Assalammu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Welcome to Blog ADAM DIANSUNI IDIIL (ADID) MUTHALIB

Selasa, 10 Desember 2013

TABUNGAN INOVASI

"If we cannot do great things, we can do small things in a great way." (Oliver Wendell Holmes) Dalam salah satu acara, salah satu pesan yang disampaikan Pembicara adalah bahwa keteraturan atau sesuatu yang sistematis adalah hal yang positif, karena dapat membuat suatu organisasi memiliki mekanisme. Adanya mekanisme tersebut membuat organisasi berjalan secara otomatis sesuai prosedur tanpa adanya ketergantungan dengan satu orang tertentu (one man show). Namun pesan lanjutan yang disampaikan oleh pembicara tersebut adalah perlunya diwaspadai apabila suatu sistem dalam organisasi itu sudah sangat rigid. Apabila sistem dalam suatu organisasi berjalan terlalu rigid, maka situasi dalam organisasi tersebut dampaknya akan seperti dalam organisasi yang “one man show” karena semakin mempersempit ruang bagi individu-individu dalam organisasi tersebut untuk berimprovisasi ataupun berinovasi, sebagaimana makna sebuah ungkapan: "If everybody is thinking alike, then somebody isn't thinking." Hal ini terbukti dari pengalaman diskusi (brainstorming) dengan dua kelompok pegawai. Kelompok pertama adalah kelompok pegawai yang baru bergabung (newly recruited) yang sebagian besar merupakan fresh graduate. Sedangkan kelompok lainnya adalah mereka yang sudah cukup lama menjadi pegawai (existing). Dalam organisasi seperti yang digambarkan diatas, persepsi kedua kelompok tersebut akan terlihat berbeda sekali. Persepsi kelompok pegawai yang baru bergabung diwarnai dengan cara berpikir “the sky is the limit”, dimana belum ada mind barrier terkait pekerjaan yang akan dihadapi sehingga segalanya menjadi mungkin dan membuka semua peluang. Di sisi lain, persepsi kelompok pegawai eksisting yang sehari-hari sudah biasa terlibat dalam aktifitas pekerjaan sehingga sudah sering menghadapi rules/restrictions yang berlaku di organisasi, maka secara tidak sadar telah tercipta pembatasan dalam berpikir (mind blocking). Akibatnya, seringkali kelompok kedua lebih melihat apa yang tidak boleh, sehingga membatasi kemampuan mereka berimprovisasi. Mengutip kembali salah satu ungkapan: "The only reason some people get lost in thought is because it's unfamiliar territory." Inovasi adalah sesuatu yang bisa memberi nilai tambah, bukan hanya dari sisi efisiensi (waktu, tenaga dan biaya), tapi juga apabila menghasilkan sesuatu yang bisa memberikan premium value bagi produk/jasa yang sudah ada. Dewasa ini setiap perusahaan berusaha mendorong agar setiap pegawai berjiwa inovatif karena diyakini bahwa inovasi-inovasi dapat menciptakan diferensiasi yang akan memberikan nilai tambah bagi perusahaan. Berbagai upaya ditempuh perusahaan, antara lain dengan mengadakan kompetisi dan memberikan apresiasi bagi pegawai yang inovasinya dinilai akan memberikan value bagi perusahaan. Inovasi terbentuk melalui suatu proses berpikir kreatif sehingga bersifat kualitatif. Sesuatu yang bersifat kualitatif biasanya tidak diukur berdasarkan berapa banyak jumlah yang dihasilkan, sehingga terciptanya inovasi tidak bisa ditetapkan target seperti pembuatan sinetron yang kejar tayang. Inovasi seharusnya menekankan kepada proses, dan terbentuk melalui rangkaian aktifitas observasi, pengalaman dan berpikir, yang didorong oleh rasa ingin tahu dan dimotivasi oleh keinginan untuk mendapatkan hasil akhir yang lebih baik. Jadi, inovasi idealnya bukan hanya sekedar untuk memenuhi target yang ditetapkan. Munculnya ide-ide kreatif yang merupakan cikal-bakal inovasi juga tidak boleh dibatasi oleh waktu. Ide kreatif yang menjadi inspirasi terciptanya suatu inovasi bisa kapan saja dan bahkan dimana saja, sehingga harus ada wadah yang selalu siap “menampung” setiap kali ide-ide tersebut muncul. Adanya inisiatif manajemen untuk memberikan reward untuk inovasi yang dianggap terbaik patut dihargai. Namun, inisiatif tersebut akan lebih baik lagi jika dilengkapi dengan fasilitas/sarana pendukung yang selalu tersedia dan mumpuni untuk menampung setiap ide kreatif hingga menjadi inovasi. Sehingga himbauan kepada pegawai untuk mengembangkan inovasi jangan sampai berubah penafsiran menjadi aturan normatif dari manajemen/atasan yang sifatnya perintah untuk berinovasi. Untuk mendukung inisiatif pemberian reward, perlu disediakan sarana penunjang dalam bentuk Tabungan Inovasi yang memanfaatkan teknologi komunikasi, misalnya di Bank Mandiri melalui Mandiri Jam/Mandiri i-share, sekaligus mendorong pegawai untuk aktif memanfaatkan jaringan sosial tersebut. Dengan adanya Tabungan Inovasi, maka penanganan ide-ide kreatif akan lebih efektif dan prosesnya sistematis hingga menghasilkan inovasi baru. Analogi keberadaan Tabungan Inovasi seperti penyediaan tempat sampah. Keberadaan tempat sampah harus mudah terlihat dan diingat, sehingga tidak ada lagi sampah berserakan di sembarang tempat karena setiap orang merasa harus membuang sampah pada tempatnya.

