Assalammu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Welcome to Blog ADAM DIANSUNI IDIIL (ADID) MUTHALIB

Jumat, 31 Agustus 2012

PROFESIONALISME DAN INTEGRITAS DALAM MARKETING YANG ISLAMI

"You can't build a reputation on what you are going to do." (Henry Ford). Konon di satu alkisah, suatu ketika seorang salesman handal meninggal dunia. Dalam perjalanan menuju akhirat, arwahnya dicegat oleh malaikat penjaga pintu surga dan neraka. Sang salesman handal tersebut meminta kepada malaikat agar dirinya diberi kesempatan sekilas melihat dahulu kondisi masing-masing di surga dan di neraka. Tentu saja sang malaikat menolak permintaan tersebut, dan menyatakan bahwa sudah ditentukan kemana dia akan dimasukkan. Namun dengan kehandalannya membujuk dan merayu pembeli pada waktu di dunia, dia terus berusaha mempengaruhi malaikat dengan beragumentasi segala sesuatu tentunya negotiable alias “bisa dibicarakan”. Entah bagaimana caranya, sang malaikatpun memberikan kesempatan tersebut. Singkat cerita, salesman tersebut diajak “mengintip” keadaan di surga dan neraka. Di surga, dia melihat hal-hal yang damai namun membosankan baginya, sementara di neraka dia melihat berbagai hal yang menyenangkan yang merupakan kegemarannya semasa hidup, seperti hura-hura dan dugem. Maka ketika kembali ke tempat malaikat, salesman tersebut minta agar dia dapat dimasukkan ke dalam neraka karena menurut dia “gue banget”. Setelah sepakat, maka pergilah sang malaikat mengantar salesman tersebut menuju neraka. Ketika pintu dibuka, ternyata yang ada hanya api dan siksaan. Tentu saja salesman protes karena neraka yang tadi dilihatnya melalui pintu bukan seperti yang dilihatnya sekarang. Namun sang malaikat menjawab dengan tenang: “Tadi pada waktu melihat pertama yang menyenangkan, anda masih prospect untuk masuk neraka. Keadaan neraka yang sesungguhnya adalah etelah anda pasti menjadi penghuninya!!”. Cerita diatas yang Penulis dengar dari salah seorang sales trainer dalam suatu workshop tersebut hanya merupakan suatu ilustrasi untuk menggambarkan bagaimana dalam selling process terkadang seorang penjual terjebak (atau terbiasa?) untuk memberikan “janji surga” kepada calon pembelinya karena didorong oleh tujuan untuk bisa segera closing dan mendapatkan nasabah baru, yang identik dengan fulus baginya dari hasil penjualan. Keberhasilan seorang penjual atau pemasar diukur dari keberhasilannya menjual, tentu kita semua sudah maklum. Pertanyaannya: apakah yang mendorong seorang salesman untuk melakukan hal diatas maupun berbagai cara lain yang serupa untuk mendapatkan tujuannya tersebut? A verbal agreement isn't worth the paper it's written on "Competition brings out the best in products and the worst in people", demikian statement yang pernah tercantum dalam salah satu situs web marketing. Mungkin itulah jawaban atas pertanyaan diatas. Persaingan yang ketat membuat para penjual melakukan hal-hal yang diutarakan diatas. Cara menjual demikian dapat menimbulkan persepsi negatif pembeli terhadap produk/jasa, bahkan terhadap brand yang diusung produk/jasa tersebut. Persepsi negatif tersebut muncul belum tentu karena kualitas produk/jasa yang buruk, namun karena pembeli merasa tidak mendapat