”mengungguli” pengaruh lawannya.

Konsep aliansi strategis seperti ini sangat terlihat jelas dalam persaingan di bidang ideologi dan militer. Negara-negara yang setuju untuk menjadi anggota kedua Pakta Pertahanan diatas tentunya mempunyai kepentingan masing-masing, namun secara umum memiliki tujuan bersama yaitu agar dapat mempertahankan diri dari ancaman kekuatan lawan secara lebih efektif tanpa harus mengeluarkan biaya besar karena adanya pembagian beban antar sesama anggota aliansi.

Bagaimana dengan aliansi bidang di bisnis? Ada contoh yang menarik untuk diamati khususnya bagi mereka yang tinggal di daerah Rempoa – Ciputat. Keberadaan tiga buah hypermarket di kawasan tersebut yang menyediakan berbagai keperluan keluarga bisa memberikan ilustrasi yang tepat tentang bagaimana aliansi strategis dilakukan.

Sebagai alternatif satu sama lain, masing-masing hypermarket tersebut memiliki kondisi-kondisi tertentu yang tidak dimiliki oleh dua hypermarket lainnya. Hypermarket pertama menarik karena tempatnya yang megah dan bagus serta barang-barang yang dijualnya lengkap sehingga suasananya lebih ramai karena lebih dahulu beroperasi di daerah tersebut dibanding hypermarket kedua yang letaknya berseberangan sehingga lebih banyak yang terbiasa berbelanja disana. Di hypermarket kedua walaupun belum seramai hypermarket pertama, namun keberadaannya di sebuah pusat perbelanjaan memberikan daya tarik tersendiri. Sementara di hypermarket ketiga walaupun keberadaannya yang pertama di kawasan tersebut, namun karena lokasinya yang agak jauh dari jalan raya serta layout yang kurang atraktif membuat hanya orang-orang tertentu memilih untuk menjadikannya tempat berbelanja.

Namun dalam kondisi persaingan ketiga hypermarket di lokasi yang sama tersebut ternyata masing-masing tetap bertahan dan belum ada satupun yang “dipaksa” untuk menutup ataupun merelokasi outletnya. Fenomena yang lebih menarik untuk dicermati adalah yang terjadi dengan hypermarket ketiga, karena walaupun dari segi kondisi banyak yang kurang menarik dibandingkan kedua hypermarket lainnya, namun ternyata tidak serta-merta semua pembeli meninggalkannya dan beralih ke dua hypermarket lainnya.

Dari pengamatan dan pengalaman di lapangan, ternyata yang menjadi nilai tambah bagi hypermarket ketiga justru karena tidak banyaknya orang yang berbelanja membuat kondisi berbelanja tidak terlalu berdesakan serta relatif mudahnya mendapatkan tempat parkir. Namun organisasi yang berorientasi profit tentunya tidak boleh berpuas diri dengan apa yang sudah dicapainya selama ini dan hanya sekedar mempertahankan pelanggannya yang “tetap setia”. Karena berdasarkan hukum “Duplication of Purchase” dalam dunia bisnis ritel setiap pelanggan kita juga menjadi pelanggan para pesaing kita, atau dengan kata lain tidak ada pelanggan yang benar-benar setia. Satu-satunya indikasi yang dapat dijadikan tolok-ukur dalam bisnis ritel adalah pangsa pasar (market share). Setiap market leader pasti memiliki pangsa pasar yang lebih besar dibandingkan dengan pesaing-pesaingnya. Salah satu senjata ampuh mereka untuk meraih dan mempertahankan pangsa pasar adalah melalui perang harga dengan memanfaatkan keunggulan kompetitif berupa economies of scale maupun bargaining position mereka yang kuat dengan para supplier.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah perlukah mereka melancarkan strategi perang harga untuk dapat menguasai pasar? Jawabannya tentulah tergantung kepada strategi dan positioning apa yang diambil oleh masing-masing pelaku untuk menambah perceived value terhadap pelanggan. Bagi sang market leader harga bisa menjadi senjata utama bagi mereka untuk menurunkan daya saing lawan-lawannya. Namun bagaimana jika kita bukan market leader, langkah-langkah apa yang sebaiknya dilakukan untuk meningkatkan daya saing?

Salah satu langkah strategis yang bisa dilakukan adalah melakukan aliansi (strategic alliance). Dalam kasus hypermarket ketiga diatas, misalnya, aliansi bisa dilakukan dengan usaha pencucian mobil yang berada di pintu masuk hypermarket tersebut sehingga tercipta sinergi bisnis yang positif antara keduanya. Kerjasama dapat dilakukan dengan bundling price maupun pemberian diskon, misalnya setiap pembeli hypermarket yang berbelanja hingga sejumlah minimal tertentu selama sekian kali maka bisa mendapatkan layanan cuci mobil gratis ataupun diskon khusus bagi pemegang kartu anggota hypermarket dengan melampirkan struk belanja hingga jumlah tertentu. Sebaliknya, usaha pencucian mobil tersebut konsekuensinya harus menggunakan produk-produk yang khusus dijual di hypermarket tersebut dalam menjalankan usahanya serta dipromosikan kepada para pelanggannya.

Di Bank Mandiri, aliansi strategis dimungkinkan untuk dilakukan secara internal antar unit kerja maupun dengan pihak eksternal seperti nasabah maupun perusahaan-perusahaan yang produknya dapat bersinergi dengan produk dan layanan Bank, bahkan dalam kondisi tertentu dengan bank pesaing sekalipun seperti kerjasama pelatihan maupun pemasaran produk. Untuk itu hal pertama yang harus dikonfirmasi oleh setiap pihak sebagai strategic partner adalah adanya ”balance of power & opportunity” karena dalam hubungan aliansi strategis demikian yang menjadi faktor penentu keberhasilan adalah keseimbangan hubungan antara pihak-pihak yang berkolaborasi. Tentunya unsur keseimbangan disini bukan hanya pembagian sama rata, tetapi justru yang utama adalah bagaimana setiap pihak mendapatkan peluang keuntungan (opportunity) secara proporsional sesuai peran (power) yang dijalankannya dalam aliansi tersebut karena aliansi yang berhasil akan dapat menurunkan biaya sekaligus meningkatkan profitabilitas. Dan sebagai perekat hubungan tentunya bagaimana koordinasi antar pihak terjalin secara positif melalui komunikasi yang interaktif, tentunya harus didahului oleh adanya kesadaran semua pihak akan tujuan bersama yang ingin dicapai.

MEMASARKAN PENGGUNAAN E-LEARNING KEPADA PEGAWAI

Setiap perusahaan yang menerapkan konsep pembelajaran (learning organization) harus memiliki komitmen untuk senantiasa meningkatkan daya saing pegawainya melalui proses pembelajaran baik di tempat kerja maupun dengan pembekalan berupa pendidikan dan pelatihan. Proses pembelajaran yang baik tidak hanya berorientasi kepada kepentingan perusahaan semata, namun harus meningkatkan kemampuan dan daya saing pegawai sebagai bekal dimanapun mereka bekerja (lifetime employment).

Setiap pegawai perlu terus memanfaatkan kesempatan untuk mengasah kemampuan dan ketrampilan dirinya sebagai sarana berkompetisi di tempat kerja. Pelatihan merupakan salah satu media untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut. Namun bagi perusahaan, ada faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam melaksanakan pelatihan tersebut seperti waktu dan anggaran yang tersedia. Untuk mensiasati kedua hal tersebut agar tidak menjadi kendala, maka sistem pembelajaran menggunakan sarana jaringan internet/intranet, atau yang biasa disebut e-Learning, muncul menjadi alternatif yang perlu dipertimbangkan khususnya bagi organisasi yang relatif besar seperti Bank Mandiri. Kehadiran e-Learning di suatu perusahaan menunjukkan keseriusan manajemen untuk meningkatkan value pegawainya, sekaligus sebagai bentuk apresiasi terhadap pegawai sebagai bagian dari aset organisasi.

Walaupun di satu pihak kemunculan e-Learning disambut cukup antusias karena telah merubah secara fundamental pelaksanaan sistem pembelajaran seiring dengan perkembangan teknologi informasi, namun di pihak lain keraguan masih ada di sebagian pihak berkaitan dengan efektifitas dari hasil pembelajaran melalui sistem pembelajaran baru ini. Menurut Michael Harris dari BestWebTraining, ada beberapa hal positif yang menjadi keunggulan e-Learning dibandingkan sistem pelatihan di kelas (classroom training) seperti dipaparkan di bawah ini.

