Assalammu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Welcome to Blog ADAM DIANSUNI IDIIL (ADID) MUTHALIB

Jumat, 28 Maret 2014

DIKHOTOMI OTONOMI DAN INDEPENDENSI

"Don't confuse a clear vision with a short distance." (Paul Saffo, Institute for the Future) Isu seputar otonomi daerah tidak pernah surut sejak pertama kali dicetuskan sebagai tindak lanjut reformasi, dan kemudian diimplementasikan. Mulai dari isu terkait dengan batas kewenangan, kriteria, pembagian hasil, sampai isu-isu yang intinya membicarakan pembagian “kue” kekuasaan yang menjadi terpecah-pecah (decentralized) sebagai konsekuensi dari otonomi daerah yang dijalankan di negara kita. Bahkan lebih jauh lagi, pemberlakukan otonomi daerah akhirnya mendorong pemecahan/pemekaran wilayah-wilayah dengan pertimbangan dan asumsi bahwa pengelolaan sumberdaya alam akan lebih lebih merata dan lebih fokus untuk kepentingan masyarakat di masing-masing wilayah. Pertimbangan awal otonomi daerah diberlakukan pasca reformasi adalah karena desakan untuk mendistribusikan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah, dengan tujuan agar dapat mempercepat proses pembuatan keputusan. Masing-masing pemerintah daerah (PEMDA) memfokuskan pada bagaimana cara meningkatkan nilai tambah/nilai jual daerahnya dengan memanfaatkan potensi sumberdaya yang ada di daereahnya secara maksimal. Dampaknya adalah eksklusivitas PEMDA-PEMDA tertentu yang memiliki keunggulan komparatif maupun kompetitif karena potensi sumberdaya kelolaan daerahnya. Eksklusivitas tersebut mendorong arogansi dan keinginan mendapatkan hak swakelola/share yang lebih besar, karena daerah-daerah tersebut merasa independen dan karenanya tidak membutuhkan bantuan pemerintah pusat maupun daerah lain. Otonomi daerah juga mengakibatkan banyak aturan-aturan negara yang tadinya diberlakukan secara nasional di seluruh daerah jadi “tidak punya gigi” lagi karena “dikalahkan” oleh kepentingan masing-masing daerah. Dampak otonomi daerah diperburuk lagi dengan adanya kepentingan individu-individu yang menjadi “elite” di pemerintahan daerah, dimana setiap penguasa daerah biasanya memiliki kepentingan masing-masing sebagai “raja lokal” sehingga terjadilah konflik kepentingan. Ekskalasi konflik-konflik kepentingan di daerah akhirnya mencuat di tingkat nasional, yang dampaknya lama-kelamaan memperlebar kesenjangan antara kepentingan nasional negara dan kepentingan daerah. Apabila kita melihat implementasi kebijakan Strategic Business Unit (SBU) di perusahaan, menurut hemat penulis dalam beberapa hal dapat dipersamakan dengan otonomi daerah. Tujuan yang ingin dicapai oleh top management dengan diberlakukannya SBU adalah agar setiap unit bisnis dapat lebih fokus dan detail dalam menggarap sektor/segmen bisnis yang telah ditetapkan oleh manajemen sebagai targetnya. Namun kondisi yang dapat timbul sebagai dampaknya adalah kecenderungan masing-masing unit bisnis hanya berusaha agar target bisnis unit kerjanya dapat tercapai, sehingga segala upaya dilakukan untuk membuat kinerja