Senin, 09 Desember 2013

MENUNGGU : STRATEGI ATAU PASIF

“The chains of habit are too weak to be felt until they are too strong to be broken” (Samuel Johnson) Bagi penulis yang merupakan salah satu warga yang setia menggunakan kendaraan umum, ketertarikan mengamati pola kerja berbagai kendaraan umum di Jakarta merupakan suatu keasyikan tersendiri, selain juga memang keharusan agar bisa memahami dan menikmati layanan yang ada. Termasuk di dalamnya adalah kebiasaan kendaraan umum di Jakarta untuk “ngetem”. Bagi kita yang terbiasa menggunakan kendaraan umum tentunya sudah sangat familiar dengan istilah ngetem. Namun entah disadari atau tidak, ternyata istilah ngetem hanya ada dan dikenal di Indonesia. Coba kita cari padanan kata ngetem dalam bahasa lain, bahasa Inggris misalnya, maka akan susah sekali mendapatkannya. Hal ini menunjukkan betapa kayanya bahasa Indonesia, hal yang tentunya patut kita syukuri. Sekarang mari kita perhatikan bagaimana pola kerja kendaraan umum. Pada umumnya, awak kendaraan umum di Jakarta bekerja dengan sistem setoran. Setiap kali pengemudi kendaraan umum keluar dari pool, mereka sudah ditentukan jam operasional (baca: narik)nya, sehingga ada istilah ‘narik siang’ dan ‘narik malam/ngalong’. Munculnya istilah ngetem selalu dikaitkan dengan sistem angkutan umum di Indonesia. Bahkan Penulis pernah melihat rambu lalu lintas di salah satu sudut jalan di Jakarta yang bertuliskan “Kendaraan Umum Dilarang Mengetem Disini”. Hal yang mengusik pikiran Penulis adalah bagaimana istilah ngetem muncul dan apa sebenarnya arti ngetem? Banyak fenomena menarik di negara kita yang seringkali luput dari perhatian karena kita temui sehari-hari. Salah satu fenomena menarik tersebut adalah bisa bersatunya dua “budaya”/kebiasaan yang sifatnya berlawanan/kontradiktif dalam satu karakter individu, yaitu budaya ngetem (baca: menunda/menunggu) dan budaya instan (baca: terburu-buru/jalan pintas). Berbagai acara yang dianggap penting dengan persiapan yang terburu-buru karena alasan waktu yang sudah mendesak, tapi pada saat pelaksanaan tetap menunggu gedung penuh; atau angkutan umum yang berlama-lama ngetem menunggu penumpang penuh, namun kemudian saling kebut-kebutan di jalan seakan-akan berlomba-lomba untuk cepat sampai Karena kehabisan waktu. Konon kedua kebiasaan yang bertolak belakang seperti digambarkan diatas terjadi karena menyesuaikan dengan peran dan kepentingan. Di negara kita, biasanya kebiasaan ngetem muncul pada waktu seseorang berperan sebagai penyedia layanan (service provider), sementara kebiasaan serba instan muncul pada waktu orang yang sama berperan sebagai pengguna jasa/pelanggan (customer). Sebagai penyedia layanan, sering terjadinya ngetem bisa jadi mencerminkan buruknya perencanaan sekaligus tidak dipenuhinya standar layanan (service level). Mari kita lihat bagaimana kebiasaan ngetem terkadang juga terjadi di dunia kerja di perkantoran. Sering kita lihat aktifitas di kantor selama jam kerja banyak yang diisi dengan “haha-hihi” atau lunch melampaui waktu istirahat. Bila hal ini dilakukan secara rutin bisa diibaratkan seperti kebiasaan ngetem, dengan resiko penumpukan kerja yang dapat berdampak pada opportunity loss bagi perusahaan. Dampak lain dari mundurnya penyelesaian tugas/pekerjaan akibat kebiasaan ngetem di kantor adalah bertambahnya jam kerja. Selain meningkatkan biaya lembur pegawai yang apabila terjadi secara rutin bisa berakibat pada bertambahnya beban overhead, bertambahnya jam kerja juga bisa berakibat pada menurunnya produktifitas pegawai. Secara alamiah, Allah menciptakan manusia dengan daya tahan tubuh terbatas sehingga harus seimbang, termasuk untuk melakukan pekerjaan tubuh manusia sudah diatur sedemikian rupa oleh Allah agar efektif dan produktif. Konon hal ini juga sudah diukur dan dibuktikan secara ilmiah oleh ilmuwan. Hal lain yang juga perlu diluruskan adalah bahwa kebiasaan “clean desk” yaitu tidak senang menunda penyelesaian pekerjaan malah menimbulkan persepsi bahwa pegawai bersangkutan masih kurang bobot dan/atau volume pekerjaannya. Akibatnya banyak orang yang tidak peduli atau dijadikan pembenaran apabila pekerjaannya menumpuk di meja. Padahal setiap jabatan sudah diukur bobot pekerjaannya yang disesuaikan dengan jam kerja normal oleh orang yang berkompeten. Berdasarkan pembahasan diatas, apakah kesimpulannya kebiasaan menunggu atau ngetem itu negatif? Ternyata belum tentu, karena bisa jadi menunggu merupakan strategi terbaik. Pilihan mana yang harus diambil, apakah menunggu/ngetem dulu hingga sempurna baru jalan, atau semua harus tetap berjalan sesuai skedul dan penyempurnaannya sambil jalan. Apapun pilihannya harus didasari keyakinan bahwa Allah sudah mengatur segalanya, dan kita tinggal menjalankan sesuai niat masing-masing. Yang pasti, waktu adalah satu-satunya yang tidak bisa ditahan atau dimundurkan oleh manusia, sehingga konsekuensi bagaimana kita menggunakannya akan kembali kepada masing-masing. “Don’t put off until tomorrow what you can do today”

