Assalammu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Welcome to Blog ADAM DIANSUNI IDIIL (ADID) MUTHALIB

Rabu, 11 September 2013

REKRUTMEN SEBAGAI AWAL SINERGI

I choose to live by choice, not by chance, I choose to make changes, not excuses, I choose to be motivated, not manipulated, I choose to be useful, not used. Because….. I choose to excel, not compete, I choose self esteem, not self pity, I choose to listen to my inner voice, not the random opinion of others (source: unknown) Dalam rangka benchmarking dengan industri yang memiliki kesamaan karakter bisnis yaitu sektor jasa, kami pernah mengunjungi salah satu hotel ternama di Jakarta yang merupakan anggota jaringan hotel internasional. Kesan pertama yang didapat adalah bagaimana seluruh pegawai yang ada tampak melayani semua orang yang datang (yang belum tentu tamu hotel, atau dari penampilan fisiknya tidak berpotensi untuk menjadi tamu hotel bergengsi tersebut) dengan rendah hati namun tetap memiliki kebanggaan (pride) terhadap pekerjaannya. Penasaran dengan sikap melayani yang ditunjukkan oleh seluruh pegawai secara seragam, kamipun menemui Direktur SDMnya untuk mencari tahu bagaimana perusahaan mendapatkan pegawai dengan kualitas dan kompetensi sesuai dengan yang diharapkan perusahaan. Sesuai penjelasan yang bersangkutan, kuncinya adalah proses seleksi dan rekrutmen oleh perusahaan yang dilakukan seakurat mungkin. Pertanyaan pertama yang muncul adalah bagaimana manajemen harus melakukan proses seleksi dan rekrutmen yang efektif dan akurat sehingga bisa mendapatkan semua pegawai yang ‘tepat’ untuk bekerja sesuai keinginan perusahaan di masing-masing bidangnya. Karena seperti kita ketahui bahwa hampir semua perusahaan melakukan proses seleksi dan rekrutmen dengan menggunakan kualifikasi tertentu secara ketat, misalnya penampilan fisik (tinggi dan berat badan) ataupun berdasarkan kualifikasi tertulis yang disyaratkan, misalnya lulusan dan IPK. Namun dalam kenyataannya, terkadang perusahaan tersebut masih sering merasa “salah pilih” karena pegawai yang telah direkrut sesuai kualifikasi tersebut ternyata tidak memenuhi harapan. Menurutnya cara kualifikasi diatas seringkali menimbulkan mismatch antara need perusahaan dengan need (calon) pegawai. Cara penentuan kualifikasi yang hanya melihat dari sisi “luar” pelamar seperti tersebut diatas hanya memberikan batasan bagi kedua pihak tentang apa yang diinginkan oleh masing-masing pihak lainnya, bukan sebaliknya memberikan gambaran horizon baru yang akan dibentuk bersama oleh kedua pihak untuk kepentingan bersama pula. Konsekuensinya, masing-masing akan ‘dipaksa’ untuk perform sesuai kualifikasi yang menjadi batasan sekaligus dasar komitmen antara kedua belah pihak tersebut. Rekan Direktur SDM tersebut akhirnya mengungkapkan “rahasia” perusahaannya untuk menemukan calon pegawai yang “pas” untuk posisi pekerjaan yang ditawarkan, yaitu melalui Gallup Test. Gallup Test adalah sejenis tes kepribadian (personality test) yang akan menggali dan menemukan (explore) kekuatan (strength) utama dari calon pelamar yang akan direkrut. Melalui tes ini, perusahaan akan mendapatkan insight tentang kepribadian calon pelamar yang kemudian akan dicocokkan dengan sifat dan karakter yang dibutuhkan untuk posisi yang akan diisi, baru kemudian akan dapat diketahui apakah ada kesesuaian sehingga antara perusahaan dan pegawai diharapkan dapat bersinergi. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana perlakuan terhadap pegawai eksisting di perusahaan? Apakah untuk pegawai yang sudah bekerja di perusahaan bisa dibilang ‘terlanjur’ sehingga tak ada yang dapat dilakukan oleh perusahaan kecuali hanya ‘wait and see’? Tentunya perusahaan tidak bisa mengandalkan proses seleksi alami seperi itu, karena seperti diketahui bahwa biaya terminate pegawai bisa jadi lebih besar dari biaya rekrutmen penggantinya. Terlebih lagi adanya resiko apabila bergantung pada proses seleksi alami seperti tersebut diatas, yaitu yang tersingkir bisa jadi pegawai-pegawai yang memiliki potential strengths namun menduduki pekerjaan yang tidak sesuai dengan potensinya tersebut (“right man on the wrong place/time”). Apa yang mungkin dapat dilakukan oleh perusahaan adalah memberlakukan tes kepribadian untuk setiap pegawainya dan mengelompokkan pegawai berdasarkan hasil tes masing-masing (strength grouping). Di sisi lain, perusahaan juga tentunya perlu mendefinisikan setiap jabatan dengan menetapkan personality/strength pegawai yang sesuai dengan jabatan tersebut. Selanjutnya dengan memanfaatkan dua kelompok personality tersebut (database pegawai dan jabatan) yang berlaku companywide, perusahaan (dalam hal ini HRD) akan bertindak seperti “biro jodoh” yang memasangkan (matching) antara jabatan dengan pegawai. Dengan cara demikian, diharapkan akan meningkatkan loyalitas dan komitmen pegawai yang bekerja dengan sepenuh hati (engaged) karena dorongan/kebutuhan untuk mencapai self-esteem (tidak merasa bekerja dalam tekanan). Hasilnya akan menciptakan sinergi kebutuhan antara perusahaan dan pegawai, yang pada gilirannya akan mendorong peningkatan value proposition baik pegawai maupun perusahaan. (20092013)

Senin, 02 September 2013

JABATAN: PRESTASI ATAU PRESTISE?