unit bisnisnya tampak hebat agar dikenal. Untuk memastikan implementasi SBU berjalan sesuai keinginan manajemen, diperlukan komitmen dan ketegasan dari unit kerja yang yang menjalankan fungsi mediasi agar konflik kepentingan antar unit bisnis dapat diminimalisir sehingga keberadaan SBU sebagai unit yang terintegrasi dapat meningkatkan daya saing organisasi di pasar. Keberadaan unit bisnis “moderator” sekaligus menjadi internal strategic partner bagi semua unit bisnis dalam mendapatkan kejelasan arahan strategi manajemen secara makro. Karena implementasi SBU yang tidak dilakukan secara sekaligus/komprehensif biasanya berdampak pada kurang jelasnya arahan yang didapatkan oleh unit bisnis, sementara di sisi lain unit bisnis selalu dituntut untuk dapat mencapai target. Kondisi seperti ini akan mendorong pimpinan setiap unit bisnis untuk selalu memikirkan strategi yang lebih sempit/mikro untuk keberhasilan unit bisnis yang dipimpinnya, terkadang tanpa memikirkan dampaknya secara luas ke organisasi. Seringkali keputusan manajemen untuk menerapkan satu kebijakan disusul dengan arahan untuk segera mengimplementasikannya, terkadang disertai dengan target waktu yang ditentukan oleh manajemen berdasarkan pertimbangan prestise perusahaan di pasar. Keputusan seperti ini seringkali mengharuskan untuk menetapkan dulu target waktu implementasi sesuai keinginan manajemen, baru kemudian menetapkan aturan/ketentuan sambil berjalan (learning by doing). Hal positif dari gaya implementasi seperti diatas adalah target waktu menjadi terukur dan relatif pasti (measurable & framed), sehingga sangat sesuai dan mendukung keinginan pembuat keputusan. Namun di sisi lain, ada beberapa kutipan pendapat yang patut dipertimbangkan terkait gaya implementasi seperti diatas, yaitu: • "If you fail to plan, you are planning to fail." - unknown : perencanaan yang baik dapat menjadi kunci kesuksesan. • “It’s easier to act your way into a new way of thinking than to think your way into a new way of acting.” - Monique Sternin : lebih mudah menuangkan pemikiran sebagai suatu konsep daripada mengimpelementasikannya. • “Any man who can drive safely while kissing a pretty girl is simply not giving the kiss the attention it deserves.” - Albert Einstein : suatu pemikiran/perbuatan yang baik seharusnya dilakukan dengan kesungguhan. • "Competition brings out the best in products and the worst in people." - David Sarnoff : Persaingan dapat menimbulkan jarak antara mereka yang bersaing. • "When a ship sinks, does it matter whether the water came in through a small hole or a large one?" - St. Augustine : Ketidakselarasan dan tidak adanya kerjasama internal yang baik akan berpotensi melemahkan organisasi. Jadi kembali ke dikhotomi antara otonomi dan independensi, pertanyaan yang harus dijawab oleh semua pihak adalah apakah kekuasaan dan kewenangan dapat dijadikan pembenaran untuk memaksakan implementasi keputusan sesuai keinginannya, dengan cara dikemas sebagai suatu kebijakan dengan pertimbangan untuk mendapatkan prestise?

