Assalammu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Welcome to Blog ADAM DIANSUNI IDIIL (ADID) MUTHALIB

Rabu, 11 Februari 2015

INTEGRITY MARKETING

"If we cannot do great things, we can do small things in a great way." -- Oliver Wendell Holmes. Baru-baru ini di salah satu koran nasional menampilkan berita tentang adanya biro jodoh syariah/islami. Tujuan pendirian biro jodoh tersebut pada prinsipnya sama dengan biro jodoh lain pada umumnya, yaitu sebagai penghubung/mediator bagi mereka yang ingin mencari pasangan. Yang membedakan mereka dari biro jodoh lain adalah cara kerjanya yang menghindari terjadinya penyalahgunaan tujuan tersebut, seperti yang selama ini sering kita dengar, bahkan tentang penyalahgunaan media sosial oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk menemukan “mangsa” dengan tujuan penipuan materiil maupun non materiil. Proses kerja yang dilakukan oleh biro jodoh syariah ini adalah melalui mekanisme “ta’aruf”, suatu istilah dalam perjodohan di Islam yang artinya perkenalan antara pria dan wanita dengan sasaran akhir untuk mendorong hubungan keduanya ke arah pernikahan. Penggunaan istilah berbahasa Arab inipun sesuai dengan tujuan dan maknanya, bukan hanya supaya terdengar islami. Karena pernah salah satu teman yang hobi main golf mengatakan bahwa sekarang permainan golf sudah sesuai syariah, karena taruhannya menggunakan metode “bagi hasil”, suatu istilah yang dikenal umum dalam perbankan syariah, namun sayangnya digunakan dengan tujuan dan makna yang berbeda. Dalam konteks mediasi diatas, ta’aruf sendiri merupakan suatu proses yang melibatkan ketiga pihak terkait yaitu pihak yang mempertemukan dengan kedua pihak yang akan dipertemukan. Dalam proses ta’aruf, pihak yang mempertemukan (dhi biro jodoh) harus memiliki informasi selengkap mungkin mengenai masing-masing orang yang meminta bantuannya. Berdasarkan informasi dan data yang diperolehnya, pihak biro jodoh akan mencari kesesuaian dengan data lawan jenis yang paling mendekati (matched) dengan data calon yang sedang diproses. Jadi proses penentuan lawan pasangannya tidak bisa dengan cara acak atau hanya mencari kesesuaian dengan kriteria fisik berdasarkan permintaan salah satu pihak. Apa yang terjadi dalam proses perjodohan melalui ta’aruf seperti digambarkan diatas, tampaknya bisa dianalogikan dengan marketing. Seorang marketer bertindak layaknya seorang mediator seperti di biro jodoh, yang memiliki tujuan untuk mempertemukan antara penjual/barang yang akan dijual dengan pembeli/barang dibutuhkan. Dan ini yang membedakannya dengan seorang sales. Seorang sales yang dalam menjual barang, apa yang dilakukannya bisa diidentikkan dengan cara seorang mediator biro jodoh yang menentukan pasangan secara acak atau hanya berdasarkan kesesuaian mengenai kriteria fisik. Tujuan seorang sales hanyalah untuk menjual barang yang dititipkan padanya sebanyak mungkin, sehingga apa yang dilakukannya adalah berusaha mencocokkan (matching) fitur barang yang dijualnya dengan kebutuhan calon pembeli (product push). Seorang marketer tentu tidak semestinya memaksakan barang-barangnya terjual seperti yang dilakukan oleh seorang sales. Untuk menghindari praktek demikian, seorang marketer harus benar-benar memahami tentang produk dan pelanggan seperti layaknya seorang mediator biro jodoh memahami tentang masing-masing individu yang akan dijodohkannya. Dari sisi produk, seorang marketer tidak boleh hanya mengetahui fiturnya saja, tapi juga harus mampu menjelaskan apa benefit yang bisa diberikan sesuai fitur yang dimiliki produk tersebut, dan bagaimana pelanggan dapat memanfaatkan produk tersebut untuk menyelesaikan permasalahannya (Feature-Benefit-Solution). Dari sisi lain, yaitu pemahaman mengenai pelanggan, seorang marketer harus benar-benar mengenal pelanggannya dengan baik, dan tidak memperlakukannya seperti walk-in customer. Seorang marketer harus memahami karasteristik dan kompetensi pelanggannya, serta harus bisa menempatkan diri dalam posisi sebagai pelanggan (customer’s point of view) untuk bisa mengetahui kebutuhan pelanggan secara spesifik. Proses seorang marketer menentukan kesesuaian produk tertentu dari sekian banyak produk yang dimilikinya dengan kebutuhan pelanggan sama seperti proses seorang mediator di biro jodoh menemukan pria/wanita mana yang cocok menjadi pasangan lawan jenisnya dari sekian banyak orang yang mendaftar di biro jodohnya. Berbeda dengan hasil kerja sales yang cenderung bekerja satu-arah (one way communication) karena “mengarahkan dan meyakinkan” calon pembelinya untuk membuat mereka merasa memang membutuhkan barang yang akan dijualnya. Proses mempertemukan yang dilakukan seorang marketer hasilnya tidak harus langsung klop, tapi biasanya membutuhkan semacam proses sinkronisasi atau bahkan kalibrasi, hingga pelanggan benar-benar buy-in. Sama halnya dengan proses ta’aruf yang biasanya diikuti pertemuan-pertemuan lanjutan yang difasilitasi oleh si mediator yang biasanya berakhir dengan komitmen berupa pernikahan. Untuk dapat melalui tahapan-tahapan tersebut hingga mencapai tujuan, diperlukan sikap dan tindakan yang selalu didasarkan pada prasangka baik (khusnudzon), konsisten pada tujuan baik (istiqomah), serta kejujuran dan keikhlasan hati. Bila semua ini dijalankan sesuai itikad baik, maka insyaa Allah dapat tercapai apa yang menjadi tujuan dari kedua proses diatas yang serupa tapi tak sama: bagi mediator biro jodoh terwujudnya pasangan bahagia yang menjalani pernikahan dengan langgeng, dan bagi marketer loyal customer. (11022015)