Assalammu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Welcome to Blog ADAM DIANSUNI IDIIL (ADID) MUTHALIB

Minggu, 23 Mei 2010

SIKAP PROFESIONAL SEBAGAI WUJUD INTEGRITAS DIRI

Ada dua pengalaman serupa yang Penulis alami dengan implikasi yang berbeda karena apa yang terjadi di masing-masing kejadian mencerminkan sikap dan pola perilaku yang berbeda pula. Pengalaman pertama adalah pada waktu Penulis baru tiba di kota Adelaide dan tinggal di sebuah lodge (semacam asrama). Di lodge tiga lantai tersebut hanya tersedia kamar mandi dengan jumlah terbatas untuk digunakan bersama-sama. Di setiap kamar mandi dilengkapi dengan timer, yaitu alat yang dihubungkan ke saklar lampu dan berfungsi untuk membatasi penggunaan lampu dengan standar waktu masing-masing sesuai tujuan penggunaan kamar mandi. Tentunya waktu penggunaannya bisa diperpanjang dengan menekan lagi saklar apabila waktu sudah hampir habis namun penggunaan kamar mandi belum selesai.

Pengalaman lainnya Penulis alami di kota Mina juga berkaitan dengan penggunaan kamar mandi sebagai fasilitas bersama. Pada waktu itu Penulis sedang antri di kamar mandi pria ketika ada seorang wanita minta agar Penulis “bersabar” dengan mengizinkannya mendahului menggunakan toilet pria dengan alasan toilet wanita sedang antri (juga). Ironisnya, hal tersebut terjadi akibat ketidaksabarannya untuk tetap mengantri di toilet wanita sehingga mengorbankan hak para pria yang akan menggunakan toilet juga. Dispensasi seperti ini tidak selayaknya diberikan mengingat kondisi yang bersangkutan pada waktu itu tidak benar-benar mendesak/darurat.

Benang merah dari kedua cerita diatas adalah bagaimanapun baiknya pengaturan yang dilakukan oleh masing-masing pengelola (regulator) diatas terhadap penggunaan fasilitas bersama dengan tujuan agar kepentingan semua pihak dapat terjaga, namun keberhasilan pelaksanaannya tetap berpulang kepada komitmen masing-masing individu terutama berkaitan dengan seberapa besar rasa empati terhadap lingkungannya.

Manusia sebagai mahluk sosial tidak pernah terlepas dari interaksi dengan manusia lainnya dalam kegiatan sehari-hari. Bekerja merupakan salah satu contoh aktifitas dengan interaksi yang sangat intens antar individu di lingkungan kerja, baik interaksi antara atasan dan bawahan, sesama rekan kerja, bahkan dengan pihak ketiga yang terkait seperti rekan bisnis maupun nasabah. Apabila setiap individu sadar akan hak dan wewenangnya yang dibatasi oleh hak dan wewenang orang lain yang ada di sekitarnya, maka hubungan yang harmonis akan dapat terbentuk.

Lalu bagaimana membentuk kesadaran diri yang dapat mendorong harmonisasi hubungan antar individu? Yang paling utama adalah menanamkan rasa kepercayaan terhadap lingkungan kerjanya yang didasari keyakinan bahwa apapun hal baik yang dilakukan di lingkungan kerja akan memberikan kebaikan tidak hanya kepada rekan kerja tetapi juga kepada diri sendiri. Kesadaran semacam ini hanyalah dapat terbentuk apabila didasari oleh keyakinan bahwa kita bekerja semata-mata karena Allah dan bukan karena pamrih pada orang lain.

Kesadaran yang demikian akan membuat kita memiliki integritas yang tinggi yang menjadi sumber kepercayaan dan keberhasilan. Namun hal ini juga harus didukung oleh sikap istiqomah (konsisten). Misalnya dalam penetapan aturan jika mendesak untuk dilakukan penyesuaian maka hendaknya dibuat seobyektif dan sejelas mungkin (tidak interim) untuk menghindari kebingungan dari pihak-pihak terkait. Contoh kasus menarik yang Penulis lihat adalah Polantas yang menyelesaikan masalah kemacetan dengan membiarkan jalur busway digunakan oleh kendaraan lain dan bukan dengan membereskan simpul kemacetan misalnya mengatur angkutan umum yang berhenti sembarangan.

Integritas yang tinggi akan menimbulkan rasa bangga (dignity) setiap individu akan profesinya. Akibatnya kita akan bekerja dengan bersungguh-sungguh dengan didasari keyakinan bahwa pamrih kita dalam bekerja adalah hanya untuk diri sendiri dan untuk Allah. Dari motivasi awal kita bekerja keras dengan mengandalkan fisik karena mengharapkan adanya imbalan berupa materi, kemudian meningkat dengan bekerja secara cerdas menggunakan otak karena mengharapkan imbalan berupa pengakuan (self-esteem), maka pada akhirnya kita diharapkan dapat bekerja penuh keikhlasan dari hati yang akan menghilangkan segala sifat tinggi hati.

Apabila hal ini sudah dapat kita capai, maka terciptalah budaya kerja yang dilandasi oleh ketulusan hati. Dorongan lain yang muncul adalah keinginan untuk memberikan hasil yang terbaik (excellence) karena pada dasarnya dalam diri manusia terdapat sifat perfeksionis yang merupakan perwujudan sifat Illahi yang tertanam dalam hati manusia. Kedua hal inilah yang seharusnya menjadi dasar untuk “melayani dengan hati, menuju yang terbaik”.

Dampak yang paling besar apabila hal-hal diatas dapat tercapai tentunya akan dirasakan oleh semua yang memiliki hubungan kerja dengan kita, baik nasabah maupun pihak internal sebagai rekan kerja. Karenanya diharapkan seluruh insan dalam organisasi dapat membangun komitmen bersama yang didasari oleh perasaan tulus dan empati.