Lebih Menyenangkan: Penggunaan jaringan internet/intranet yang dapat diakses tanpa batas waktu dan tempat memudahkan baik bagi peserta maupun administrator dan instruktur/mentor. Administrator terhindari dari kesulitan mengatur jadwal maupun menyediakan sarana-sarana penunjang sehingga pelatihan dapat dilakukan secara konsisten, sementara bagi instruktur dapat lebih fokus dalam melayani diskusi dengan peserta dibanding harus menghadapi seluruh peserta dalam satu kelas.

Lebih Terjangkau: Karena tidak harus menyediakan sarana-sarana penunjang seperti ruang dan materi pelatihan berikut instruktur/mentornya serta tidak perlu terjadinya pembatalan kelas yang memerlukan penjadwalan kembali membuat biaya penyelenggaraan jauh lebih murah, bisa mencapai 25-40% dari biaya penyelenggaraan classroom training (tergantung jumlah peserta serta lokasi pelatihan).

Lebih Efektif: Pembelajaran bukanlah proses pasif karena tugas instruktur bukanlah mengeluarkan mantra ajaib untuk “membuka” otak pesertanya, tetapi menolong pesertanya untuk memahami materi. Karenanya para peserta harus termotivasi untuk bertanggung jawab terhadap kesuksesannya belajar. Namun sayangnya bahkan dalam adult classroom training, seringkali hanya disyaratkan kehadiran peserta dan bukan bagaimana keterlibatan mereka dalam proses pembelajaran tersebut. Sementara dengan e-Learning, tanggung jawab hasil pembelajaran berada sepenuhnya di pundak peserta. Hal itu pula mungkin yang menjadi alasan keengganan ataupun rendahnya motivasi peserta untuk mengikuti e-Learning sehingga hasilnya sulit untuk dilaporkan.
Yang menjadi permasalahan selanjutnya adalah bagaimana memotivasi pegawai untuk berpartisipasi aktif dengan memanfaatkan fasilitas e-Learning yang telah disediakan perusahaan. Beberapa hal yang mungkin bisa dilakukan perusahaan untuk membudayakan e-Learning dalam rangka meningkatkan return on investment di bidang pelatihan adalah:

• Libatkan seluruh jajaran manajemen dengan memasukkan pelatihan sebagai bagian dari sasaran perusahaan serta menekankan kepada pegawai tentang pentingnya pelatihan bagi karier mereka, bila perlu dengan mensyaratkan partisipasi pegawai dalam e-Learning serta memonitor pencapaiannya.
• Lakukan promosi untuk program-program e-Learning yang telah tersedia melalui media-media komunikasi yang tersedia di perusahaan, bila perlu dengan mengundang pegawai dalam forum yang disediakan khusus untuk mejelaskan tentang e-Learning secara rinci serta menyediakan door prize bagi pegawai yang hadir maupun insentif bagi pegawai yang berinisiatif mencoba program baru yang sedang disosialisasikan.
• Berikan apresiasi dan reward terhadap pegawai yang berhasil menyelesaikan pelatihan-pelatihan tertentu terutama yang berkaitan langsung dengan bidang pekerjaannya sebagai wujud nyata dukungan dan komitmen manajemen terhadap program e-Learning.
• Adakan E-Learning Contest bagi para pegawai dengan menyediakan sertifikat ataupun piala bergilir serta insentif bagi individu unit kerja yang berhasil menang, lalu publikasikan di media informasi intern seperti bulletin ataupun diumumkan di pertemuan-pertemuan pegawai.
• Buat program e-Learning yang user-friendly dengan meminta masukan-masukan dari peserta, serta bentuk Helpline/Helpdesk khusus untuk melayani pertanyaan-pertanyaan teknis seputar pelaksanaan pelatihan-pelatihan yang diikuti pegawai serta membentuk coach team di tiap unit kerja yang bertugas memberikan saran-saran dalam penerapan ilmu dan ketrampilan yang baru diperoleh pegawai dari pelatihan.

Namun yang perlu diingat adalah bahwa kehadiran e-Learning bukanlah untuk menggantikan classroom training karena hubungan antara keduanya justru untuk saling melengkapi. E-Learning yang dilakukan mendahului classroom training memberikan persiapan bagi para pesertanya sehingga dapat berpartisipasi aktif di kelas. Selanjutnya proses pembelajaran di kelas diharapkan lebih menekankan kepada praktek seperti studi kasus ataupun pemecahan masalah dengan mengurangi bobot teoritis.

Hal lain yang penting untuk diingat bahwa pelatihan adalah suatu proses yang berlangsung terus-menerus dalam suatu organisasi pembelajaran. Karenanya program-program e-Learning harus diimplementasikan secara berkesinambungan untuk menjamin keberhasilan perusahaan sebagai organisasi pembelajaran.

PRODUK SEBAGAI UJUNG TOMBAK BRAND

“Apalah artinya sebuah nama?” Demikian ungkapan yang sering kita dengar. Hal ini tampaknya berlaku untuk barang kebutuhan sehari-hari atau yang dikenal dengan istilah fast-moving consumer goods (FMCG) mulai dari sabun cuci hingga air minum dalam kemasan serta stationery. Barang-barang demikian termasuk dalam kriteria repertoire market karena sifatnya yang cenderung homogen dari satu produsen ke produsen lainnya sehingga konsumen sepertinya tidak terlalu menghiraukan apapun merek produk yang mereka beli dan dengan mudah berganti merek hanya karena sedang dalam masa promosi atau diskon. Dengan kata lain, konsumen cenderung tidak memiliki loyalitas terhadap merek tertentu. Akibatnya, distributor seperti supermarket sebagai titik kontak langsung dengan konsumen ikut menentukan keberhasilan penjualan suatu merek tertentu. Karena itu muncul fenomena dengan dijualnya produk-produk bermerek supermarket (store brand) sebagai dampak menguatnya bargaining power mereka sebagai distributor untuk “memaksa” para produsen/pemasok untuk memasang juga merek supermarket pada produk produsen yang kemudian dijual dengan harga lebih murah.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah fenomena ini juga berlaku untuk bidang jasa seperti perbankan mengingat sifat jasa perbankan sendiri yang termasuk dalam kategori subscription market dimana konsumen harus berinteraksi dengan frontline bank untuk mendapatkan pelayanan dan melalui prosedur tertentu untuk menjadi nasabah sehingga memungkinkan munculnya loyalitas terhadap bank tertentu. Kenyataan yang kita temui adalah bahwa kebanyakan nasabah bank saat ini bertransaksi atau memiliki rekening di lebih dari satu bank akibat kompetisi di dunia perbankan yang diwarnai dengan diversifikasi produk disertai berbagai kemudahan bahkan iming-iming tertentu apabila menjadi nasabah sehingga memungkinkan nasabah untuk memilih bank sesuai preferensinya.

Berdasarkan kenyataan demikian, maka peran cabang sebagai ujung tombak utama pelayanan bank yang banyak berinteraksi dengan nasabah menjadi penting. Peran cabang dapat disamakan dengan supermarket karena dapat ikut menentukan keberhasilan penjualan suatu produk. Bayangkan seandainya cabang-cabang Bank Mandiri boleh menjual produk-produk dari bank-bank lain sama seperti halnya supermarket yang menjual produk dari berbagai produsen. Bisa saja terjadi bahwa ternyata mereka lebih bersemangat untuk menjual produk bank pesaing karena produk-produknya lebih mudah dipasarkan dan lebih sesuai dengan kebutuhan para nasabah selain mungkin juga karena reward scheme yang lebih baik.

Disinilah peran bagian pengembangan produk (product managers) selaku “pemilik” produk akan sangat menentukan kesuksesan produk yang akan dijual kepada nasabah. Strategi yang perlu dijalankan untuk tujuan tersebut adalah “Pull & Push”. Melalui strategi demikian, keberadaan dan kelebihan-kelebihan produk diinformasikan secara gencar kepada nasabah/masyarakat melalui iklan di berbagai media disertai berbagai program promosi untuk merangsang target audience mencari tahu lebih jauh (Pull) melalui titik kontak bank seperti cabang, dan untuk itulah perlunya meyakinkan dan memotivasi cabang-cabang bahwa produk yang akan mereka jual adalah memang produk yang bisa memenuhi kebutuhan dan keinginan nasabah (Push).