Selasa, 18 Maret 2014

WISATA BLUSUKAN

"If there is any great secret of success in life, it lies in the ability to put yourself in the other's place and to see things from his point of view - as well as your own." (Henry Ford) Setiap kali menghadapi musim liburan, percakapan yang seringkali kita dengar adalah kemana atau bagaimana masing-masing akan memanfaatkan waktu libur tersebut. Biasanya yang diperbincangkan adalah kemana mereka akan pergi berwisata, disesuaikan dengan waktu libur dan anggaran yang tersedia. Berbarengan dengan ramainya persiapan liburan tersebut, biasanya iklan-iklan yang dipasang oleh agen-agen perjalanan juga mulai banyak bermunculan di berbagai media, mulai dari media cektak seperti koran dan majalah hingga media elektronik seperti TV hingga internet dan SMS. Semuanya berlomba-lomba menawarkan paket wisata ke berbagai tujuan baik dalam negeri dan luar negeri, dan masing-masing mengklaim telah berpengalaman dan menawarkan paket wisata yang katanya termurah dan terlengkap, sehingga dijamin tidak akan mengecewakan. Selanjutnya kita dihadapkan pada pilihan apakah akan mengatur sendiri rencana perjalanan wisata tanpa bantuan jasa agen perjalanan, atau pergi dengan menggunakan paket wisata yang ditawarkan agen perjalanan. Pastinya mengatur sendiri rencana bepergian kita akan berbeda dengan bepergian yang diatur oleh agen perjalanan, terutama dari segi pengaturan waktu dan biaya. Tentunya sebelum memutuskan kita perlu memastikan pertimbangan dan kondisi apa yang mendasari kita membuat keputusan. Ada pengalaman yang mungkin dapat menjadi ilustrasi sekaligus inspirasi, yaitu terkait pengalaman penulis dalam mengurus sertifikat tanah di kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) beberapa tahun lalu. Kita sudah sama-sama tahu bahwa citra birokrasi kantor pemerintah di Indonesia yang kurang berjiwa melayani (red tape). Sudah terlalu banyak informasi yang beredar tentang betapa repotnya mengurus sendiri sertifikat tanah di BPN. Informasi negatif yang beredar seperti ini diperparah dengan ketidakpahaman masyarakat sebagai konsumen tentang prosedur, atau ketidakmauan dan ketidaksabaran mereka untuk mempelajari dan menjalankan prosedur pengurusan yang berlaku di BPN. Akibat budaya “serba ingin cepat, tidak mau pusing dan repot” yang cenderung sudah membudaya, akhirnya membuat mereka memilih untuk mengurus sertifikat tanahnya di BPN melalui pihak ketiga atau calo, karena dalam bayangan mereka mengurus sendiri sertifikat tanahnya hingga selesai adalah sesuatu yang mustahil dan tidak memberi nilai tambah. Yang menarik adalah ungkapan yang dikutip dari Walter Bagehot: “The greatest pleasure in life is doing what other people say you cannot do." Dalam diri manusia pada dasarnya terdapat sisi dimana ada keinginan untuk membuktikan kemampuan diri yang menurut orang lain sulit atau bahkan mustahil untuk bisa dilakukan. Hanya saja agar pembuktian tersebut berhasil, yang terpenting adalah bagaimana kita memahami apa yang akan dilakukan serta memitigasi resikonya dengan kesadaran bahwa "Risk comes from not knowing what you're doing." Untuk itu dalam merencanakan perjalanan wisata, perlu perencanaan yang matang karena "If you fail to plan, you are planning to fail." (Warren Buffet). Tujuan utama berwisata seharusnya bukan sekedar berlomba mendapatkan pengakuan atas berapa banyak tujuan yang telah didatangi. Tapi lebih dari itu, seharusnya berwisata juga dalam rangka menambah ilmu dan pengalaman. Ibarat sebuah pelatihan, seharusnya berwisata merupakan proses on the job training (OJT) dimana si pelancong mendapat kesempatan untuk meng-exercise apa yang sudah direncanakan di pikirannya, dan bukan sekedar melaksanakan jadwal yang sudah ditentukan oleh agen perjalanannya. Berlibur seharusnya tidak hanya sekedar melakukan ‘tandem’, digiring oleh agen perjalanan menuju ke tempat-tempat wisata yang sudah menjadi icon/landmark di tempat yang didatangi, biasanya ke tempat-tempat wisata yang sejenis seperti Dufan, Disneyland maupun Universal Studio. Untuk mencapai tempat-tempat wisata tersebut biasanya agen perjalanan menggunakan bisa wisata (charter coach). Padahal berwisata bisa lebih berarti apabila diusahakan agar kita juga melakukan ‘blusukan’, berbaur dalam ritme kehidupan sehari-hari masyarakat setempat dengan menaiki kendaraan umum, karena yang berbeda di setiap tempat justru kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Berwisata juga merupakan bagian dari dan tidak diharamkan dalam perencanaan keuangan (financial planning/FP). Memang berwisata bukan salah satu cara dalam melakukan FP karena termasuk spending, tetapi berwisata bisa menjadi salah satu program/tujuan pelaksanaan FP. Namun sebagai tujuan FP, salah satu cara yang harus dilakukan agar tujuan berwisata tercapai adalah dengan mempersiapkan sebaik-baiknya rencana berwisata, termasuk melakukan hedging. Hedging dalam berwisata antara lain dapat dilakukan dengan membuat perencanaan wisata jauh hari sebelumnya. Dengan demikian seakan-akan melakukan transaksi forward, kita bisa membeli tiket dan memesan hotel dalam rangka mengantisipasi harga dan/atau kurs yang berubah/naik (jika kita memprediksi akan naik, sesuai view). Yang terpenting adalah kemauan kita untuk mengumpulkan data dan informasi pendukung yang terkini dan terpercaya serta keberanian kita untuk mencoba dan berimprovisasi dalam membuat perencanaan wisata, sehingga dapat mengeliminir, minimal meminimalisir, timbulnya kebingungan ataupun kepanikan pada waktu kita berwisata. Dengan demikian, kejadian-kejadian unik yang kita alami selama berwisata akan menjadi kenangan indah dan memberikan pengalaman berharga yang tidak ternilai. "Experience is simply the name we give to our mistakes." (Oscar Wilde)

