Assalammu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Welcome to Blog ADAM DIANSUNI IDIIL (ADID) MUTHALIB

Selasa, 18 Desember 2012

MENTAL WIRAUSAHA PEGAWAI

“Don’t judge each day by the harvest you reap, but by the seeds you plant.” --- Robert Louis Stevenson Beberapa waktu lalu muncul berita di media massa tentang wacana yang dilontarkan oleh Menteri Keuangan mengenai pensiun pegawai negeri sipil (PNS). Wacana yang disampaikan Menteri Keuangan adalah untuk mengganti fasilitas pensiun dan fasilitas kesehatan PNS, yang bentuknya diusulkan akan diberikan di muka sekaligus (lumpsum). Pertimbangan yang mendasari Menteri Keuangan menyampaikan usulan tersebut adalah bahwa jika wacana ini bisa dijalankan, maka Pemerintah sebagai employer akan dapat melakukan penghematan APBN hingga 20% pertahun!!! Wacana yang disampaikan tersebut seharusnya dapat dilihat sebagai langkah positif pemerintah dalam rangka menciptakan posisi saling menguntungkan (win-win situation) baik bagi pemerintah maupun bagi para PNS. Bagi PNS, wacana tersebut diharapkan dapat memotivasi mereka agar lebih kreatif dan inovatif dalam mempersiapkan diri menghadapi pensiun, khususnya dalam mengelola uang pensiunnya, sehingga mereka memiliki kesempatan lebih luas dalam mengembangkan diri. Mereka diharapkan akan mulai membangun visi sendiri yang jelas dalam menghadapi masa pensiun, dan meyakini bahwa hal tersebut bergantung pada persiapan yang lebih awal dari fase kehidupan. Bagaimana dengan kondisi para pegawai di Bank Mandiri yang sebagian diantaranya berasal dari 4 legacy bank pemerintah? Menarik untuk kita pahami apa yang kita dengar tentang pengalaman para pensiunan legacy bank, termasuk yang mengikuti program pensiun dini. Banyak diantara mereka yang mendapat uang pesangon yang jumlahnya cukup besar. Namun ternyata tidak sedikit cerita yang kita dengar tentang para pensiunan yang tidak mampu mempertahankan, apalagi mengembangkan, uang pesangon yang diterimanya. Banyak dari mereka karena terbiasa bersikap pasif dalam mengelola uangnya sehingga malah terjebak dalam penawaran investasi instan yang tampak menjanjikan, atau tidak dapat menahan godaan hidup konsumtif karena kurangnya informasi dan kemampuan mengelola kekayaannya. Seperti mengutip ucapan Lewis Carroll: “If you don’t know where you are going, any road will get you there”. Belakangan ini manajemen mulai memberikan himbauan kepada para pegawai setiap kali akan dilakukan pembayaran insentif tahunan, agar pegawai berhemat dan menggunakan uang tersebut dengan bijaksana, antara lain untuk berinvestasi. Hal ini merupakan langkah awal yang baik, apalagi biasanya disertai dengan munculnya ‘iklan’ ajakan berinvestasi di Dana Pensiun di tengah gencarnya iklan dari Administrator intranet yang menawarkan berbagai kemudahan berbelanja yang menggoda. Namun langkah yang demikian masih belum cukup karena himbauan tersebut sifatnya hanya musiman sehingga bagaikan peringatan tanpa memberikan alternatif solusi apa yang bisa diambil pegawai. Akhirnya penawaran Dana Pensiun yang terkesan “product push” dikalahkan oleh tawaran belanja yang pasti lebih menggoda. If you fail to plan, you are planning to fail “Risk comes from not knowing what you’re doing”, demikian ungkapan yang disampaikan oleh Warren Buffett. Banyak orang mengidentikkan investasi dengan resiko sehingga cenderung menolak produk-produk investasi yang mengekspos resiko. Cara pandang seperti ini dikhawatirkan mendorong mereka untuk menerima tawaran-tawaran investasi yang menjanjikan imbal-hasil yang menggiurkan dalam waktu dekat tanpa ada resiko. Disinilah perlunya upaya untuk merubah mental pegawai agar lebih mampu menghadapi resiko sehingga lebih proaktif dalam mengelola kekayaannya dalam rangka mempersiapkan diri sebaik-baiknya menghadapi masa pensiun. Saat ini, pembekalan hanya diberikan kepada pegawai yang memasuki usia menjelang pensiun berupa pengetahuan praktis tentang berbagai bidang usaha potensial yang dapat dijalani pada masa pensiun. Sementara pegawai-pegawai yang masih lama masa aktifnya tidak dipersiapkan dengan pengetahuan tentang pengelolaan keuangan, sehingga mereka tetap dengan mental dan gaya hidup yang cenderung konsumtif (termasuk dalam berhutang). Padahal yang juga harus dipersiapkan sejak awal adalah kemampuan dan mental pegawai untuk berwirausaha dan mandiri dalam mengelola keuangannya. Salah satu cara yang mungkin dapat dilakukan manajemen adalah dengan memberikan pembekalan/pengetahuan tentang pengelolaan kekayaan (wealth management), antara lain melalui kegiatan sosialisasi Financial Planning (FP) kepada setiap pegawai secara aktif, berkesinambungan dan persuasif/memotivasi agar pegawai menjadikan FP sebagai bagian dari gaya hidup. Perubahan gaya hidup dari konsumtif menjadi terencana tersebut akan mendorong perubahan mental pegawai menjadi mandiri secara finansial, dan pada gilirannya membentuk mental wirausaha. Keberhasilan manajemen dalam membentuk perubahan mental pegawainya secara bertahap hingga siap berwirausaha pada waktu pensiun akan memberikan nilai tambah bagi perusahaan. Di satu sisi, pegawai yang mampu mengelola keuangannya dengan baik selama bekerja di perusahaan akan tumbuh semangat dan motivasinya dalam bekerja sehingga memberikan kontribusi positif kepada perusahaan. Di sisi lain, mantan pegawai yang sukses menjalani kehidupan setelah pensiun dari perusahaan bisa meningkatkan perceived value perusahaan dalam pengelolaan SDM di mata stakeholders, sekaligus meningkatkan engagement pegawai yang masih aktif karena ada nilai kualitatif yang diyakini akan diterima pegawai berupa future expectation. "Try not to become a man of success, but rather a man of value." -- Albert Einstein