Dalam perbankan, produk/layanan juga tidak bisa dipisahkan dari merek (brand) sebagai identitas produk/layanan itu sendiri. Untuk Bank Mandiri, hampir semua produknya menyandang nama Mandiri seperti Tabungan Mandiri, Deposito Mandiri dan Giro Mandiri. Penggunaan nama Mandiri di hampir semua produk/layanan adalah sangat relevan mengingat positioning Bank Mandiri di pasar perbankan Indonesia yang sudah demikian strategis didorong oleh meningkatnya awareness dan perceived value masyarakat terhadap nama Bank Mandiri sehingga menguatkan posisinya sebagai brand equity.

Ketenaran nama Bank Mandiri ini sendiri bisa menjadi dua sisi mata pedang bila tidak dipergunakan secara cermat dan bijaksana untuk kepentingan marketing. Di satu pihak menguntungkan karena dapat berfungsi sebagai endorsement bagi produk-produk/layanan-layanan baru sehingga akan lebih mudah diterima oleh masyarakat (seperti meniru salah satu iklan: “Satu lagi dari …. Bank Mandiri!”). Namun di pihak lain ketenaran nama Bank Mandiri membuat tingginya pengharapan masyarakat (expected value) terhadap setiap produk/layanan perbankan yang menyandang nama Mandiri.

Oleh karena itu, setiap peluncuran produk/layanan baik yang bersifat baru maupun hasil pengembangan hendaknya benar-benar dipersiapkan matang khususnya dengan mempertimbangkan trend kebutuhan dan permintaan masyarakat serta karakteristik setiap cabang yang tentunya berbeda-beda. Jangan sampai terjadi bahwa suatu produk/layanan yang belum matang atau belum layak jual (antara lain karena belum dilakukan market test, belum siapnya infrastruktur pendukung termasuk di dalamnya kesiapan cabang-cabang sebagai distributor) namun dipaksakan untuk dipasarkan. Dampak dari hal tersebut bisa menurunkan confidence terhadap Bank Mandiri baik intern maupun ekstern yang pada akhirnya dapat menghancurkan brand equity yang sudah dibangun.

Memang tidak ada formulasi tertentu untuk menentukan timing kapan waktunya suatu produk/layanan siap dipasarkan. Namun yang perlu diperhatikan adalah bahwa untuk menjadi pemenang pasar kita tidak harus selalu menjadi pelopor (first mover). Dalam beberapa hal, menjadi follower bisa memberikan keuntungan tersendiri. Kuncinya kembali lagi adalah kesiapan seluruh jajaran yang terlibat untuk memberikan komitmen penuh.

MEMPROMOSIKAN INTERNET BANKING SECARA EFEKTIF

Menarik sekali mengamati dan mempelajari fenomena yang terjadi di sekitar kegiatan bisnis Foodland, sebuah jaringan toko serba ada (supermarket chains) yang berkembang khususnya di Australia Selatan. Meskipun dalam hal jaringan distribusi di seluruh wilayah Australia tidaklah sebesar supermarket chains yang lain seperti Coles, Woolworths atau Bi-Lo yang bila di Indonesia mungkin bisa disetarakan dengan Carrefour atau Giant, namun memang justru jargon Foodland yang selalu mereka pasang pada setiap media promosi adalah “proudly South Australian owned and operated” dan satu hal yang selalu menjadi unggulan mereka adalah harga yang kompetitif (baca=lebih murah?) yang mereka tawarkan kepada konsumen.

Namun apa yang menggelitik penulis untuk membuat tulisan ini bukanlah bagaimana bisnis retail seperti Foodland beroperasi, melainkan bagaimana strategi marketing yang mereka laksanakan untuk menciptakan competitive advantage bagi usaha mereka sehingga akan menarik konsumen untuk berbelanja di toko mereka. Salah satu strategi yang menarik minat penulis untuk membahasnya adalah strategi yang dijalankan salah satu tokonya dalam hal pengaturan kereta belanja (trolley) yang melibatkan konsumen secara aktif. Mengapa hal ini menjadi menarik?

Pada suatu waktu saat penulis sedang berbelanja kesana, penulis melihat seorang konsumen mendorong kereta belanja yang baru saja dia gunakan dari halaman parkir ke dalam toko. Sesaat dia mendorong masuk kereta belanja ke pangkalannya (trolley bay), sistem di pangkalan kereta belanja yang dirancang khusus secara otomatis mengeluarkan uang logam sebagai reward karena sang konsumen membantu mengembalikan kereta belanja ke tempatnya. Yang menjadi pertanyaan penulis selanjutnya adalah apakah promosi semacam ini tidak menambah biaya? Sekiranya tidak, apakah keuntungan yang kiranya bisa diperoleh Foodland dengan mengeluarkan biaya tambahan untuk hal diatas?

Pertanyaan ini terjawab setelah penulis mengamati kegiatan pengaturan kereta belanja yang dilakukan oleh toko-toko lain Apa yang dilakukan oleh toko-toko lain adalah mereka harus mempekerjakan tenaga kerja tambahan untuk mengumpulkan, mengembalikan, dan mengatur kembali kereta-kereta belanja yang ditinggalkan oleh para pelanggan di pelataran parkir setelah mereka memasukkan barang-barang yang dibeli ke dalam kendaraan. Tenaga kerja tambahan berarti biaya operasional tambahan yang pada gilirannya akan memperkecil margin keuntungan perusahaan atau yang lebih buruk lagi akan berdampak pada berkurangnhya daya saing apabila perusahaan berada dalam pasar yang sangat kompetitif sehingga margin yang sudah ada sudah sangat kecil.

Gambaran kisah diatas segera mengingatkan penulis tentang layanan elektronik terbaru yang diluncurkan oleh Bank Mandiri belum lama ini, Internet Banking Mandiri. Seperti layaknya bidang-bidang usaha lainnya, internet banking memiliki keuntungan tersendiri antara lain kecepatan dan akurasi informasi yang bisa diperoleh oleh nasabah serta kemudahan bertransaksi yang dapat dinikmati oleh nasabah hanya dengan cara mengakses internet dimanapun dia berada.

Hal menarik lainnya yang perlu juga diperhatikan adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh Booz Allen & Hamilton pada tahun 1999. Penelitian yang membandingkan biaya per transaksi perbankan diantara berbagai media pelayanan diantaranya konter kantor cabang ($1.07), telepon ($0.54), ATM ($0.027) dan internet ($0.01) menunjukkan bahwa internet memberikan beban terendah bagi bank dalam melayani nasabahnya. Ini berarti bahwa semakin banyak nasabah yang bertransaksi menggunakan layanan internet, maka semakin rendah biaya operasional yang harus ditanggung oleh bank. Dengan kata lain, pemanfaatan internet banking dapat semakin meningkatkan profitabilitas nasabah, yang pada gilirannya meningkatkan keuntungan bank.

Namun di sisi lain diakui pula bahwa internet membutuhkan investasi yang relatif besar berkaitan dengan pembangunan sistem infrastrukturnya, sehingga dalam konteks economies of scale internet biasanya hanya menjadi alternatif bagi perusahaan-perusahaan besar. Berkaitan dengan hal ini, nampaknya Bank Mandiri telah berada di jalur yang benar dengan meluncurkan internet banking karena dengan jumlah nasabah yang demikian besar maka biaya yang dibebankan kepada setiap nasabah akan semakin kecil.

Apa yang perlu dilakukan selanjutnya adalah bagaimana mendorong nasabah untuk memanfaatkan layanan elektronik ini semaksimal mungkin. Mengkomunikasikan kepada nasabah maupun calon nasabah melalui berbagai media tentang bagaimana internet banking dapat mempermudah transaksi perbankan mereka tentulah suatu hal yang tepat untuk meningkatkan awareness mereka tentang benefit yang diperoleh dengan menggunakan internet banking. Namun yang perlu juga dilakukan adalah memberikan stimulasi kepada nasabah agar mereka berkeinginan untuk mencoba/memanfaatkan layanan internet banking ini, seperti yang dilakukan oleh Foodlands dengan memberi insentif untuk setiap pengembalian kereta belanja. Pemberian insentif ini bisa dikompensasikan dari potensi penghematan biaya apabila kelak nasabah sudah terbiasa menggunakan internet banking, apalagi dengan pertimbangan bahwa pemberian insentif ini bersifat promosional sehingga bukan merupakan biaya tetap.