Rabu, 11 September 2013

REKRUTMEN SEBAGAI AWAL SINERGI

I choose to live by choice, not by chance, I choose to make changes, not excuses, I choose to be motivated, not manipulated, I choose to be useful, not used. Because….. I choose to excel, not compete, I choose self esteem, not self pity, I choose to listen to my inner voice, not the random opinion of others (source: unknown) Dalam rangka benchmarking dengan industri yang memiliki kesamaan karakter bisnis yaitu sektor jasa, kami pernah mengunjungi salah satu hotel ternama di Jakarta yang merupakan anggota jaringan hotel internasional. Kesan pertama yang didapat adalah bagaimana seluruh pegawai yang ada tampak melayani semua orang yang datang (yang belum tentu tamu hotel, atau dari penampilan fisiknya tidak berpotensi untuk menjadi tamu hotel bergengsi tersebut) dengan rendah hati namun tetap memiliki kebanggaan (pride) terhadap pekerjaannya. Penasaran dengan sikap melayani yang ditunjukkan oleh seluruh pegawai secara seragam, kamipun menemui Direktur SDMnya untuk mencari tahu bagaimana perusahaan mendapatkan pegawai dengan kualitas dan kompetensi sesuai dengan yang diharapkan perusahaan. Sesuai penjelasan yang bersangkutan, kuncinya adalah proses seleksi dan rekrutmen oleh perusahaan yang dilakukan seakurat mungkin. Pertanyaan pertama yang muncul adalah bagaimana manajemen harus melakukan proses seleksi dan rekrutmen yang efektif dan akurat sehingga bisa mendapatkan semua pegawai yang ‘tepat’ untuk bekerja sesuai keinginan perusahaan di masing-masing bidangnya. Karena seperti kita ketahui bahwa hampir semua perusahaan melakukan proses seleksi dan rekrutmen dengan menggunakan kualifikasi tertentu secara ketat, misalnya penampilan fisik (tinggi dan berat badan) ataupun berdasarkan kualifikasi tertulis yang disyaratkan, misalnya lulusan dan IPK. Namun dalam kenyataannya, terkadang perusahaan tersebut masih sering merasa “salah pilih” karena pegawai yang telah direkrut sesuai kualifikasi tersebut ternyata tidak memenuhi harapan. Menurutnya cara kualifikasi diatas seringkali menimbulkan mismatch antara need perusahaan dengan need (calon) pegawai. Cara penentuan kualifikasi yang hanya melihat dari sisi “luar” pelamar seperti tersebut diatas hanya memberikan batasan bagi kedua pihak tentang apa yang diinginkan oleh masing-masing pihak lainnya, bukan sebaliknya memberikan gambaran horizon baru yang akan dibentuk bersama oleh kedua pihak untuk kepentingan bersama pula. Konsekuensinya, masing-masing akan ‘dipaksa’ untuk perform sesuai kualifikasi yang menjadi batasan sekaligus dasar komitmen antara kedua belah pihak tersebut. Rekan Direktur SDM tersebut akhirnya mengungkapkan “rahasia” perusahaannya untuk menemukan calon pegawai yang “pas” untuk posisi pekerjaan yang ditawarkan, yaitu melalui Gallup Test. Gallup Test adalah sejenis tes kepribadian (personality test) yang akan menggali dan menemukan (explore) kekuatan (strength) utama dari calon pelamar yang akan direkrut. Melalui tes ini, perusahaan akan mendapatkan insight tentang kepribadian calon pelamar yang kemudian akan dicocokkan dengan sifat dan karakter yang dibutuhkan untuk posisi yang akan diisi, baru kemudian akan dapat diketahui apakah ada kesesuaian sehingga antara perusahaan dan pegawai diharapkan dapat bersinergi. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana perlakuan terhadap pegawai eksisting di perusahaan? Apakah untuk pegawai yang sudah bekerja di perusahaan bisa dibilang ‘terlanjur’ sehingga tak ada yang dapat dilakukan oleh perusahaan kecuali hanya ‘wait and see’? Tentunya perusahaan tidak bisa mengandalkan proses seleksi alami seperi itu, karena seperti diketahui bahwa biaya terminate pegawai bisa jadi lebih besar dari biaya rekrutmen penggantinya. Terlebih lagi adanya resiko apabila bergantung pada proses seleksi alami seperti tersebut diatas, yaitu yang tersingkir bisa jadi pegawai-pegawai yang memiliki potential strengths namun menduduki pekerjaan yang tidak sesuai dengan potensinya tersebut (“right man on the wrong place/time”). Apa yang mungkin dapat dilakukan oleh perusahaan adalah memberlakukan tes kepribadian untuk setiap pegawainya dan mengelompokkan pegawai berdasarkan hasil tes masing-masing (strength grouping). Di sisi lain, perusahaan juga tentunya perlu mendefinisikan setiap jabatan dengan menetapkan personality/strength pegawai yang sesuai dengan jabatan tersebut. Selanjutnya dengan memanfaatkan dua kelompok personality tersebut (database pegawai dan jabatan) yang berlaku companywide, perusahaan (dalam hal ini HRD) akan bertindak seperti “biro jodoh” yang memasangkan (matching) antara jabatan dengan pegawai. Dengan cara demikian, diharapkan akan meningkatkan loyalitas dan komitmen pegawai yang bekerja dengan sepenuh hati (engaged) karena dorongan/kebutuhan untuk mencapai self-esteem (tidak merasa bekerja dalam tekanan). Hasilnya akan menciptakan sinergi kebutuhan antara perusahaan dan pegawai, yang pada gilirannya akan mendorong peningkatan value proposition baik pegawai maupun perusahaan. (20092013)

Senin, 02 September 2013

JABATAN: PRESTASI ATAU PRESTISE?