Jumat, 31 Agustus 2012

PROFESIONALISME DAN INTEGRITAS DALAM MARKETING YANG ISLAMI

"You can't build a reputation on what you are going to do." (Henry Ford). Konon di satu alkisah, suatu ketika seorang salesman handal meninggal dunia. Dalam perjalanan menuju akhirat, arwahnya dicegat oleh malaikat penjaga pintu surga dan neraka. Sang salesman handal tersebut meminta kepada malaikat agar dirinya diberi kesempatan sekilas melihat dahulu kondisi masing-masing di surga dan di neraka. Tentu saja sang malaikat menolak permintaan tersebut, dan menyatakan bahwa sudah ditentukan kemana dia akan dimasukkan. Namun dengan kehandalannya membujuk dan merayu pembeli pada waktu di dunia, dia terus berusaha mempengaruhi malaikat dengan beragumentasi segala sesuatu tentunya negotiable alias “bisa dibicarakan”. Entah bagaimana caranya, sang malaikatpun memberikan kesempatan tersebut. Singkat cerita, salesman tersebut diajak “mengintip” keadaan di surga dan neraka. Di surga, dia melihat hal-hal yang damai namun membosankan baginya, sementara di neraka dia melihat berbagai hal yang menyenangkan yang merupakan kegemarannya semasa hidup, seperti hura-hura dan dugem. Maka ketika kembali ke tempat malaikat, salesman tersebut minta agar dia dapat dimasukkan ke dalam neraka karena menurut dia “gue banget”. Setelah sepakat, maka pergilah sang malaikat mengantar salesman tersebut menuju neraka. Ketika pintu dibuka, ternyata yang ada hanya api dan siksaan. Tentu saja salesman protes karena neraka yang tadi dilihatnya melalui pintu bukan seperti yang dilihatnya sekarang. Namun sang malaikat menjawab dengan tenang: “Tadi pada waktu melihat pertama yang menyenangkan, anda masih prospect untuk masuk neraka. Keadaan neraka yang sesungguhnya adalah etelah anda pasti menjadi penghuninya!!”. Cerita diatas yang Penulis dengar dari salah seorang sales trainer dalam suatu workshop tersebut hanya merupakan suatu ilustrasi untuk menggambarkan bagaimana dalam selling process terkadang seorang penjual terjebak (atau terbiasa?) untuk memberikan “janji surga” kepada calon pembelinya karena didorong oleh tujuan untuk bisa segera closing dan mendapatkan nasabah baru, yang identik dengan fulus baginya dari hasil penjualan. Keberhasilan seorang penjual atau pemasar diukur dari keberhasilannya menjual, tentu kita semua sudah maklum. Pertanyaannya: apakah yang mendorong seorang salesman untuk melakukan hal diatas maupun berbagai cara lain yang serupa untuk mendapatkan tujuannya tersebut? A verbal agreement isn't worth the paper it's written on "Competition brings out the best in products and the worst in people", demikian statement yang pernah tercantum dalam salah satu situs web marketing. Mungkin itulah jawaban atas pertanyaan diatas. Persaingan yang ketat membuat para penjual melakukan hal-hal yang diutarakan diatas. Cara menjual demikian dapat menimbulkan persepsi negatif pembeli terhadap produk/jasa, bahkan terhadap brand yang diusung produk/jasa tersebut. Persepsi negatif tersebut muncul belum tentu karena kualitas produk/jasa yang buruk, namun karena pembeli merasa tidak mendapat seperti apa yang dijanjikan si penjual (unexpected