Hal terakhir yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana memastikan bahwa program promosi ini berjalan secara efektif sesuai tujuan. Hal ini tentunya berpulang kembali kepada bagaimana menerapkan aturan-aturan main yang jelas, termasuk di dalamnya menutupi celah-celah yang dapat dimanfaatkan. Dalam kasus Foodlands, misalnya, mencegah kemungkinan adanya orang-orang tertentu yang dengan sengaja mengeluarkan kereta belanja kosong dari dalam toko untuk dimasukkan kembali ke dalam pangkalannya karena mereka harus melewati para kasir di pintu keluar. Untuk pengamanan promosi internet banking, mungkin saatnya para ahli teknologi informasi (IT) yang berbicara.

MEMBUDAYAKAN SIKAP INOVATIF DALAM BEKERJA

Ada pengalaman menarik yang dialami penulis sewaktu membayar jasa pemeriksaan di salah satu laboratorium klinis di Adelaide, Australia. Petugas yang melayani kebingungan bagaimana melayani overseas student yang tidak dikaver oleh asuransi pemerintah. Akhirnya penulis menawarkan untuk membayar tunai dengan pertimbangan kemudahan proses, dan tawaran ini diterima oleh petugas tersebut setelah berkonsultasi dengan kantor pusatnya. Namun ternyata pada waktu menerima cek penggantian biaya laboratorium dari asuransi kesehatan, penulis mendapati bahwa cek tersebut tidak dapat langsung diuangkan oleh penulis karena tertulis atas nama laboratorium tersebut sehingga harus diendors terlebih dahulu. Kembali penulis mendatangi petugas disana, dan ternyata prosedur yang harus dijalankan untuk mengendors cek tersebut memakan waktu lama. Karena sudah demikian lama menunggu penggantian uang yang jumlahnya tidak terlalu signifikan, maka penulis minta agar kiranya bisa langsung diganti tunai dengan kompensasi menyerahkan cek untuk dapat diuangkan langsung karena memang sudah atas nama laboratorium tersebut. Dengan pertimbangan diatas maka kedua belah pihak dapat menghemat waktu dan biaya (karena laboratorium tidak harus mengirimkan cek yang sudah diendors kembali ke pengirim). Namun dengan tegas(atau kaku?)nya petugas tersebut mengatakan bahwa dia mengikuti prosedur dari kantor pusatnya. Alhasil, penulis harus menunggu lagi untuk sekian lama karena ternyata cek tersebut tampaknya salah kirim di bagian lain di kantor pusatnya sehingga masih harus ditelusuri lagi keberadaannya.

Cuplikan pengalaman seperti diatas seringkali terjadi. Akibat prosedur kaku yang dijalankan oleh suatu perusahaan tanpa melihat perubahan situasi dan kondisi di masyarakat yang merupakan target pasarnya mengakibatkan ketidakpuasan konsumen karena harus menjadi “korban” dari prosedur yang kaku tersebut. Konsumen yang kecewa tersebut mungkin akan menceritakan pengalaman buruk yang dialaminya kepada orang-orang yang dikenalnya ataupun kedalam kolom keluhan pelanggan di media massa. Akibatnya akan lebih buruk lagi buat perusahaan apabila bidang usaha yang dijalankannya dalam kondisi persaingan sempurna karena membuka peluang bagi perusahaan-perusahaan pesaing.

Mari kita hibur diri kita sejenak dengan mendengarkan musik jazz. Nada-nada yang terdengar sekilas terkesan tidak beraturan dan berbeda setiap kali bagian lagu yang sama dimainkan ulang. Namun hal lain yang menonjol dalam suatu penampilan musik jazz adalah bagaimana para pemainnya tampak benar-benar menghayati permainannya baik secara individual maupun sebagai suatu kelompok sehingga menghasilkan suatu musik yang dinamis, sementara para penikmatnyapun tampak terlibat secara emosional dengan musik yang sedang dimainkan.

Apa yang menarik dari musik jazz seperti yang diungkapkan oleh Noel Dennis dan Michael Macaulay dari Tesside Business School, UK adalah bagaimana musik tersebut dimainkan dengan melibatkan perasaan masing-masing pemainnya sehingga tidak pernah menghasilkan musik yang persis sama. Dan kunci dari semua itu adalah improvisasi yang mengakar kepada kreatifitas terstruktur, fleksibilitas, interaksi dalam kerjasama serta inovasi. Setiap pemain diberi keleluasaan untuk berimprovisasi sehingga mereka bisa mengeluarkan kreatifitas dan inovasi mereka secara penuh mengikuti tuntutan para penikmatnya namun tetap dalam kerangka permainan bersama yang interaktif sehingga tidak pernah menonjolkan satu pemain tertentu. Hal inilah yang membedakan musik jazz dari musik-musik lainnya, misalnya musik yang dimainkan oleh suatu orkestra dimana semua pemain harus mengikuti aba-aba yang diberikan oleh sang konduktor sehingga konduktor memegang peran kunci dan menentukan.

Seperti halnya musik jazz yang berorientasi kepada pendengarnya, suatu perusahaan barang/jasa yang berorientasi pasar seharusnya lebih memberi peluang kepada pegawai-pegawainya yang langsung berhadapan dengan konsumen untuk berimprovisasi pada waktu melayani para konsumennya. Para pegawai tersebut harus dididik menjadi inovatif sehingga memiliki kemampuan untuk berimprovisasi dengan benar, tentunya setelah terlebih dahulu dipastikan bahwa mereka memahami benar apa visi, misi dan sasaran perusahaan. Sehingga improvisasi yang dilakukan tersebut tetap dalam kerangka strategi perusahaan serta melibatkan unsur-unsur lain di perusahaan yang terkait untuk memastikan bahwa improvisasi yang dilakukan tidak merugikan perusahaan.

Dalam konteks Bank Mandiri, penerapan hal diatas dapat dilakukan antara lain dengan memberi lebih banyak keleluasaan bagi cabang-cabang agar mereka dapat berinovasi atau memodifikasi langkah-langkah mereka dalam mengimplementasikan strategi perusahaan dalam kerangka mencapai tujuan akhir perusahaan. Bagi para pimpinan unit kerja di cabang, biarkan para pegawai mereka melakukan beberapa penyesuaian selama hal tersebut selalu dilaporkan/termonitor dan sejalan dengan tujuan perusahaan.

Keuntungan lain dari penerapan langkah-langkah diatas adalah bisa digunakan sebagai sarana untuk memonitor dan/atau mengukur keberhasilan pelaksanaan strategi perusahaan. Dari interaksi yang terjadi pada waktu para pegawai melakukan improvisasi, para pimpinan akan dapat mengukur seberapa jauh strategi dan tujuan perusahaan dipahami oleh para pegawainya. Implikasi dari hal tersebut adalah untuk mendukung obyektifitas penilaian terhadap setiap pegawai karena bagi pegawai yang improvisasinya mendukung strategi dan memberi keuntungan kepada perusahaan tentunya layak mendapatkan penghargaan (reward).

Selamat berjazz ria dalam bekerja!!

TEKNIK BERNEGOSIASI DENGAN NASABAH

”Pelanggan adalah raja”. Demikian slogan yang sering kita dengar dan didengung-dengungkan oleh banyak perusahaan, terutama yang bergerak dalam bidang layanan langsung kepada konsumen. Berbagai versi muncul sebagai interpretasi dari slogan diatas seperti “You are our valued customer”, yang pada intinya ditujukan untuk menyatakan kepada setiap pelanggan betapa pentingnya mereka bagi kelangsungan hidup perusahaan dan oleh karenanya perusahaan akan berusaha memberikan pelayanan yang terbaik untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan.

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimanakah bentuk hubungan dengan para pelanggan itu sendiri? Apakah dengan latar belakang kondisi dunia usaha saat ini dimana semakin banyak muncul perusahaaan-perusahaan sejenis sehingga semakin memperketat persaingan untuk merebut hati pelanggan maka perusahaanlah yang harus selalu mengejar pelanggan dengan segala cara agar pelanggan senantiasa berbisnis dengan kita dan enggan berpaling kepada yang lain (loyal)?

Mari sekarang kita melihat dari sisi pelanggan. Bagaimana setiap pelanggan mempersepsikan value dari barang/jasa yang diterima (perceived value) menentukan interaksi bisnisnya dengan perusahaan. Dalam konteks ini, maka loyalitas yang muncul bukanlah terhadap perusahaan melainkan bagaimana value (baca : keuntungan) yang diterimanya dari perusahaan. Idealnya, persepsi pelanggan terhadap suatu barang/jasa tersebut melebihi harga (Price) yang ditetapkan perusahaan sehingga memberi ruang yang lebih leluasa bagi perusahaan dalam menetapkan harga (Perceived Value > Price > Cost). Bahkan menurut John Dawes dari Marketing Science Center–University of South Australia, adanya perceived value yang kuat memungkinkan perusahaan untuk menetapkan harga premium bagi barang/jasanya yang dampaknya justru bisa memperkuat posisi perusahaan di pasar.