“To be humble to superiors is duty, to equals courtesy, to inferiors nobleness” (Ben Franklin) Sering kita mendapatkan adanya dikhotomi antara mengutamakan proses atau hasil. Bisa menimbulkan perbincangan panjang kalau kita sudah memperdebatkan antara proses dan hasil (process or result oriented). Terkadang kita merasa sedemikian pentingnya hasil yang ingin kita capai, sehingga kita terdorong untuk melakukan segala cara agar bisa segera mencapai hasil yang diinginkan tersebut. Hal ini menunjukkan kenyataan yang sering terjadi saat ini dimana hasil dipandang lebih penting daripada proses (the end justifies the means), dan kondisi seperti ini sering kita dengar atau temui dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu dampak adalah dorongan/tekanan untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Karena setiap orang ingin dan harus menjadi yang terbaik, maka muncullah persaingan yang ketat satu sama lain. Walaupun persaingan sudah ada secara alamiah dalam rangka memunculkan hasil yang lebih baik, namun muncul dampak lain sebagaimana mengutip perkataan David Sarnoff: "Competition brings out the best in products and the worst in people." Setiap anggota masyarakat umumnya mendapatkan dua jenis status dalam kelompok masyarakatnya, yaitu ascribed status (status di masyarakat yang umumnya diterjemahkan sebagai pemberian Tuhan sejak lahir dan melekat pada diri individu), yang antara lain terbentuk karena faktor keturunan dan umur. Di sisi lain manusia juga mendapatkan pengakuan berdasarkan achieved status (status di masyarakat yang dapat dimiliki oleh semua anggota masyarakat, namun untuk memperolehnya harus diperjuangkan). Seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat semakin menganggap achieved status sebagai sesuatu yang lebih layak dijadikan barometer keberhasilan seseorang. Dalam rangka mendapatkan achieved status yang diinginkan tersebut, persepsi anggota masyarakat mulai berubah dan mulai menganggap remeh keberadaan ascribed status. Padahal ascribed status yang bersifat natural justru biasanya mengedepankan nilai moral/spiritual seperti sopan-santun, terutama yang muda terhadap yang tua. Karena satu-satunya hal di dunia yang Tuhan tidak berikan kemampuan kepada manusia untuk merekayasa adalah umur/waktu. Bahkan salah satu ayat dalam Kitab Suci Al-Qur’an menyatakan bahwa manusia yang menyia-nyiakan waktu adalah termasuk orang yang merugi. “I am always ready to learn, although I do not always like being taught”, demikian ungkapan yang disampaikan oleh Winston Churchill. Cara yang paling mendasar namun sekaligus juga paling ampuh untuk dapat menjalin hubungan dengan orang lain adalah dengan memiliki kemampuan untuk menjadi pendengar. Dengan kesediaan menjadi pendengar yang baik, bisa jadi kita telah saling memberikan hal yang paling penting dan paling dibutuhkan, yaitu perhatian kita. Keseriusan kita mendengarkan bisa menjadi sarana komunikasi dan menunjukkan empati yang lebih efektif, bahkan bila dibandingkan dengan kata-kata menghibur yang kita sampaikan. “When people talk, listen completely. Most people never listen” (Ernest Hemingway). Mendengarkan adalah kemampuan tersendiri yang belum tentu bisa dimiliki dengan mudah oleh seseorang. Apa yang kerap terjadi di tengah masyarakat dan sering kita lihat adalah seseorang yang secara status sosial merasa lebih tinggi karena didorong oleh posisi yang berhasil dicapainya (achieved status), maka yang bersangkutan biasanya memiliki kecenderungan untuk tidak memiliki kemampuan “mendengarkan” orang yang ada di bawah pengaruhnya. Hal ini bukan hanya terjadi pada orang yang lebih tua, bahkan pada orang yang lebih muda sekalipun!! Listening is learning. Dengan mendengarkan, kita sekaligus juga belajar. Karena esensinya dari orang bodoh sekalipun kita bisa belajar, minimal belajar untuk tidak meniru kebodohan orang tersebut. Mendengarkan juga sekaligus merupakan bentuk penghormatan kepada orang yang sedang berbicara. Karena ada perbedaan yang signifikan antara bersikap hormat (salute) kepada seseorang dengan menghormati (respect) seseorang. Pada waktu kita bersikap hormat kepada lawan bicara, bisa jadi hal tersebut kita lakukan hanya secara fisik karena pertimbangan atribut fisik lawan bicara kita, misalnya karena kedudukannya yang lebih tinggi. Namun ketika kita menghormati lawan bicara, maka sikap hormat yang kita berikan lebih tulus (mental attitude) karena rasa penghargaan yang kita berikan kepada lawan bicara. Dengan kata lain, seseorang yang menghormati lawan bicaranya secara otomatis akan bersikap hormat. Sebaliknya seseorang yang bersikap hormat kepada lawan bicaranya belum tentu benar-benar menghormati lawan bicaranya tersebut. "If there is any great secret of success in life, it lies in the ability to put yourself in the other's place and to see things from his point of view - as well as your own." (Henry Ford)

Jumat, 22 Februari 2013

JALAN PINTAS: INOVASI ATAU EKSEPSI?