promise delivery). Kegiatan marketing seharusnya bertujuan untuk membangun dan membina relationship, bukan sekedar menjual barang atau jasa. Relationship, khususnya yang berkaitan dengan jasa (service) seharusnya merupakan sesuatu yang bersifat kualitatif. Karenanya harus berhati-hati dalam melakukan kuantifikasi untuk mengukur keberhasilan suatu relationship, karena apabila tidak sesuai justru bisa menimbulkan demotivasi. Karenanya sebelum memberikan janji apalagi komitmen kepada pembeli, seorang penjual harus memahami situasi dan kondisi internal perusahaannya. Begitu juga atasan sebagai penyedia produk/jasa dalam menetapkan standar service level harus melihat dan mempertimbangkan kondisi anak buahnya di lapangan yang menjadi penjual. Selain itu, hal lain yang perlu diperhatikan sebelum membuat janji (promise delivery) adalah: 1. Timing/momentum merupakan suatu hal yang perlu diperhitungkan dalam melakukan marketing. Namun, persiapan yang kurang dapat menyebabkan terjadinya unexpected promise delivery/under service yang justru bisa menjadi bumerang bagi si penyedia service. 2. Benchmarking dengan kompetitor perlu dan sangat baik jika dapat dilakukan, tapi dalam menetapkan standar service level harus tetap realistis. Ajaran Islam dapat dijadikan acuan untuk membentuk profesionalisme dan integritas dalam melakukan marketing, sesuai dengan tuntunannya untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam. Salah satu contoh etos kerja yang diajarkan dalam Islam adalah “Bekerjalah karena Allah, bukan karena pamrih pada orang lain. Maka anda akan memiliki integritas yang tinggi yang merupakan sumber kepercayaan dan keberhasilan”. Cara bekerja demikian akan menaikkan harga diri (dignity) seseorang, karena orang tesebut akan selalu terjaga profesionalisme dan integritasnya. Selanjutnya setelah menjaga profesionalisme dan integritas, maka penting dalam bekerja bahwa kita selalu berusaha sebisa mungkin menjaga konsistensi (istiqomah). Terkadang kita tergoda untuk membuat justifikasi yang seobyektif dan serealistis mungkin menurut kita. Hal itu untuk membenarkan apa yang kita sendiri sebenarnya sadari tidak seharusnya dilakukan. Keadaan ini akan menimbulkan kebingungan bukan hanya bagi orang lain, bahkan juga bagi kita sendiri. Yang terakhir namun tidak kalah penting adalah tumbuhkan motivasi dan semangat untuk selalu bekerja keras dan cerdas serta ikhlas. Bekerja keras konotasinya menggunakan kekuatan fisik untuk mencapai target kinerja, dengan mengharapkan reward berupa materi. Bekerja cerdas lebih mengandalkan otak, dengan mengharapkan reward berupa recognition yang biasanya diikuti juga dengan materi. Bekerja ikhlas karena dorongan dari hati untuk melakukan yang terbaik, dengan mengharapkan reward berupa ridho dan berkah dari Allah. Seseorang yang menerapkan etos kerja Islam seperti yang disebutkan diatas, akan selalu berusaha menjaga keseimbangan motivasinya terhadap ketiga hal tersebut. "Kesuksesan hidup tidak ada hubungannya dengan apa yang Anda dapatkan atau raih demi diri sendiri. Kesuksesan hidup berhubungan dengan apa yang Anda lakukan pada sesama (untuk orang lain)" - Danny Thomas