Lantas bagaimana memanfaatkan persepsi yang tampaknya bersifat subyektif tersebut karena setiap pelanggan memiliki penilaian masing-masing? Disinilah berperannya fungsi marketing communication perusahaan melalui iklan dalam rangka membentuk citra (corporate/product image) sebagai titik awal pembentukan persepsi kolektif pelanggan. Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah fungsi saluran distribusi (channels) dan infrastruktur untuk mendukung terbentuknya image tersebut. Channels berperan memudahkan jangkauan dan menjamin kepastian pendistribusian kepada pelanggan sedangkan infrastruktur mendukung distribution hannels dalam menciptakan standarisasi. Ketiga hal diatas (image, channels, infrastructure) yang merupakan bagian internal perusahaan secara bersama-sama akan membentuk persepsi kolektif pelanggan terhadap perusahaan. Faktor lain yang juga mempengaruhi persepsi pelanggan adalah posisi perusahaan diantara perusahaan-perusahaan lain yang bergerak di pasar yang sama. Semakin besar pangsa pasar perusahaan, maka semakin positif pengaruhnya terhadap persepsi pelanggan.

Salah satu tantangan yang akan selalu muncul adalah bagaimana menghadapi kondisi pasar dimana perusahaan-perusahaan pesaing melakukan strategi ‘perang harga’ (price promotions). Kondisi demikian biasanya dijadikan senjata oleh pelanggan untuk meminta lebih dari apa yang telah mereka terima selama ini dengan disertai ancaman untuk mengakhiri hubungan bisnisnya dengan perusahaan apabila permintaan mereka tidak dipenuhi. Dalam konteks dunia perbankan misalnya adanya nasabah yang (konon) dijanjikan suku bunga yang lebih menarik dan karenanya menuntut banknya sekarang untuk memberikan suku bunga seperti yang ditawarkan oleh ‘bank sebelah’. Yang perlu dipahami adalah bahwa strategi ‘perang harga’ mengandung konsekuensi yang sangat besar karena harus diimbangi dengan peningkatan volume bisnis yang jauh lebih besar lagi untuk bisa ‘mengembalikan’ keuntungan perusahaan. Karenanya strategi ini biasanya dilancarkan hanya untuk jangka pendek atau untuk memperkenalkan produk baru (new product launch).

Berikut beberapa tips yang layak dicoba dalam menghadapi nasabah-nasabah yang berusaha memanfaatkan kondisi ‘perang harga’ seperti diatas:
• Pastikan para nasabah (khususnya nasabah prima) menyadari keuntungan-keuntungan dan perlakuan-perlakuan (khusus) yang mereka peroleh sebagai nasabah kita
• Berikan kompensasi kepada nasabah yang bukan hanya sekedar bertransaksi (kuantitatif), namun dalam setiap transaksinya tersebut memberikan keuntungan bagi perusahaan (kualitatif)
• Tetapkan pricing yang baku untuk setiap produk/layanan yang standar, dan beri peluang negosiasi hanya untuk produk/layanan yang bersifat komoditas (ada korelasi antara volume dan profit) dengan mengupayakan nasabah agar mau melakukan ‘pertukaran’ (trade-off), misalnya konsesi harga untuk jumlah transaksi yang signifikan dan hanya untuk jangka waktu singkat dengan tujuan untuk merangsang nasabah menaikkan volume transaksi
• Jangan terpancing oleh trik-trik/ancaman-ancaman yang dilancarkan nasabah. Negosiasi harga bukanlah hanya untuk kepentingan satu pihak, jadi jangan berikan nasabah peluang untuk menuntut karena merasa telah memberi kita bisnis
• Bersiap-siaplah untuk kehilangan sebagian kecil nasabah demi untuk mempertahankan kebijakan pricing yang tetap menguntungkan perusahaan

Kiranya posisi strategis Bank Mandiri di dunia perbankan Indonesia yang didukung jaringan yang luas serta infrastruktur yang semakin mantap akan meningkatkan perceived value nasabah dan sekaligus menumbuhkan confidence bagi setiap pegawai khususnya dalam memperbaiki bargaining position mereka terhadap nasabah.

“PENGEMASAN” SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENENTU DAYA JUAL PRODUK

Seorang rekan yang berasal dari propinsi Nanggroe Aceh Daroessalam (NAD) menceritakan kepada penulis tentang pengalamannya menikmati salah satu obyek wisata yang ada di negara bagian Australia Selatan, yaitu air terjun yang berada di daerah Tranmere (bagian utara kota Adelaide). Apa yang menimbulkan keinginan rekan tersebut untuk mendatangi air terjun tersebut? Apakah karena promosi yang gencar dilaksanakan oleh Tourism Office setempat? Ternyata banyak obyek wisata lain yang lebih diprioritaskan oleh pemerintah setempat untuk dipromosikan, seperti Kangaroo Island dengan singa lautnya, Barossa Valley dengan perkebunan anggurnya, maupun Hahndorf yang dikenal sebagai perkampungan Jerman. Rekan tersebut lalu menceritakan bahwa apa yang membuatnya tertarik adalah promosi yang disampaikan oleh orang-orang yang ditemuinya sehari-hari, baik masyarakat umum maupun rekan-rekan sesama mahasiswa termasuk yang berasal dari negara-negara lain. Lalu apakah karena adanya cerita dari orang-orang sekitarnya membuat rekan tersebut begitu saja terbujuk dan antusias mengunjungi air terjun tersebut? Tidak hanya itu. Ada hal lain yang diakui juga memotivasi dirinya untuk pergi, yaitu karena kemudahan untuk mencapai tempat tersebut. Selain lokasinya yang memang tidak terlalu jauh dari pusat kota, juga informasi bagaimana menuju kesana sangat lengkap dan sarana yang tersedia sangat memadai, seperti kendaraan umum yang layak dan jaminan rasa aman, serta apa yang dirasakannya dalam perjalanan menuju kesana yaitu keramah-tamahan penduduk sekitar lokasi yang dengan penuh antusias dan sukarela menjadi pemandu. Lalu bagaimana dengan air terjunnya sendiri sebagai produk wisata yang “dijual”? Komentar rekan tersebut : “Masih lebih besar dan indah air terjun yang ada di kampung isteri saya di Biluy, Aceh Besar!”.

Ingin tahu tentang satu lagi obyek wisata di negara bagian Australia Selatan, yaitu Hahndorf yang dipromosikan sebagai perkampungan Jerman karena disinilah pertama kali orang-orang Jerman yang datang ke Australia Selatan bermukim (early settlers). Dalam berbagai brosur yang mudah diperoleh di tempat-tempat umum seperti stasiun bis dan kereta api dimunculkan berbagai alternatif paket wisata, mulai dari jenis kendaraan hingga jenis makanan yang disajikan, dengan harga yang bervariasi. Salah seorang rekan lain yang berkesempatan mengambil paket wisata kesana menceritakan bahwa sepanjang perjalanan banyak ditemui petunjuk yang memudahkan untuk mencapai tujuan wisata tersebut disertai tour guide yang sangat ramah dan komunikatif. Lalu ketika ditanya tentang obyek wisata itu sendiri, rekan tersebut menjawab, “sebarisan rumah tua yang konon bergaya Jerman, bahkan sebagian diantaranya beratap seng sebagaimana layaknya rumah-rumah pertanian pada umumnya!!”.

Lalu apakah kedua rekan penulis diatas merasa kecewa dengan kenyataan tentang keadaan kedua obyek wisata yang mereka kunjungi karena ternyata tidak seheboh yang mereka bayangkan dari promosi dan omongan orang-orang, bahkan masih kalah bagus dengan obyek-obyek wisata daerah mereka sendiri? Ternyata mereka bahkan memuji segala kemudahan dan kenyamanan yang ditemui selama berwisata tersebut.