"Competition brings out the best in products and the worst in people." (David Sarnoff) Sebuah pepatah bijak mengatakan bahwa kita harus memutuskan apakah kita ingin membuat diri kita berguna, atau sekedar ingin menunjukkan kepada orang lain betapa bergunanya diri kita. Karena kebiasaan-kebiasaan baik yang kita lakukan muncul dari hal-hal yang sudah tertanam dalam pikiran kita (mindset). Hal yang paling sulit adalah apabila kita berusaha untuk bernegosiasi melawan pikiran kita, karena hasilnya pasti kekalahan bagi diri kita sendiri. Banyak hal yang terjadi dan sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan bagaimana seringnya suatu aturan yang dibuat berdasarkan paradigma pikiran manusia yang positif, teryata harus dikorbankan hanya karena konsensus sementara yang dibuat justru oleh manusia yang seharusnya menjaga aturan tersebut. Contoh yang paling sederhana adalah penggunaan voorijder sebagai pembuka jalan dimana konon sesuai ketentuan protokoler, voorijder dibolehkan di jalan raya namun hanya untuk pejabat setingkat kepala negara atau yang mewakili. Dalam prakteknya, siapapun dapat ”memanfaatkan” jasa voorijder bukan hanya untuk mengatasi kemacetan, tapi juga supaya kelihatan sebagai orang penting. Padahal orang yang kelihatan penting belum tentu dianggap orang berguna yang bisa dijadikan teladan, malah sebaliknya menimbulkan preseden buruk dan menunjukkan ketidakmampuannya untuk menjadi role model. Contoh lainnya adalah aparat kepolisian mengizinkan pemakai jalan untuk menggunakan jalur seberang di beberapa jalan di Jakarta pada waktu-waktu tertentu, sehingga kendaraan berjalan di jalur yang berlawanan arah. Contoh diatas menggambarkan cara-cara instan, atau yang biasa diistilahkan dengan ”jalan pintas”, yang sayangnya ditempuh dengan mengabaikan aturan. Walaupun belum tentu salah, namun disadari ataupun tidak, cara-cara tersebut sebetulnya hanya mengalihkan atau menunda masalah, bukan menyelesaikannya. Penundaan atau pengalihan yang terus-menerus seperti ini hanya akan merubah mindset orang-orang dan merubah kebiasaannya untuk selalu mencari jalan pintas. Dampaknya secara sosial bisa menjadi pembenaran yang dipaksakan dan akhirnya menghilangkan empati satu sama lain. PENGALAMAN MEMBENTUK MINDSET Pengalaman merupakan bagian tidak terpisahkan dari kehidupan dan ikut membentuk kemampuan seseorang. Pengalaman selalu bermakna positif dan memberi kebaikan bagi orang yang menjalani karena bisa memberi hikmah, sehingga dikatakan bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Karena itu semestinya tidak ada yang namanya pengalaman buruk; yang ada hanyalah kejadian yang dialami seseorang di masa