seperti apa yang dijanjikan si penjual (unexpected promise delivery). Kegiatan marketing seharusnya bertujuan untuk membangun dan membina relationship, bukan sekedar menjual barang atau jasa. Relationship, khususnya yang berkaitan dengan jasa (service) seharusnya merupakan sesuatu yang bersifat kualitatif. Karenanya harus berhati-hati dalam melakukan kuantifikasi untuk mengukur keberhasilan suatu relationship, karena apabila tidak sesuai justru bisa menimbulkan demotivasi. Karenanya sebelum memberikan janji apalagi komitmen kepada pembeli, seorang penjual harus memahami situasi dan kondisi internal perusahaannya. Begitu juga atasan sebagai penyedia produk/jasa dalam menetapkan standar service level harus melihat dan mempertimbangkan kondisi anak buahnya di lapangan yang menjadi penjual. Selain itu, hal lain yang perlu diperhatikan sebelum membuat janji (promise delivery) adalah: 1. Timing/momentum merupakan suatu hal yang perlu diperhitungkan dalam melakukan marketing. Namun, persiapan yang kurang dapat menyebabkan terjadinya unexpected promise delivery/under service yang justru bisa menjadi bumerang bagi si penyedia service. 2. Benchmarking dengan kompetitor perlu dan sangat baik jika dapat dilakukan, tapi dalam menetapkan standar service level harus tetap realistis. Ajaran Islam dapat dijadikan acuan untuk membentuk profesionalisme dan integritas dalam melakukan marketing, sesuai dengan tuntunannya untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam. Salah satu contoh etos kerja yang diajarkan dalam Islam adalah “Bekerjalah karena Allah, bukan karena pamrih pada orang lain. Maka anda akan memiliki integritas yang tinggi yang merupakan sumber kepercayaan dan keberhasilan”. Cara bekerja demikian akan menaikkan harga diri (dignity) seseorang, karena orang tesebut akan selalu terjaga profesionalisme dan integritasnya. Selanjutnya setelah menjaga profesionalisme dan integritas, maka penting dalam bekerja bahwa kita selalu berusaha sebisa mungkin menjaga konsistensi (istiqomah). Terkadang kita tergoda untuk membuat justifikasi yang seobyektif dan serealistis mungkin menurut kita. Hal itu untuk membenarkan apa yang kita sendiri sebenarnya sadari tidak seharusnya dilakukan. Keadaan ini akan menimbulkan kebingungan bukan hanya bagi orang lain, bahkan juga bagi kita sendiri. Yang terakhir namun tidak kalah penting adalah tumbuhkan motivasi dan semangat untuk selalu bekerja keras dan cerdas serta ikhlas. Bekerja keras konotasinya menggunakan kekuatan fisik untuk mencapai target kinerja, dengan mengharapkan reward berupa materi. Bekerja cerdas lebih mengandalkan otak, dengan mengharapkan reward berupa recognition yang biasanya diikuti juga dengan materi. Bekerja ikhlas karena dorongan dari hati untuk melakukan yang terbaik, dengan mengharapkan reward berupa ridho dan berkah dari Allah. Seseorang yang menerapkan etos kerja Islam seperti yang disebutkan diatas, akan selalu berusaha menjaga keseimbangan motivasinya terhadap ketiga hal tersebut. "Kesuksesan hidup tidak ada hubungannya dengan apa yang Anda dapatkan atau raih demi diri sendiri. Kesuksesan hidup berhubungan dengan apa yang Anda lakukan pada sesama (untuk orang lain)" - Danny Thomas