Pesan yang penulis ingin sampaikan melalui cerita diatas adalah bagaimana peran Pengemasan Produk (Packaging) dalam industri jasa (service) dalam usaha memasarkan suatu produk jasa. Suatu produk yang sebetulnya “biasa-biasa saja” dapat menjadi memiliki daya jual (marketable) karena dikemas sedemikian rupa sehingga menumbuhkan minat konsumen. Dalam industri pariwisata seperti digambarkan diatas, peran infrastruktur seperti transportasi akomodasi yang memadai dan memungkinkan setiap konsumen memilih alternatif yang sesuai dengan selera dan kemampuan masing-masing, ketersediaan sarana komunikasi pemasaran yang mampu secara efektif menjangkau target customers baik secara formil melalui penempatan brosur dan petugas yang komunikatif hingga efek positif promosi dari mulut ke mulut (words of mouths) yang timbul karena adanya rasa memiliki baik oleh petugas maupun existing customers yang sudah berkesempatan memanfaatkan jasa tersebut.

Bagaimana dengan produk-produk dalam industri perbankan yang juga merupakan produk-produk jasa? Seperti kita ketahui bersama bahwa suatu jenis produk perbankan yang dikeluarkan satu bank pada umumnya memiliki kesamaan baik dengan produk-produk pendahulunya maupun dengan produk-produk bank pesaing karena pada dasarnya merupakan pengembangan dari produk yang sudah ada di pasaran sebelumnya (product development). Saat ini umumnya setiap konsumen pengguna jasa bank tidak hanya menjadi nasabah satu bank tertentu, tetapi juga nasabah di bank-bank lain. Karenanya setiap bank berusaha untuk dapat memenangkan hati setiap nasabahnya dengan tujuan agar menjadi pilihan utama dalam setiap transaksi. Disinilah peran pengemasan dari produk masing-masing bank tersebut untuk menciptakan daya tarik dan daya saing tersendiri dibanding produk bank-bank pesaingnya.

Seperti halnya kisah obyek wisata diatas, bagaimana kondisi/fitur produk yang ditawarkan terkadang bukan menjadi pertimbangan utama seseorang dalam memilih, tetapi justru lebih dipengaruhi oleh bagaimana kemudahan dan kenyamanan untuk dapat memanfaatkan produk itu hingga bagaimana kepuasan nasabah dalam penyelesaian setiap keluhan. Disinilah dituntut adanya infrastruktur/sistem yang “mengemas” pelayanan dengan baik sehingga akan menumbuhkan confidence tinggi pada setiap pegawai. Selanjutnya promosi mulut ke mulut (words of mouths) baik dari pegawai sendiri maupun nasabah yang telah menikmati kepuasan layanan – seperti ungkapan “Tak kenal maka tak sayang” – akan memberikan personal touch yang memiliki nilai tersendiri.

Keadaan diatas akan meningkatkan kepercayaan masyarakat yang merupakan salah satu bentuk market-based assets, yang berdampak pada bertambahnya preferensi terhadap bank tersebut. Bila sudah demikian, maka tugas Bagian Pengembangan Produk yang melengkapi/menyempurnakan fitur-fitur dan Bagian Promosi yang mempublikasikan setiap produk akan lebih efektif.

DILEMA DALAM PEMASARAN PRODUK PERBANKAN DI INDONESIA

Tingginya tingkat persaingan antar bank di Indonesia mengharuskan setiap bank untuk selalu mencari terobosan baru dalam memasarkan produk-produknya agar bisa meningkatkan market share masing-masing di masyarakat. Hal ini ditempuh antara lain dengan berusaha menyediakan berbagai layanan perbankan maupun finansial lainnya dalam rangka menjadikan bank masing-masing sebagai “one stop financial & banking service”.

Berbagai jalan ditempuh oleh masing-masing bank untuk dapat meningkatkan market share sebagai salah satu sasaran operasional (operational objective) mereka, antara lain dengan memperluas customer base maupun dengan memberikan stimuli kepada nasabah yang sudah ada untuk meningkatkan intensitas transaksi maupun memanfaatkan variasi produk yang ditawarkan oleh banknya (cross selling). Untuk mencapai hal tersebut, berbagai usaha dilakukan antara lain dengan meningkatkan promosi serta menggiatkan usaha pengembangan baik produk maupun sistem layanan yang kesemuanya berorientasi kepada nasabah.

Berdasarkan observasi yang dipresentasikan oleh Dr. David Corkindale, ada tiga jenis pasar berdasarkan perilaku dan loyalitas pembelinya, yaitu :
1. Repertoire Markets : pasar dimana konsumen melakukan pembelian berdasarkan kategori barang/jasa yang akan dikonsumsi, bukan berdasarkan merek (brand) tertentu dalam kategori barang/jasa tersebut; biasanya berlaku hukum substitusi (konsumen membeli dari berbagai merek/multi branding). Contoh : barang kelontong, acara TV.
2. Subscription Markets : pasar dimana konsumen menentukan satu merek tertentu untuk kategori barang/jasa yang akan dikonsumsi, karena sifat dari kategori barang/jasa tersebut yang mensyaratkan adanya pengajuan permohonan (to subscribe) untuk bisa menjadi pemakai. Contoh : perbankan, asuransi.
3. Durable Markets : pasar dimana kategori barang/jasa yang dibeli tersebut dikonsumsi untuk periode yang cukup lama sebelum melakukan pembelian berikutnya. Contoh : mobil, kulkas.

Berdasarkan klasifikasi pasar diatas, maka perbankan dinyatakan termasuk kedalam jenis Subscription Markets dengan cirinya antara lain adanya loyalitas pada satu merek karena keputusan untuk memilih satu merek tertentu dalam kategori tersebut didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan yang mendasari konsumen untuk membuat suatu komitmen investasi jangka panjang. Dalam hal ini, keputusan yang didasarkan pada perasaan (emotional decision) seharusnya mengambil porsi yang lebih besar dibanding keputusan yang hanya mengandalkan pertimbangan rasional semata dalam menentukan pilihan perbankan.

Di Indonesia, bisnis perbankan tampaknya tidak terlalu mengikuti pola pasar diatas. Hal ini bisa dilihat dari adanya kecenderungan nasabah suatu bank juga menjadi nasabah bank lain (polygamous buying behavior), suatu kondisi yang seharusnya menjadi ciri dari repertoire markets. Hal ini bisa jadi dipengaruhi oleh sangat banyaknya jumlah bank beroperasi di Indonesia saat ini yang jumlahnya bisa mencapai ratusan (bandingkan, misalnya, dengan jumlah hanya belasan bank yang beroperasi di seluruh daratan Australia), menjadikan kompetisi antar bank sangat ketat. Akibat “terlalu” sempurnanya kompetisi perbankan di Indonesia namun tidak diimbangi oleh perkembangan pasar yang menjadi targetnya, mendorong setiap bank melaksanakan mass marketing melalui promosi di berbagai media massa yang bertujuan untuk meraih sebanyak mungkin nasabah, termasuk dengan berbagai iming-iming hadiah. Usaha penetrasi pasar melalui berbagai promosi seperti diatas tentunya memberikan hasil yang diharapkan antara lain meningkatnya customer base.

Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah apakah tujuan suatu bank hanya ingin memperluas customer base melalui penetrasi pasar yang dilakukannya? Mungkin jawabannya adalah “Ya” jika memang meningkatnya jumlah nasabah juga meningkatkan volume dan revenue penjualan. Namun pertanyaan berikutnya yang muncul adalah apakah peningkatan volume dan revenue penjualan tersebut secara otomatis juga meningkatkan keuntungan bank? Untuk hal ini tentunya bergantung pada seberapa besar porsi peningkatan revenue tersebut dibanding porsi peningkatan biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk melaksanakan program-program penetrasi pasar tersebut. Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa yang menjadi sasaran operasional bank bukan hanya meningkatkan jumlah nasabahnya tetapi justru yang terpenting adalah bagaimana peningkatan jumlah nasabah tersebut memberikan kontribusi terhadap laba operasional bank. Pada gilirannya, peningkatan laba operasional ini secara proporsional juga akan meningkatkan jumlah anggaran untuk pengembangan produk dan layanan yang berorientasi kepada kebutuhan masing-masing nasabah yang berbeda.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa apapun langkah pemasaran yang diambil suatu bank, baik itu berupa akuisisi nasabah baru maupun memelihara nasabah yang sudah ada, harus memperhitungkan value dari tiap-tiap nasabah dengan sasaran akhir mencapai return per customer yang tinggi. Yang harus menjadi fokus adalah bagaimana memelihara loyalitas nasabah melalui “sentuhan” pelayanan kepada setiap nasabah secara individual, yang akan menimbulkan pengalaman berkesan serta akan mempengaruhi keputusan mereka dalam menentukan pilihan investasi jangka panjangnya. Dengan kondisi tersebut, masih perlukah nasabah mencari produk competitor sebagai substitusi ?