lalunya dan dipersepsikan serta direspons secara negatif. Seseorang dikatakan istiqomah apabila konsisten dalam memaknai setiap kejadian yang dialaminya secara positif karena didorong mindset untuk selalu belajar dan mengambil hikmah. Seseorang yang melewati kejadian demi kejadian dalam kehidupannya selama 10 tahun belum tentu dapat dikatakan memiliki pengalaman selama 10 tahun, apabila kejadian-kejadian tersebut tidak menambah value dalam kehidupannya melainkan hanya bertambahnya usia. Dalam pekerjaan, pegawai yang demikian dikatakan hanya memiliki jam kerja yang tinggi, namun belum tentu dapat dikatakan memiliki pengalaman kerja yang lama pula. Untuk merubah jam kerja menjadi pengalaman kerja perlu adanya job enrichment yang memberikan nilai tambah, apalagi bila didorong oleh inisiatif yang muncul dari dirinya sendiri. Hubungan atasan-bawahan akan memberi nilai tambah apabila ditandai dengan adanya kesamaan dan konsistensi dalam mindset. Contoh adanya anekdot atau anggapan bahwa kalau atasan diam karena sedang berpikir sementara apabila anak buah diam karena tidak mengerti, menunjukkan adanya standar ganda yang menimbulkan hubungan ”dekat di mata, jauh di hati” karena atasan dan bawahan tidak berbagi pengalaman yang sama. Lihatlah bagaimana upaya Jokowi merubah Jakarta. Keinginan dan upayanya untuk memperbaiki kondisi fisik kota Jakarta seperti fasilitas dan prasarana umum lainnya harus dibarengi dengan upaya membangun trust dan meyakinkan masyarakat agar memahami apa yang sedang dan akan dilakukannya sehingga masyarakat secara berjamaah menerima (buy in) secara sukarela dan mau merubah mindsetnya menyesuaikan dengan langkah perubahan yang sustainable walaupun membutuhkan ”pengorbanan” untuk keluar dari kebiasaan lama. Yang tidak kalah penting adalah bagaimana menepati janji secara konsisten untuk menjaga harapan dan kepercayaan (promise delivery), karena ketidakpuasan akibat tidak mendapatkan apa yang telah dijanjikan akan memicu ketidakpercayaan yang bisa berwujud pada tindakan-tindakan kontraproduktif, dan upaya mengembalikan mindset justru membutuhkan effort yang jauh lebih besar lagi. Kehidupan manusia memerlukan inovasi sebagai salah satu bentuk ”jalan pintas” untuk memotong jalur proses sehari-hari sehingga memberikan kemudahan dan kenyamanan. Namun pelaksanaan inovasi yang mendorong terjadinya pembenaran-pembenaran (tidak sejalan dengan kebutuhan bersama) atau justru menimbulkan dampak negatif bagi sebagian orang lain, hanya akan diterima sebagai eksepsi yang dilakukan untuk memuaskan kepentingan tertentu yang bersifat sesaat namun dampaknya bisa merusak mindset positif yang sudah terbentuk.