Jumat, 24 Agustus 2012

MENDORONG ENGAGEMENT MELALUI INTERAKSI

"True leadership only exists if people follow when they have the freedom not to." (Jim Collins, penulis “Good To Great”). Dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan sejalan dengan visi dan misinya, setiap organisasi tentu mempunyai strategi untuk dapat mencapai tujuan tersebut sesuai rencana. Penyusunan strategi menjadi titik awal yang penting sebagai bagian dari proses pencapaian tujuan Namun, strategi yang telah disusun itu masih dalam tataran konsep yang perlu diimplementasikan lebih lanjut agar dapat memberikan hasil sesuai apa yang dicita-citakan oleh organisasi. Dalam upaya melaksanakan strategi untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut, pimpinan organisasi harus menetapkan langkah-langkah agar eksekusi strategi dapat dilaksanakan tepat sasaran secara efektif dan efisien. Salah satu faktor penting dalam eksekusi adalah keterlibatan seluruh anggota organisasi secara aktif Partisipasi aktif dan positif seluruh anggota sesuai peran dan posisi masing-masing menjadi faktor kunci dalam eksekusi strategi. Namun untuk organisasi besar dengan jumlah anggota banyak, tentu perlu upaya yang luar biasa dari pimpinan organisasi agar mayoritas (jika tidak semua) anggota buy in terhadap program-program yang dibuat untuk mengeksekusi strategi. Hal ini juga yang akan menentukan tingkat engagement para anggota, yang diwujudkan dalam bentuk partisipasi: • sekedarnya, karena mengikuti perintah pimpinan ataupun ikut-ikutan anggota organisasi yang lain; • situasional, karena didorong ekspektasi terhadap iming-iming finansial/non finansial yang dijanjikan oleh pimpinan; atau • sepenuhnya, karena didorong oleh rasa keterikatan dan tanggung jawab bersama setiap anggota yang sama besarnya dengan yang dimiliki oleh pimpinan Engagement yang dimaksudkan terakhir mungkin bisa digambarkan seperti syair lagu lawas “Injit-injit semut……....siapa sakit naik ke atas……..walau sakit jangan dilepas”. Melalui penafsiran pribadi Penulis, engagement bisa diartikan secara bebas sebagai kelekatan (stickyness). Berkaitan dengan kata “lekat”, ada 2 (dua) hal yang Penulis ambil untuk diidentikkan dengan kata tersebut namun mempunyai konotasi yang berbeda. Kedua hal tersebut adalah ketan dan magnet, dua jenis benda yang sering kita temui dan bahkan gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Ketan yang berbentuk butiran-butiran, dimana dalam satu takaran ukuran (misalnya: liter) jumlah butirannya relatif banyak. Pada dasarnya setiap butir memiliki kemampuan melekat. Keberadaan butiran-butiran ketan menjadi lebih bermakna sebagai satu kesatuan karena mampu melekat satu sama lain tanpa ada yang mendominasi, karena masing-masing merasa bangga dimanapun posisi mereka (di bawah ataupun di atas). Kelekatan yang sempurna ini melalui proses memasak dan mengaduk, dimana ketan mengalami perubahan bentuk. Karena jika masih mentah (tidak dimasak dan diaduk), maka ketan-ketan tersebut hanya berkumpul tapi tidak menyatu. Kunci dari kelekatan (engagement) yang digambarkan oleh ketan adalah trust dan keyakinan bahwa semua posisi penting. Di sisi lain, kelekatan antara dua batang magnet atau lebih karena ada salah satu batang magnet yang berusaha “mengejar” batang magnet yang lain supaya mendekat dan melekat, sementara batang magnet yang lainnya bisa jadi hanya pasif/menunggu didekati. Kedua batang magnet dapat melekat hanya apabila sisi kedua batang magnet yang bertemu tersebut memiliki kutub yang berbeda. Hal kondisional tersebut membuat kelekatan antar batang magnet tidak fleksibel, karena lebih banyak ditentukan oleh kondisi batang magnetnya sendiri yang memang sama sekali tidak mengalami perubahan bentuk. Walaupun hasil akhir dari kedua versi (ketan dan magnet) sama yaitu berguna/berfungsi setelah saling melekat, tapi proses melekat dan tingkat kelekatan antara ketan dan magnet tentu saja berbeda. Hal ini akan berpengaruh terhadap tindak lanjut dari eksekusi yang dilakukan organisasi. Karena semakin lekat atau engaged anggota organisasi, maka proses eksekusi akan semakin mudah dan berkesinambungan, bukan hanya “hangat-hangat tahi ayam”. Kunci dari keberhasilan diatas adalah trust. Dalam kehidupan, kita sering melihat kenyataan bahwa seseorang selalu mendekat pada mereka yang meningkatkan taraf hidupnya, dan menjauh dari siapapun yang malah merendahkan. Kenyataan hidup lainnya adalah bahwa kemampuan seseorang untuk mengerti tidak secara otomatis membuatnya memiliki kemampuan untuk berubah. Disinilah diperlukan kemampuan pemimpin organisasi untuk mendengarkan dan menjadi pendengar yang baik dalam rangka membangun trust anggota organisasi sehingga mau berubah. Karena cara paling mendasar dan efektif untuk berhubungan dengan orang lain adalah hanya dengan mendengarkan. Bisa jadi hal terpenting yang dapat kita berikan kepada orang lain adalah perhatian kita, dengan cara kita mau diam mendengarkan orang lain berbicara, dan bukan hanya kita yang terus berbicara, sebaik apapun kata-kata yang kita sampaikan.

