Assalammu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Welcome to Blog ADAM DIANSUNI IDIIL (ADID) MUTHALIB

Jumat, 22 Februari 2013

JALAN PINTAS: INOVASI ATAU EKSEPSI?

"Competition brings out the best in products and the worst in people." (David Sarnoff) Sebuah pepatah bijak mengatakan bahwa kita harus memutuskan apakah kita ingin membuat diri kita berguna, atau sekedar ingin menunjukkan kepada orang lain betapa bergunanya diri kita. Karena kebiasaan-kebiasaan baik yang kita lakukan muncul dari hal-hal yang sudah tertanam dalam pikiran kita (mindset). Hal yang paling sulit adalah apabila kita berusaha untuk bernegosiasi melawan pikiran kita, karena hasilnya pasti kekalahan bagi diri kita sendiri. Banyak hal yang terjadi dan sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan bagaimana seringnya suatu aturan yang dibuat berdasarkan paradigma pikiran manusia yang positif, teryata harus dikorbankan hanya karena konsensus sementara yang dibuat justru oleh manusia yang seharusnya menjaga aturan tersebut. Contoh yang paling sederhana adalah penggunaan voorijder sebagai pembuka jalan dimana konon sesuai ketentuan protokoler, voorijder dibolehkan di jalan raya namun hanya untuk pejabat setingkat kepala negara atau yang mewakili. Dalam prakteknya, siapapun dapat ”memanfaatkan” jasa voorijder bukan hanya untuk mengatasi kemacetan, tapi juga supaya kelihatan sebagai orang penting. Padahal orang yang kelihatan penting belum tentu dianggap orang berguna yang bisa dijadikan teladan, malah sebaliknya menimbulkan preseden buruk dan menunjukkan ketidakmampuannya untuk menjadi role model. Contoh lainnya adalah aparat kepolisian mengizinkan pemakai jalan untuk menggunakan jalur seberang di beberapa jalan di Jakarta pada waktu-waktu tertentu, sehingga kendaraan berjalan di jalur yang berlawanan arah. Contoh diatas menggambarkan cara-cara instan, atau yang biasa diistilahkan dengan ”jalan pintas”, yang sayangnya ditempuh dengan mengabaikan aturan. Walaupun belum tentu salah, namun disadari ataupun tidak, cara-cara tersebut sebetulnya hanya mengalihkan atau menunda masalah, bukan menyelesaikannya. Penundaan atau pengalihan yang terus-menerus seperti ini hanya akan merubah mindset orang-orang dan merubah kebiasaannya untuk selalu mencari jalan pintas. Dampaknya secara sosial bisa menjadi pembenaran yang dipaksakan dan akhirnya menghilangkan empati satu sama lain. PENGALAMAN MEMBENTUK MINDSET Pengalaman merupakan bagian tidak terpisahkan dari kehidupan dan ikut membentuk kemampuan seseorang. Pengalaman selalu bermakna positif dan memberi kebaikan bagi orang yang menjalani karena bisa memberi hikmah, sehingga dikatakan bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Karena itu semestinya tidak ada yang namanya pengalaman buruk; yang ada hanyalah kejadian yang dialami seseorang di masa lalunya dan dipersepsikan serta direspons secara negatif. Seseorang dikatakan istiqomah apabila konsisten dalam memaknai setiap kejadian yang dialaminya secara positif karena didorong mindset untuk selalu belajar dan mengambil hikmah. Seseorang yang melewati kejadian demi kejadian dalam kehidupannya selama 10 tahun belum tentu dapat dikatakan memiliki pengalaman selama 10 tahun, apabila kejadian-kejadian tersebut tidak menambah value dalam kehidupannya melainkan hanya bertambahnya usia. Dalam pekerjaan, pegawai yang demikian dikatakan hanya memiliki jam kerja yang tinggi, namun belum tentu dapat dikatakan memiliki pengalaman kerja yang lama pula. Untuk merubah jam kerja menjadi pengalaman kerja perlu adanya job enrichment yang memberikan nilai tambah, apalagi bila didorong oleh inisiatif yang muncul dari dirinya sendiri. Hubungan atasan-bawahan akan memberi nilai tambah apabila ditandai dengan adanya kesamaan dan konsistensi dalam mindset. Contoh adanya anekdot atau anggapan bahwa kalau atasan diam karena sedang berpikir sementara apabila anak buah diam karena tidak mengerti, menunjukkan adanya standar ganda yang menimbulkan hubungan ”dekat di mata, jauh di hati” karena atasan dan bawahan tidak berbagi pengalaman yang sama. Lihatlah bagaimana upaya Jokowi merubah Jakarta. Keinginan dan upayanya untuk memperbaiki kondisi fisik kota Jakarta seperti fasilitas dan prasarana umum lainnya harus dibarengi dengan upaya membangun trust dan meyakinkan masyarakat agar memahami apa yang sedang dan akan dilakukannya sehingga masyarakat secara berjamaah menerima (buy in) secara sukarela dan mau merubah mindsetnya menyesuaikan dengan langkah perubahan yang sustainable walaupun membutuhkan ”pengorbanan” untuk keluar dari kebiasaan lama. Yang tidak kalah penting adalah bagaimana menepati janji secara konsisten untuk menjaga harapan dan kepercayaan (promise delivery), karena ketidakpuasan akibat tidak mendapatkan apa yang telah dijanjikan akan memicu ketidakpercayaan yang bisa berwujud pada tindakan-tindakan kontraproduktif, dan upaya mengembalikan mindset justru membutuhkan effort yang jauh lebih besar lagi. Kehidupan manusia memerlukan inovasi sebagai salah satu bentuk ”jalan pintas” untuk memotong jalur proses sehari-hari sehingga memberikan kemudahan dan kenyamanan. Namun pelaksanaan inovasi yang mendorong terjadinya pembenaran-pembenaran (tidak sejalan dengan kebutuhan bersama) atau justru menimbulkan dampak negatif bagi sebagian orang lain, hanya akan diterima sebagai eksepsi yang dilakukan untuk memuaskan kepentingan tertentu yang bersifat sesaat namun dampaknya bisa merusak mindset positif yang sudah terbentuk.