Kamis, 31 Januari 2013

MENYEMPURNAKAN PERENCANAAN KEUANGAN

“Weakness of attitude becomes weakness of character.” – Albert Einstein Beberapa waktu lalu kita disuguhkan berita tentang seorang pegawai kebersihan sebuah bank syariah di Jakarta yang menemukan uang ratusan juta rupiah di tempat sampah kantor tempat dia bekerja. Namun orang tersebut sama sekali tidak berkeinginan untuk memiliki uang jutaan rupiah temuannya tersebut walaupun tidak ada orang yang mengetahui kejadian penemuannya, karena tahu uang tersebut tidak akan barokah. Sementara itu, informasi yang dirilis oleh Gallup mengenai hasil survey yang dilakukan terhadap penduduk negara-negara di dunia baru-baru ini, menyimpulkan bahwa kekayaan belum tentu memberikan jaminan kebahagiaan bagi individu, karena adanya tuntutan kesempurnaan yang bersifat duniawi sehingga sulit untuk dicapai/dipuaskan. Dalam salah satu kesempatan ceramah memperingati Isra’ & Mi’raj di Mesjid An Nur Plaza Mandiri, seorang ustadz menyampaikan bahwa ada 3 (tiga) hal yang menjadi problem dalam kehidupan manusia di dunia dewasa ini, yaitu: sikap individualistis, rendah diri, dan ketidakpekaan terhadap sekitar. Solusinya, menurut sang ustadz, harus ada perubahan ke arah yang lebih baik dengan didasari semangat berjamaah/bekerja bersama serta semangat mencapai kesempurnaan, baik fisik maupun kepribadian yang pada akhirnya akan menghasilkan kinerja yang sempurna pula. Hikmah dari uraian kisah diatas yang dapat kita petik adalah perlu adanya keseimbangan dalam kehidupan setiap insan manusia (life balance). Keberhasilan duniawi yang dicapai oleh setiap individu harus diimbangi dengan rasa syukur, yang memberikan kebahagiaan di hati (fulfillness) sehingga orang tersebut dapat menikmati hidup sepenuhnya baik lahir maupun batin. Kisah petugas kebersihan diatas memberikan inspirasi kepada kita untuk sedapat mungkin menghindari grey area dalam pemahaman halal dan tidak halal (termasuk yang meragukan/subhat). Di sisi lain, kejujuran si petugas menjadi nilai tambah bagi perusahaannya karena service quality adalah masalah persepsi yang bersifat intangible. Yang perlu dipahami oleh setiap manusia yang beriman adalah bahwa rezeki tidaklah sama dengan barokah, karena menurut pemahaman Penulis, rezeki bersifat tangible sementara barokah bersifat intangible. Walaupun kedua hal tersebut bisa dipersepsikan secara subyektif sama seperti halnya bagaimana orang mempersepsikan batasan halal-haram, namun titik temu subyektifitas tersebut adalah hati nurani (consciens) setiap manusia yang bersifat universal karena bersumber dari kebenaran hakiki dari Allah. Perasaan barokah muncul dari keikhlasan hati apabila kita sering memberi kepada orang lain dalam bentuk apapun, karena itu artinya kita sudah bisa merasa lebih dari cukup dan merasa bahagia bila bisa membuat orang lain bahagia. Sebaliknya, orang yang tidak diberi barokah oleh Allah akan selalu merasa kekurangan atas rezeki yang telah diberikan Allah kepadanya, sehingga hatinya selalu merasa berat untuk berbagi karena dia takut kekurangan Orang yang mendapatkan