Senin, 23 Juli 2012

PENTINGNYA PROSES DALAM PENCAPAIAN TUJUAN

“Should you find yourself in a chronically leaking boat, energy devoted to changing vessels is likely to be more productive than energy devoted to patching leaks” Tulisan diatas dikutip dari Warren Buffet, salah satu orang terkaya dan paling berpengaruh di dunia khususnya berkaitan dengan cara-cara menguasai perekonomian dunia dengan konsep-konsep kapitalisme global dan intervensi melalui pasar uang maupun pasar modal di negara-negara maju maupun negara berkembang. Hampir semua dari kita tentunya pernah mendengar nama tokoh tersebut yang sampai sekarang masih hidup di Amerika. Namun yang menarik dari sosok seorang Warren Buffet sendiri adalah kesederhanaannya dalam menjalani kehidupannya, bertolak belakang dengan yang dilakukannya untuk mempengaruhi dan menguasai perekonomian di dunia melalui ekspansi kapitalisme secara global. Ternyata hinggga di usia senja, Warren Buffet hidup sangat sederhana bersama isterinya tercinta, di rumah sederhana yang pertama kali mereka miliki. Warren Buffet juga masih menggunakan mobil sederhana mereka, serta kehidupannya dijalani dengan tinggal di rumah menonton acara televisi maupun kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Hal diatas bagaikan sebuah paradoks. Seseorang seperti Warren Buffet yang secara outward looking tampaknya memiliki visi untuk “menguasai” ekonomi dunia melalui penguasaan pasar dan modal (kapitalisme global) yang identik dengan hawa nafsu keserakahan dan eksploitasi tanpa batas terhadap sumberdaya-sumberdaya yang tidak mengenal belas kasihan, ternyata tidak demikian untuk kehidupan pribadinya (inward looking) dimana hawa nafsunya dapat dikendalikan sedemikian rupa sehingga merasa puas dengan menikmati fasilitas yang serba terbatas, walaupun sebenarnya memiliki kemampuan untuk melakukan lebih. Kalau kita melihat ke masa kanak-kanak, ada dua jenis permainan anak-anak yang kita kenal dengan dua pola permainan yang berbeda dan dapat menggambarkan kondisi kontradiktif diatas. Kedua permainan kompetisi tersebut adalah monopoli dan congklak. Seperti kita ketahui, permainan monopoli sesuai namanya adalah jenis permainan yang sejalan dengan karakteristik kapitalisme (zero-sum game) dimana setiap pemain di”doktrin” untuk berusaha memiliki dan mendominasi aset-aset penting dan strategis yang dapat menjadi mesin uang bagi yang memiliki, apalagi bila menguasai kompleks aset tersebut. Semakin vital suatu aset dalam menguasai hajat hidup orang banyak (seperti perusahaan listrik, air, dan transportasi), maupun aset dengan nilai yang semakin tinggi karena lokasinya yang strategis sehingga apabila lawan mau tidak mau harus “tinggal” di sana maka akan dibebani dengan sewa yang sangat mahal. Seorang pemain dinyatakan menang apabila lawannya bangkrut Sebaliknya, permainan tradisional yang kita kenal dengan nama congklak justru menggambarkan bagaimana seseorang bisa menang tanpa