SIKAP PROFESIONAL SEBAGAI WUJUD INTEGRITAS DIRI

Ada dua pengalaman serupa yang Penulis alami dengan implikasi yang berbeda karena apa yang terjadi di masing-masing kejadian mencerminkan sikap dan pola perilaku yang berbeda pula. Pengalaman pertama adalah pada waktu Penulis baru tiba di kota Adelaide dan tinggal di sebuah lodge (semacam asrama). Di lodge tiga lantai tersebut hanya tersedia kamar mandi dengan jumlah terbatas untuk digunakan bersama-sama. Di setiap kamar mandi dilengkapi dengan timer, yaitu alat yang dihubungkan ke saklar lampu dan berfungsi untuk membatasi penggunaan lampu dengan standar waktu masing-masing sesuai tujuan penggunaan kamar mandi. Tentunya waktu penggunaannya bisa diperpanjang dengan menekan lagi saklar apabila waktu sudah hampir habis namun penggunaan kamar mandi belum selesai.

Pengalaman lainnya Penulis alami di kota Mina juga berkaitan dengan penggunaan kamar mandi sebagai fasilitas bersama. Pada waktu itu Penulis sedang antri di kamar mandi pria ketika ada seorang wanita minta agar Penulis “bersabar” dengan mengizinkannya mendahului menggunakan toilet pria dengan alasan toilet wanita sedang antri (juga). Ironisnya, hal tersebut terjadi akibat ketidaksabarannya untuk tetap mengantri di toilet wanita sehingga mengorbankan hak para pria yang akan menggunakan toilet juga. Dispensasi seperti ini tidak selayaknya diberikan mengingat kondisi yang bersangkutan pada waktu itu tidak benar-benar mendesak/darurat.

Benang merah dari kedua cerita diatas adalah bagaimanapun baiknya pengaturan yang dilakukan oleh masing-masing pengelola (regulator) diatas terhadap penggunaan fasilitas bersama dengan tujuan agar kepentingan semua pihak dapat terjaga, namun keberhasilan pelaksanaannya tetap berpulang kepada komitmen masing-masing individu terutama berkaitan dengan seberapa besar rasa empati terhadap lingkungannya.

Manusia sebagai mahluk sosial tidak pernah terlepas dari interaksi dengan manusia lainnya dalam kegiatan sehari-hari. Bekerja merupakan salah satu contoh aktifitas dengan interaksi yang sangat intens antar individu di lingkungan kerja, baik interaksi antara atasan dan bawahan, sesama rekan kerja, bahkan dengan pihak ketiga yang terkait seperti rekan bisnis maupun nasabah. Apabila setiap individu sadar akan hak dan wewenangnya yang dibatasi oleh hak dan wewenang orang lain yang ada di sekitarnya, maka hubungan yang harmonis akan dapat terbentuk.

Lalu bagaimana membentuk kesadaran diri yang dapat mendorong harmonisasi hubungan antar individu? Yang paling utama adalah menanamkan rasa kepercayaan terhadap lingkungan kerjanya yang didasari keyakinan bahwa apapun hal baik yang dilakukan di lingkungan kerja akan memberikan kebaikan tidak hanya kepada rekan kerja tetapi juga kepada diri sendiri. Kesadaran semacam ini hanyalah dapat terbentuk apabila didasari oleh keyakinan bahwa kita bekerja semata-mata karena Allah dan bukan karena pamrih pada orang lain.

Kesadaran yang demikian akan membuat kita memiliki integritas yang tinggi yang menjadi sumber kepercayaan dan keberhasilan. Namun hal ini juga harus didukung oleh sikap istiqomah (konsisten). Misalnya dalam penetapan aturan jika mendesak untuk dilakukan penyesuaian maka hendaknya dibuat seobyektif dan sejelas mungkin (tidak interim) untuk menghindari kebingungan dari pihak-pihak terkait. Contoh kasus menarik yang Penulis lihat adalah Polantas yang menyelesaikan masalah kemacetan dengan membiarkan jalur busway digunakan oleh kendaraan lain dan bukan dengan membereskan simpul kemacetan misalnya mengatur angkutan umum yang berhenti sembarangan.

Integritas yang tinggi akan menimbulkan rasa bangga (dignity) setiap individu akan profesinya. Akibatnya kita akan bekerja dengan bersungguh-sungguh dengan didasari keyakinan bahwa pamrih kita dalam bekerja adalah hanya untuk diri sendiri dan untuk Allah. Dari motivasi awal kita bekerja keras dengan mengandalkan fisik karena mengharapkan adanya imbalan berupa materi, kemudian meningkat dengan bekerja secara cerdas menggunakan otak karena mengharapkan imbalan berupa pengakuan (self-esteem), maka pada akhirnya kita diharapkan dapat bekerja penuh keikhlasan dari hati yang akan menghilangkan segala sifat tinggi hati.

Apabila hal ini sudah dapat kita capai, maka terciptalah budaya kerja yang dilandasi oleh ketulusan hati. Dorongan lain yang muncul adalah keinginan untuk memberikan hasil yang terbaik (excellence) karena pada dasarnya dalam diri manusia terdapat sifat perfeksionis yang merupakan perwujudan sifat Illahi yang tertanam dalam hati manusia. Kedua hal inilah yang seharusnya menjadi dasar untuk “melayani dengan hati, menuju yang terbaik”.

Dampak yang paling besar apabila hal-hal diatas dapat tercapai tentunya akan dirasakan oleh semua yang memiliki hubungan kerja dengan kita, baik nasabah maupun pihak internal sebagai rekan kerja. Karenanya diharapkan seluruh insan dalam organisasi dapat membangun komitmen bersama yang didasari oleh perasaan tulus dan empati.

MELAYANI DENGAN SALAM

Salam (greeting) memiliki makna sebagai ucapan pembuka komunikasi. Salam mempunyai peran penting dalam melakukan hubungan antar pihak, bahkan Bank Mandiri telah menetapkan standar dalam melakukan salam untuk seluruh pegawainya dalam berkomunikasi dengan tujuan agar dapat memberikan kesan positif terhadap setiap pihak yang berinteraksi bisnis dengan Bank Mandiri.

Kata SALAM juga mempunyai arti lain yaitu damai atau selamat. Salam merupakan ungkapan yang menggambarkan bahwa antara si pemberi salam dan yang diberi salam ada perasaan bersahabat dan bersaudara. Melayani dengan salam dapat dipahami dengan bagaimana membina hubungan antara frontliner dengan pelanggan sehingga tercipta suasana yang harmonis dimana kedua pihak merasa “damai dan aman” dalam membina hubungan.

Selanjutnya akan coba dijelaskan persepsi Penulis tentang kata SALAM sebagai aktualisasi sikap dan akhlak individu dalam melayani pelanggan dengan didasarkan pada lima hal. Penjelasan yang akan disampaikan pada dasarnya berorientasi pada nilai-nilai agama yang coba diimplementasikan dengan cara yang bisa diterima secara nalar (logics). Diharapkan penjelasan ini tidak diterima secara subyektif tetapi lebih dilihat sebagai suatu konsep kebajikan yang bersifat universal.

Syukur : Orang yang bersyukur berarti selalu berterima kasih kepada Sang Pencipta atas segala nikmat dengan imbalan yang dia peroleh berupa kepuasan hati dan keberkahan. Salah satu sikap yang dimunculkan dari orang yang senantiasa dipenuhi rasa syukur dalam melakukan pekerjaannya adalah keikhlasan dalam bekerja.

Amanah : Salah satu wujud keikhlasan dalam bekerja adalah mengandalkan hati nurani yang selalu benar dan jujur. Orang yang bekerja dengan ikhlas akan menganggap jabatan dalam pekerjaannya merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan dan bila gagal akan berdampak negatif tidak hanya kepada dirinya tetapi juga kepada orang lain di sekitarnya. Hal ini akan mendorongnya bekerja dengan dedikasi dan integritas yang tinggi.

Lapang Dada : Dalam melaksanakan amanah pekerjaan, terkadang kita harus menghadapi keluhan ataupun kritik dari pihak yang kita layani karena merasa layanan yang diterima masih belum memenuhi kebutuhan mereka. Dalam kondisi demikian maka kita dituntut untuk melakukan introspeksi diri. Dengan melakukan introspeksi diri berarti kita berjuang memerangi dan mengekang hawa nafsu dari perasaan telah menjadi yang terbaik, dan hal ini akan menumbuhkan sikap rendah hati.