barokah adalah orang yang mampu memandirikan hatinya dari pengaruh atau unsur keduniawian yang berlebihan, dan menjadikan hati nuraninya sebagai teman dekat yang akan selalu menjadi “early warning system” apabila orang tersebut dihinggapi rasa kikir ataupun kekhawatiran bahwa rezeki yang telah didapatnya dari usaha dan kerja kerasnya akan berkurang. Orang yang demikian akan mampu memberi ataupun berbagi kepada orang lain tanpa ada pamrih apapun, karena hanya mengharapkan keridhoan sebagai wujud rasa syukur kepada Allah Yang Maha Memberi rezeki. Memberi dengan ikhlas tidaklah sama dengan menghargai, dimana kita memberi karena didasari oleh rasa terimakasih atas jasa atau perbuatan baik seseorang terhadap kita sehingga merupakan timbal-balik. Terkait dengan upaya pengelolaan rezeki yang kita peroleh agar bisa menjadi barokah namun tetap terencana dengan baik, maka salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui apa yang Penulis usulkan sebagai Charity Planning (CP). Pada dasarnya CP merupakan pengembangan/modifikasi dari Financial Planning (FP) yang digunakan oleh para perencana keuangan saat ini untuk mengelola rezeki yang diterima. Sedikit berbeda dari FP, tujuan CP tidak hanya mencapai kekayaan (wealth) beserta embel-embel yang mengikutinya seperti kekuasaan, kesehatan dan penampilan karena semua itu diibaratkan sebagai perhiasan dunia yang tidak kekal. Tujuan CP adalah mengejar tujuan akhir yang lebih pasti dan kekal, yaitu kehidupan di akhirat. Namun bukan berarti tidak berusaha mengejar rezeki di dunia, karena justru semakin banyak rezeki yang diperoleh, maka akan semakin banyak pula amal dan sedekah yang bisa diberikan. Seperti halnya konsep “4 Sehat, 5 Sempurna”, konsep FP yang didasarkan pada pilar-pilar yaitu Asset Allocation, Time Horison, Investment Objectives, Return Profile & Periodic Review digambarkan sebagai menu “Sehat”. Agar “Sempurna”, diperlukan pengelolaan sedekah (charity) untuk melengkapi perencanaan yang dibuat sehingga tidak hanya berorientasi kebahagiaan di dunia tapi juga di akhirat. Dengan meminjam istilah-istilah dalam berinvestasi, maka zakat yang kita tunaikan setiap tahun diibaratkan sebagai “Subcription & Maintenance Fee” dan merupakan investasi minimal yang harus dilaksanakan dalam CP. Selanjutnya terdapat “Installment Premium” maupun “Top-Up” dalam bentuk jariah, infaq, sedekah maupun amal-amal lain yang diberikan sesuai keikhlasan dan rasa kecukupan masing-masing. Yang menarik dari CP adalah hasil investasinya dijamin tidak pernah merugi. Jaminan langsung dari Allah yang dinyatakan dalam Al Qur’an ini bahkan dilengkapi pula dengan ilustrasi hasil investasi yang bersifat mutlak, yaitu dilipatgandakan hingga 700 kali. Seperti firman Allah dalam surat Ar-Rahman “Maka nikmat Tuhan kamu manakah yang akan kamu dustakan? Ketika kebaikan-kebaikan kamu berbalas kebaikan” (Fabi ayyi ala irabbikuma tukazziban; Hal jazaul ihsan ilal ihsan), mari mulai sekarang kita merencanakan investasi akhirat kita!! ”Service to others is the rent you pay for your room here on Earth.” – Muhammad Ali