Assalammu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Welcome to Blog ADAM DIANSUNI IDIIL (ADID) MUTHALIB

Jumat, 24 Agustus 2012

MENDORONG ENGAGEMENT MELALUI INTERAKSI

"True leadership only exists if people follow when they have the freedom not to." (Jim Collins, penulis “Good To Great”). Dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan sejalan dengan visi dan misinya, setiap organisasi tentu mempunyai strategi untuk dapat mencapai tujuan tersebut sesuai rencana. Penyusunan strategi menjadi titik awal yang penting sebagai bagian dari proses pencapaian tujuan Namun, strategi yang telah disusun itu masih dalam tataran konsep yang perlu diimplementasikan lebih lanjut agar dapat memberikan hasil sesuai apa yang dicita-citakan oleh organisasi. Dalam upaya melaksanakan strategi untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut, pimpinan organisasi harus menetapkan langkah-langkah agar eksekusi strategi dapat dilaksanakan tepat sasaran secara efektif dan efisien. Salah satu faktor penting dalam eksekusi adalah keterlibatan seluruh anggota organisasi secara aktif Partisipasi aktif dan positif seluruh anggota sesuai peran dan posisi masing-masing menjadi faktor kunci dalam eksekusi strategi. Namun untuk organisasi besar dengan jumlah anggota banyak, tentu perlu upaya yang luar biasa dari pimpinan organisasi agar mayoritas (jika tidak semua) anggota buy in terhadap program-program yang dibuat untuk mengeksekusi strategi. Hal ini juga yang akan menentukan tingkat engagement para anggota, yang diwujudkan dalam bentuk partisipasi: • sekedarnya, karena mengikuti perintah pimpinan ataupun ikut-ikutan anggota organisasi yang lain; • situasional, karena didorong ekspektasi terhadap iming-iming finansial/non finansial yang dijanjikan oleh pimpinan; atau • sepenuhnya, karena didorong oleh rasa keterikatan dan tanggung jawab bersama setiap anggota yang sama besarnya dengan yang dimiliki oleh pimpinan Engagement yang dimaksudkan terakhir mungkin bisa digambarkan seperti syair lagu lawas “Injit-injit semut……....siapa sakit naik ke atas……..walau sakit jangan dilepas”. Melalui penafsiran pribadi Penulis, engagement bisa diartikan secara bebas sebagai kelekatan (stickyness). Berkaitan dengan kata “lekat”, ada 2 (dua) hal yang Penulis ambil untuk diidentikkan dengan kata tersebut namun mempunyai konotasi yang berbeda. Kedua hal tersebut adalah ketan dan magnet, dua jenis benda yang sering kita temui dan bahkan gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Ketan yang berbentuk butiran-butiran, dimana dalam satu takaran ukuran (misalnya: liter) jumlah butirannya relatif banyak. Pada dasarnya setiap butir memiliki kemampuan melekat. Keberadaan butiran-butiran ketan menjadi lebih bermakna sebagai satu kesatuan karena mampu melekat satu sama lain tanpa ada yang mendominasi, karena masing-masing merasa bangga dimanapun posisi mereka (di bawah ataupun di atas). Kelekatan yang sempurna ini melalui proses memasak dan mengaduk, dimana ketan mengalami perubahan bentuk. Karena jika masih mentah (tidak dimasak dan diaduk), maka ketan-ketan tersebut hanya berkumpul tapi tidak menyatu. Kunci dari kelekatan (engagement) yang digambarkan oleh ketan adalah trust dan keyakinan bahwa semua posisi penting. Di sisi lain, kelekatan antara dua batang magnet atau lebih karena ada salah satu batang magnet yang berusaha “mengejar” batang magnet yang lain supaya mendekat dan melekat, sementara batang magnet yang lainnya bisa jadi hanya pasif/menunggu didekati. Kedua batang magnet dapat melekat hanya apabila sisi kedua batang magnet yang bertemu tersebut memiliki kutub yang berbeda. Hal kondisional tersebut membuat kelekatan antar batang magnet tidak fleksibel, karena lebih banyak ditentukan oleh kondisi batang magnetnya sendiri yang memang sama sekali tidak mengalami perubahan bentuk. Walaupun hasil akhir dari kedua versi (ketan dan magnet) sama yaitu berguna/berfungsi setelah saling melekat, tapi proses melekat dan tingkat kelekatan antara ketan dan magnet tentu saja berbeda. Hal ini akan berpengaruh terhadap tindak lanjut dari eksekusi yang dilakukan organisasi. Karena semakin lekat atau engaged anggota organisasi, maka proses eksekusi akan semakin mudah dan berkesinambungan, bukan hanya “hangat-hangat tahi ayam”. Kunci dari keberhasilan diatas adalah trust. Dalam kehidupan, kita sering melihat kenyataan bahwa seseorang selalu mendekat pada mereka yang meningkatkan taraf hidupnya, dan menjauh dari siapapun yang malah merendahkan. Kenyataan hidup lainnya adalah bahwa kemampuan seseorang untuk mengerti tidak secara otomatis membuatnya memiliki kemampuan untuk berubah. Disinilah diperlukan kemampuan pemimpin organisasi untuk mendengarkan dan menjadi pendengar yang baik dalam rangka membangun trust anggota organisasi sehingga mau berubah. Karena cara paling mendasar dan efektif untuk berhubungan dengan orang lain adalah hanya dengan mendengarkan. Bisa jadi hal terpenting yang dapat kita berikan kepada orang lain adalah perhatian kita, dengan cara kita mau diam mendengarkan orang lain berbicara, dan bukan hanya kita yang terus berbicara, sebaik apapun kata-kata yang kita sampaikan.