Assalammu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Welcome to Blog ADAM DIANSUNI IDIIL (ADID) MUTHALIB

Senin, 09 Desember 2013

MENUNGGU : STRATEGI ATAU PASIF

“The chains of habit are too weak to be felt until they are too strong to be broken” (Samuel Johnson) Bagi penulis yang merupakan salah satu warga yang setia menggunakan kendaraan umum, ketertarikan mengamati pola kerja berbagai kendaraan umum di Jakarta merupakan suatu keasyikan tersendiri, selain juga memang keharusan agar bisa memahami dan menikmati layanan yang ada. Termasuk di dalamnya adalah kebiasaan kendaraan umum di Jakarta untuk “ngetem”. Bagi kita yang terbiasa menggunakan kendaraan umum tentunya sudah sangat familiar dengan istilah ngetem. Namun entah disadari atau tidak, ternyata istilah ngetem hanya ada dan dikenal di Indonesia. Coba kita cari padanan kata ngetem dalam bahasa lain, bahasa Inggris misalnya, maka akan susah sekali mendapatkannya. Hal ini menunjukkan betapa kayanya bahasa Indonesia, hal yang tentunya patut kita syukuri. Sekarang mari kita perhatikan bagaimana pola kerja kendaraan umum. Pada umumnya, awak kendaraan umum di Jakarta bekerja dengan sistem setoran. Setiap kali pengemudi kendaraan umum keluar dari pool, mereka sudah ditentukan jam operasional (baca: narik)nya, sehingga ada istilah ‘narik siang’ dan ‘narik malam/ngalong’. Munculnya istilah ngetem selalu dikaitkan dengan sistem angkutan umum di Indonesia. Bahkan Penulis pernah melihat rambu lalu lintas di salah satu sudut jalan di Jakarta yang bertuliskan “Kendaraan Umum Dilarang Mengetem Disini”. Hal yang mengusik pikiran Penulis adalah bagaimana istilah ngetem muncul dan apa sebenarnya arti ngetem? Banyak fenomena menarik di negara kita yang seringkali luput dari perhatian karena kita temui sehari-hari. Salah satu fenomena menarik tersebut adalah bisa bersatunya dua “budaya”/kebiasaan yang sifatnya berlawanan/kontradiktif dalam satu karakter individu, yaitu budaya ngetem (baca: menunda/menunggu) dan budaya instan (baca: terburu-buru/jalan pintas). Berbagai acara yang dianggap penting dengan persiapan yang terburu-buru karena alasan waktu yang sudah mendesak, tapi pada saat pelaksanaan tetap menunggu gedung penuh; atau angkutan umum yang berlama-lama ngetem menunggu penumpang penuh, namun kemudian saling kebut-kebutan di jalan seakan-akan berlomba-lomba untuk cepat sampai Karena kehabisan waktu. Konon kedua kebiasaan yang bertolak belakang seperti digambarkan diatas terjadi karena menyesuaikan dengan peran dan kepentingan. Di negara kita, biasanya kebiasaan ngetem muncul pada waktu seseorang berperan sebagai penyedia layanan (service provider), sementara kebiasaan serba instan muncul pada waktu orang yang sama berperan sebagai pengguna jasa/pelanggan (customer). Sebagai penyedia layanan, sering terjadinya ngetem bisa jadi mencerminkan buruknya perencanaan sekaligus tidak dipenuhinya standar layanan (service level). Mari kita lihat bagaimana kebiasaan ngetem terkadang juga terjadi di dunia kerja di perkantoran. Sering kita lihat aktifitas di kantor selama jam kerja banyak yang diisi dengan “haha-hihi” atau lunch melampaui waktu istirahat. Bila hal ini dilakukan secara rutin bisa diibaratkan seperti kebiasaan ngetem, dengan resiko penumpukan kerja yang dapat berdampak pada opportunity loss bagi perusahaan. Dampak lain dari mundurnya penyelesaian tugas/pekerjaan akibat kebiasaan ngetem di kantor adalah bertambahnya jam kerja. Selain meningkatkan biaya lembur pegawai yang apabila terjadi secara rutin bisa berakibat pada bertambahnya beban overhead, bertambahnya jam kerja juga bisa berakibat pada menurunnya produktifitas pegawai. Secara alamiah, Allah menciptakan manusia dengan daya tahan tubuh terbatas sehingga harus seimbang, termasuk untuk melakukan pekerjaan tubuh manusia sudah diatur sedemikian rupa oleh Allah agar efektif dan produktif. Konon hal ini juga sudah diukur dan dibuktikan secara ilmiah oleh ilmuwan. Hal lain yang juga perlu diluruskan adalah bahwa kebiasaan “clean desk” yaitu tidak senang menunda penyelesaian pekerjaan malah menimbulkan persepsi bahwa pegawai bersangkutan masih kurang bobot dan/atau volume pekerjaannya. Akibatnya banyak orang yang tidak peduli atau dijadikan pembenaran apabila pekerjaannya menumpuk di meja. Padahal setiap jabatan sudah diukur bobot pekerjaannya yang disesuaikan dengan jam kerja normal oleh orang yang berkompeten. Berdasarkan pembahasan diatas, apakah kesimpulannya kebiasaan menunggu atau ngetem itu negatif? Ternyata belum tentu, karena bisa jadi menunggu merupakan strategi terbaik. Pilihan mana yang harus diambil, apakah menunggu/ngetem dulu hingga sempurna baru jalan, atau semua harus tetap berjalan sesuai skedul dan penyempurnaannya sambil jalan. Apapun pilihannya harus didasari keyakinan bahwa Allah sudah mengatur segalanya, dan kita tinggal menjalankan sesuai niat masing-masing. Yang pasti, waktu adalah satu-satunya yang tidak bisa ditahan atau dimundurkan oleh manusia, sehingga konsekuensi bagaimana kita menggunakannya akan kembali kepada masing-masing. “Don’t put off until tomorrow what you can do today”