Jumat, 24 Agustus 2012

MENDORONG ENGAGEMENT MELALUI INTERAKSI

"True leadership only exists if people follow when they have the freedom not to." (Jim Collins, penulis “Good To Great”). Dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan sejalan dengan visi dan misinya, setiap organisasi tentu mempunyai strategi untuk dapat mencapai tujuan tersebut sesuai rencana. Penyusunan strategi menjadi titik awal yang penting sebagai bagian dari proses pencapaian tujuan Namun, strategi yang telah disusun itu masih dalam tataran konsep yang perlu diimplementasikan lebih lanjut agar dapat memberikan hasil sesuai apa yang dicita-citakan oleh organisasi. Dalam upaya melaksanakan strategi untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut, pimpinan organisasi harus menetapkan langkah-langkah agar eksekusi strategi dapat dilaksanakan tepat sasaran secara efektif dan efisien. Salah satu faktor penting dalam eksekusi adalah keterlibatan seluruh anggota organisasi secara aktif Partisipasi aktif dan positif seluruh anggota sesuai peran dan posisi masing-masing menjadi faktor kunci dalam eksekusi strategi. Namun untuk organisasi besar dengan jumlah anggota banyak, tentu perlu upaya yang luar biasa dari pimpinan organisasi agar mayoritas (jika tidak semua) anggota buy in terhadap program-program yang dibuat untuk mengeksekusi strategi. Hal ini juga yang akan menentukan tingkat engagement para anggota, yang diwujudkan dalam bentuk partisipasi: • sekedarnya, karena mengikuti perintah pimpinan ataupun ikut-ikutan anggota organisasi yang lain; • situasional, karena didorong ekspektasi terhadap iming-iming finansial/non finansial yang dijanjikan oleh pimpinan; atau • sepenuhnya, karena didorong oleh rasa keterikatan dan tanggung jawab bersama setiap anggota yang sama besarnya dengan yang dimiliki oleh pimpinan Engagement yang dimaksudkan terakhir mungkin bisa digambarkan seperti syair lagu lawas “Injit-injit semut……....siapa sakit naik ke atas……..walau sakit jangan dilepas”. Melalui penafsiran pribadi Penulis, engagement bisa diartikan secara bebas sebagai kelekatan (stickyness). Berkaitan dengan kata “lekat”, ada 2 (dua) hal yang Penulis ambil untuk diidentikkan dengan kata tersebut namun mempunyai konotasi yang berbeda. Kedua hal tersebut adalah ketan dan magnet, dua jenis benda yang sering kita temui dan bahkan gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Ketan yang berbentuk butiran-butiran, dimana dalam satu takaran ukuran (misalnya: liter) jumlah butirannya relatif banyak. Pada dasarnya setiap butir memiliki kemampuan melekat. Keberadaan butiran-butiran ketan menjadi lebih bermakna sebagai satu kesatuan karena mampu melekat satu sama lain tanpa ada yang mendominasi, karena masing-masing merasa bangga dimanapun posisi mereka (di bawah ataupun di atas). Kelekatan yang sempurna ini melalui proses memasak dan mengaduk, dimana ketan mengalami perubahan bentuk. Karena jika masih mentah (tidak dimasak dan diaduk), maka ketan-ketan tersebut hanya berkumpul tapi tidak menyatu. Kunci dari kelekatan (engagement) yang digambarkan oleh ketan adalah trust dan keyakinan bahwa semua posisi penting. Di sisi lain, kelekatan antara dua batang magnet atau lebih karena ada salah satu batang magnet yang berusaha “mengejar” batang magnet yang lain supaya mendekat dan melekat, sementara batang magnet yang lainnya bisa jadi hanya pasif/menunggu didekati. Kedua batang magnet dapat melekat hanya apabila sisi kedua batang magnet yang bertemu tersebut memiliki kutub yang berbeda. Hal kondisional tersebut membuat kelekatan antar batang magnet tidak fleksibel, karena lebih banyak ditentukan oleh kondisi batang magnetnya sendiri yang memang sama sekali tidak mengalami perubahan bentuk. Walaupun hasil akhir dari kedua versi (ketan dan magnet) sama yaitu berguna/berfungsi setelah saling melekat, tapi proses melekat dan tingkat kelekatan antara ketan dan magnet tentu saja berbeda. Hal ini akan berpengaruh terhadap tindak lanjut dari eksekusi yang dilakukan organisasi. Karena semakin lekat atau engaged anggota organisasi, maka proses eksekusi akan semakin mudah dan berkesinambungan, bukan hanya “hangat-hangat tahi ayam”. Kunci dari keberhasilan diatas adalah trust. Dalam kehidupan, kita sering melihat kenyataan bahwa seseorang selalu mendekat pada mereka yang meningkatkan taraf hidupnya, dan menjauh dari siapapun yang malah merendahkan. Kenyataan hidup lainnya adalah bahwa kemampuan seseorang untuk mengerti tidak secara otomatis membuatnya memiliki kemampuan untuk berubah. Disinilah diperlukan kemampuan pemimpin organisasi untuk mendengarkan dan menjadi pendengar yang baik dalam rangka membangun trust anggota organisasi sehingga mau berubah. Karena cara paling mendasar dan efektif untuk berhubungan dengan orang lain adalah hanya dengan mendengarkan. Bisa jadi hal terpenting yang dapat kita berikan kepada orang lain adalah perhatian kita, dengan cara kita mau diam mendengarkan orang lain berbicara, dan bukan hanya kita yang terus berbicara, sebaik apapun kata-kata yang kita sampaikan.