harus menghancurkan lawan, yaitu dengan mendapatkan biji congklak lebih banyak namun tetap “menyisakan” biji congklak yang sudah dijkuasai lawannya sehingga lawannya tidak harus kalah dalam keadaan bangkrut. Hal ini sangat menggambarkan situasi yang “win-win”, bertolak belakang dengan situasi “win-lose “ atau “zero sume game”. Permainan congklak menuntut pemainnya untuk memiliki strategi yang fokus dan mengacu pada visi yang jelas. Bagaimana setiap pemain harus tetap mengisi “kantong-kantong” di wilayah lawan sebagai bagian dari strategi untuk memenangkan kompetisi. Hal tersebut mengajarkan kepada pemain agar tidak hanya berpikir untuk meraup keuntungan jangka pendek saja dengan menimbun “kantong-kantong” yang ada di wilayahnya karena setiap kantong yang ada di wilayahnya belum mutlak menjadi miliknya. Kesalahan strategi dan perhitungan justru bisa memberikan kesempatan bagi lawan untuk menguasai dan memiliki seluruh isi kantong di wilayah kita yang “gemuk” karena kita selalu menimbun. Visi: Process or Result Oriented? Menurut pandangan penulis, process oriented bukanlah berarti seseorang melakukan suatu strategi tanpa tujuan, namun justru diiringi oleh tujuan-tujuan antara yang selalu mendampingi selama proses dan sifatnya hakiki karena didasarkan nilai-nilai keilahian seperti jujur, sabar dan konsisten. Sedangkan result oriented menetapkan/memastikan sejak awal tujuan akhir yang akan dan harus dicapai dengan cara pembenaran apapun untuk dapat mencapainya. Walaupun tampak sejalan, namun karena tujuan yang ingin dicapai oleh mereka yang process oriented lebih bersifat kualitatif, maka seringkali hal tersebut tidak bisa diterima oleh mereka yang result oriented karena segala sesuatunya harus bisa dihitung alias kuantitatif (atau bahkan dikapitalisasi). Kapitalisme bagaikan bola salju yang digelindingkan dari atas bukit dan diharuskan mencapai kaki bukit dengan skala tertentu yang lebih besar dan biasanya dengan waktu yang ditentukan pula. Karena tujuan akhir yang sudah ditentukan dan bahkan diperhitungkan, maka dianggap harus selalu ada cara untuk dapat mencapai tujuan tersebut dan tidak boleh ada excuse. Perumpamaan bola salju diatas, maka medan yang dihadapi selalu dianggap ”menurun” karena tempat tujuan akhir yang berada di bawah sehingga harus lancar dan mudah mencapainya. Setiap halangan yang ada membuat bolah ”memecah diri” atau jika sudah cukup besar akan menghantam halangan tersebut asal bisa sampai di bawah. Sesampainya di bawah yang berakhir di jurang, dari target hanya satu bola besar menjadi lebih banyak bola besar sehingga yang menjadi tujuan akhir tersebut justru tidak sanggup menampung begitu banyaknya bola yang tidak terduga. Lama-kelamaan tidak tertahan dan kaki bukitpun longsor. Sungguh sebuah tragedi! Kita mungkin bisa bersatu saat berjuang menghadapi masalah. Namun, ujian terbesar justru datang saat kemenangan. Karena saat itulah nafsu serakah akan datang menggoda kita