Alternatif Solusi : Dari kerendahan hati untuk melakukan introspeksi maka akan menimbulkan dorongan untuk memberikan yang terbaik kepada pelanggan. Hal ini akan memacu kreatifitas dalam merumuskan berbagai alternatif untuk ditawarkan sebagai solusi kebutuhan pelanggan. Hal ini bersifat dinamis dan menimbulkan motivasi untuk selalu lebih menyempurnakan hasil kerja.

Manfaat : Bekerja merupakan aktualisasi dari ibadah ritual. Amal ibadah yang terbaik adalah yang memberikan manfaat bukan hanya kepada dirinya sendiri tetapi juga kepada orang lain. Manusia yang terbaik adalah yang banyak memberikan manfaat bagi lingkungannya dengan ikhlas, dan akan menumbuhkan perasaan hormat dan segan dari orang-orang yang berinteraksi dengannya.

Konsep SALAM diatas akan efektif apabila dilaksanakan tidak hanya oleh frontliner yang langsung berinteraksi dengan pelanggan, namun juga oleh pegawai lain yang mendukung terlaksananya layanan prima bagi pelanggan. Pelaksanaan oleh pegawai di supporting units yang melayani nasabah internal maupun pihak ketiga seperti vendor atau mitra bisnis akan menciptakan efek berantai (domino effects) dalam menciptakan image layanan prima secara keseluruhan.

Ada suatu cerita menarik yang menurut Penulis cukup tepat sebagai ilustrasi untuk menggambarkan bagaimana pentingnya kerjasama seluruh unit kerja dalam perusahaan yang didasari semangat “all for one, one for all”. Pada suatu ketika pemimpin suatu masyarakat untuk suatu keperluan meminta agar seluruh keluarga masing-masing menyumbang satu sendok madu yang dikumpulkan dalam satu gentong yang diletakkan di lapangan. Direncanakan dari satu gentong madu yang terkumpul tersebut akan dapat dimanfaatkan untuk sesuatu yang berguna bagi kepentingan bersama.

Ternyata dalam melaksanakan instruksi tersebut sebagian besar penduduk mempunyai pikiran sama, yaitu jika hanya satu keluarga yang menukar satu sendok madu tersebut dengan air biasa maka satu sendok air tersebut tidak akan terlalu mempengaruhi komposisi campuran dalam gentong. Karena hampir seluruh keluarga melakukan hal tersebut, maka akhirnya yang terkumpul hanyalah satu gentong air.

Kiranya keikhlasan dari seluruh pegawai untuk memberikan layanan prima sesuai dengan kelim hal diatas akan memberikan kebaikan bagi seluruh organisasi.

MENCIPTAKAN ‘COMFORT ZONE’ PEGAWAI

“If you treat people right, they will treat you right – at least 90 percent of the time.” (Franklin Delano Roosevelt)


Dalam kehidupan sehari-hari sudah sering kita mendengar istilah “comfort zone”. Di lingkungan kerja, istilah ini bahkan sudah mempunyai makna tersendiri. Dalam pekerjaan, “comfort zone” cenderung dipersepsikan sebagai hal negatif karena munculnya “comfort zone” yang memanjakan pegawai dianggap sebagai penyebab menurunnya produktifitas dan kinerja.

Pertanyaannya: Apakah benar demikian? Benarkah “comfort zone” merupakan suatu kondisi yang harus dihindari di tempat kerja karena secara psikologis dapat mempengaruhi kinerja pegawai sehingga menjadi tidak produktif? Sebaliknya, jika jawabannya tidak, dalam batasan apakah “comfort zone” memang diperlukan pegawai, dan perlukah difasilitasi secara khusus?

Lingkungan kerja merupakan suatu komunitas terbatas. Idealnya interaksi yang terjadi di tempat kerja cenderung lebih intensif dan mendalam. Namun dalam kenyataannya interaksi antar individu di tempat kerja tidak selalu demikian. Mengapa? Karena tidak semua individu yang ada bisa merasakan keterikatan (bounded) dan merasa aman (secure) ketika berinteraksi dengan individu lain di lingkungan kerjanya. Apabila kondisi ini terjadi maka akan mempengaruhi terciptanya suasana kerja kondusif yang ajeg.

Salah satu akibat yang mungkin ditimbulkan oleh suasana diatas adalah tingginya angka keluar-masuk (turnover) pegawai. Untuk jangka pendek hal ini mungkin tidak terlalu berpengaruh karena bisa diatasi dengan rekrutmen baru. Namun untuk jangka panjang dampaknya bisa bersifat fundamental bagi perusahaan, yaitu selain meningkatnya direct cost misalnya untuk biaya rekrutmen, juga bisa menimbulkan indirect cost akibat persepsi negatif terhadap perusahaan.

Pada prinsipnya setiap perusahaan selalu berusaha mempertahankan pegawai yang memiliki kinerja baik. Lalu apa yang menyebabkan betah-tidaknya pegawai bekerja di suatu perusahaan?

Dilihat dari sisi motivasi, ada tiga faktor utama yang membuat seseorang tetap berdedikasi di tempat kerjanya, yaitu karena:
• melakukan jenis pekerjaan yang disukai,
• berada di lingkungan kerja yang menyenangkan, dan
• adanya sistem remunerasi yang dianggap memadai.

Semakin lengkap ketiga faktor itu terpenuhi, maka akan semakin betah seseorang di tempat kerjanya. Namun terpenuhi-tidaknya ketiga faktor tersebut tentunya dipengaruhi faktor-faktor seperti kondisi internal pegawainya sendiri karena preferensi setiap orang berbeda, atau karena memang manajemen tidak berhasil menghadirkan salah satu atau ketiga faktor tersebut di tempat kerja.

Secara naluriah, tujuan seseorang dalam bekerja atau mencari nafkah tentunya untuk mencapai kesejahteraan dan kemapanan hidup. Didorong oleh tujuan tersebut maka diapun berusaha menjaga semangat untuk memberikan konsistensi kinerja yang positif dimanapun dia bekerja. Lalu bagaimanakah peran manajemen (baca: atasan) untuk menghadirkan semangat tersebut?

Disinilah seorang atasan perlu untuk tidak hanya mengetahui namun juga menyadari dan memahami preferensi masing-masing pegawai di dalam timnya. Tentunya tidaklah bijaksana apabila seorang atasan menyamaratakan preferensi semua bawahannya hanya dari sisi materi karena menganggap bahwa perusahaan telah memberikan sistem remunerasi yang memadai. Mengutip ulasan yang diberikan oleh ibu Eileen Rachman di harian Kompas, diperlukan keahlian dari seorang pemimpin untuk dapat memelihara kesadaran (awareness) agar bisa melakukan antisipasi, membuat asumsi, memprediksi dan mengelola banyak kegiatan pikir lainnya yang tidak bisa dikuasai melalui latihan saja, melainkan perlu diasah secara individual.

Semakin tinggi kesadaran (awareness) seseorang, maka akan semakin tinggi kemampuannya untuk menangkap tidak hanya yang tersurat tapi juga yang tersirat. Hal ini melibatkan penghayatan sosial, religius dan emosi. Semakin sering seseorang mengasah kemampuan menalar lingkungannya, maka akan semakin sensitif kesimpulan yang diambil untuk membuat suatu keputusan karena dia bisa menemukan hal-hal yang terlewat, seperti mengenal potensi anak buah secara mendalam, meramalkan kesuksesan anak buah, serta memilih anak buah yang bisa dia percaya.

Seorang atasan harus memiliki kesadaran (awareness) tentang keadaan di unit kerjanya, dan tidak boleh mengabaikannya karena dengan kemampuannya tersebut dia akan dapat menciptakan suasana kerja yang saling menghargai, saling percaya dan bekerjasama. Mengutip ucapan Benjamin Franklin: ”To be humble to superiors is duty, to equals courtesy, to inferiors nobleness”. Dengan kemampuan itu pula dia akan dapat membuat seluruh pegawainya menikmati peran dan tugas masing-masing di tempat kerjanya. Dengan kata lain, setiap pegawai akan merasa nyaman dan bergairah dalam bekerja. Kondisi ini tentunya akan berpengaruh positif terhadap kinerja pegawai. Mari jadikan lingkungan kerja sebagai “comfort zone” untuk seluruh pegawai!