“To be humble to superiors is duty, to equals courtesy, to inferiors nobleness” (Ben Franklin) Sering kita mendapatkan adanya dikhotomi antara mengutamakan proses atau hasil. Bisa menimbulkan perbincangan panjang kalau kita sudah memperdebatkan antara proses dan hasil (process or result oriented). Terkadang kita merasa sedemikian pentingnya hasil yang ingin kita capai, sehingga kita terdorong untuk melakukan segala cara agar bisa segera mencapai hasil yang diinginkan tersebut. Hal ini menunjukkan kenyataan yang sering terjadi saat ini dimana hasil dipandang lebih penting daripada proses (the end justifies the means), dan kondisi seperti ini sering kita dengar atau temui dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu dampak adalah dorongan/tekanan untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Karena setiap orang ingin dan harus menjadi yang terbaik, maka muncullah persaingan yang ketat satu sama lain. Walaupun persaingan sudah ada secara alamiah dalam rangka memunculkan hasil yang lebih baik, namun muncul dampak lain sebagaimana mengutip perkataan David Sarnoff: "Competition brings out the best in products and the worst in people." Setiap anggota masyarakat umumnya mendapatkan dua jenis status dalam kelompok masyarakatnya, yaitu ascribed status (status di masyarakat yang umumnya diterjemahkan sebagai pemberian Tuhan sejak lahir dan melekat pada diri individu), yang antara lain terbentuk karena faktor keturunan dan umur. Di sisi lain manusia juga mendapatkan pengakuan berdasarkan achieved status (status di masyarakat yang dapat dimiliki oleh semua anggota masyarakat, namun untuk memperolehnya harus diperjuangkan). Seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat semakin menganggap achieved status sebagai sesuatu yang lebih layak dijadikan barometer keberhasilan seseorang. Dalam rangka mendapatkan achieved status yang diinginkan tersebut, persepsi anggota masyarakat mulai berubah dan mulai menganggap remeh keberadaan ascribed status. Padahal ascribed status yang bersifat natural justru biasanya mengedepankan nilai moral/spiritual seperti sopan-santun, terutama yang muda terhadap yang tua. Karena satu-satunya hal di dunia yang Tuhan tidak berikan kemampuan kepada manusia untuk merekayasa adalah umur/waktu. Bahkan salah satu ayat dalam Kitab Suci Al-Qur’an menyatakan bahwa manusia yang menyia-nyiakan waktu adalah termasuk orang yang merugi. “I am always ready to learn, although I do not always like being taught”, demikian ungkapan yang disampaikan oleh Winston Churchill. Cara yang paling mendasar namun sekaligus juga paling ampuh untuk dapat menjalin hubungan dengan orang lain adalah dengan memiliki kemampuan untuk menjadi pendengar. Dengan kesediaan menjadi pendengar yang baik, bisa jadi kita telah saling memberikan hal yang paling penting dan paling dibutuhkan, yaitu perhatian kita. Keseriusan kita mendengarkan bisa menjadi sarana komunikasi dan menunjukkan empati yang lebih efektif, bahkan bila dibandingkan dengan kata-kata menghibur yang kita sampaikan. “When people talk, listen completely. Most people never listen” (Ernest Hemingway). Mendengarkan adalah kemampuan tersendiri yang belum tentu bisa dimiliki dengan mudah oleh seseorang. Apa yang kerap terjadi di tengah masyarakat dan sering kita lihat adalah seseorang yang secara status sosial merasa lebih tinggi karena didorong oleh posisi yang berhasil dicapainya (achieved status), maka yang bersangkutan biasanya memiliki kecenderungan untuk tidak memiliki kemampuan “mendengarkan” orang yang ada di bawah pengaruhnya. Hal ini bukan hanya terjadi pada orang yang lebih tua, bahkan pada orang yang lebih muda sekalipun!! Listening is learning. Dengan mendengarkan, kita sekaligus juga belajar. Karena esensinya dari orang bodoh sekalipun kita bisa belajar, minimal belajar untuk tidak meniru kebodohan orang tersebut. Mendengarkan juga sekaligus merupakan bentuk penghormatan kepada orang yang sedang berbicara. Karena ada perbedaan yang signifikan antara bersikap hormat (salute) kepada seseorang dengan menghormati (respect) seseorang. Pada waktu kita bersikap hormat kepada lawan bicara, bisa jadi hal tersebut kita lakukan hanya secara fisik karena pertimbangan atribut fisik lawan bicara kita, misalnya karena kedudukannya yang lebih tinggi. Namun ketika kita menghormati lawan bicara, maka sikap hormat yang kita berikan lebih tulus (mental attitude) karena rasa penghargaan yang kita berikan kepada lawan bicara. Dengan kata lain, seseorang yang menghormati lawan bicaranya secara otomatis akan bersikap hormat. Sebaliknya seseorang yang bersikap hormat kepada lawan bicaranya belum tentu benar-benar menghormati lawan bicaranya tersebut. "If there is any great secret of success in life, it lies in the ability to put yourself in the other's place and to see things from his point of view - as well as your own." (Henry Ford)