Jumat, 14 Maret 2014

PEMIMPIN SEJATI

“Sometimes when I’m angry I have the right to be angry, but that doesn’t give me the right to be cruel” Adalah lumrah dan sudah kita ketahui bersama bahwa Allah SWT melengkapi kehidupan di bumi dengan berbagai guncangan sebagai variasi, baik itu guncangan-guncangan kecil maupun guncangan-guncangan yang lebih besar dirasakan manusia seperti gempa dahsyat maupun gunung meletus. Guncangan-guncangan seperti itu akan tetap dirasakan oleh manusia di bumi dan terus terjadi hingga pada akhir masa ketika Allah memberikan guncangan maha dahsyat di hari kiamat yang menjadi akhir dari kehidupan seluruh mahluk di alam dunia. Dalam kehidupan sehari-hari, setiap individu dihadapkan dengan berbagai peran di komunitas atau kelompok di masyarakat yang berbeda-beda pula. Terkadang keberadaan kita sebagai anggota di satu kelompok, namun di kelompok lain bisa jadi kita dihadapkan dengan peran sebagai pemimpin, baik sebagai pemimpin formal (achieved status) maupun informal (ascribed status). Dalam kedua status kepemimpinan tersebut, kita ditantang untuk bisa menunjukkan leadership kita. Dalam hal kedudukan sebagai pemimpin formal, kita perlu mendapatkan dukungan bukan hanya dari atasan tapi juga dari bawahan, yang akan memberikan kita legalitas dalam melakukan tindakan agar semua pihak dapat menerima (buy-in). Dalam kehidupan suatu komunitas/kelompok atau organisasi, tentunya tidak akan terlepas juga dari berbagai gejolak yang harus dihadapi oleh komunitas atau organisasi tersebut. Disinilah peran seorang pemimpin sejati yang harus mampu meredam dampak guncangan-guncangan tersebut sehingga tidak perlu dirasakan oleh seluruh orang yang dipimpinnya. Pemimpin ibarat shockbreaker absorber di kendaraan yang berfungsi meredam “gejolak-gejolak” yang berasal dari luar organisasi yang dipimpinnya agar bagian-bagian lain dari organisasi tersebut dapat merasakan kestabilan, dan berfungsi serta menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Mari kita lihat bagaimana shockbreaker absorber bekerja dalam kendaraan. Berbeda dari bagian-bagian lain dari kendaraan, misalnya rem atau gas yang berfungsi jika diinjak oleh pengemudi (responsive), atau bahkan setir maupun bagian lain seperti lampu dan wiper yang menunggu instruksi dari yang mengemudikan kendaraan, maka shockbreaker absorber dalam menjalankan fungsinya memiliki fleksibilitas dan mendapat kewenangan yang relatif independen dalam menjalankan fungsinya, yaitu menjaga harmonisasi dengan cara menyesuaikan guncangan yang terjadi dari luar sehingga fungsi-fungsi lain yang ada di kendaraan dapat berfungsi optimal. Tidak pernah terjadi shockbreaker absorber menyalahkan fungsi lain, misalnya rem yang tidak segera berfungsi ketika ada lubang di jalan karena kondisi yang berasal dari luar memang unpredictable. Keberadaan shockbreaker absorber yang posisinya tersembunyi/terlindung seakan-akan membuatnya tidak terlihat mencolok. Begitupun pemimpin yang terkadang terkesan berlindung di balik fasilitas-fasilitas serta privileges yang diberikan kepadanya. Seorang pemimpin seharusnya tidak boleh terlena oleh fasilitas-fasilitas dan privileges yang dimilikinya, dan harus mau keluar dari ‘comfort zone’ tersebut, tidak takut menghadapi guncangan seperti apapun dan siap berkorban demi harmonisasi kerja fungsi-fungsi yang ada di bawah koordinasinya, seperti halnya shockbreaker absorber sehingga kendaraan dapat berjalan dengan baik dan selamat sampai tujuan. Di sisi lain, shockbreaker absorber yang berada di tempat yang tidak mudah dilihat, tidak pernah memaksakan agar dirinya terlihat ketika sedang berfungsi agar kelihatan penting dan dikenal. Begitu juga seorang pemimpin sejati tidak perlu hanya dikenali sosoknya, tapi yang terpenting justru dikenali karakternya. Pemimpin sejati seharusnya bukan dikenal sekedar dari bagaimana penampilan dirinya, tapi yang lebih utama adalah bagaimana dia menjalankan peran terbaiknya sehingga orang-orang yang dipimpinnya dapat bersinergi secara harmonis dan produktif. Dalam kehidupan organisasi, seringkali kita temui kenyataan bahwa orang yang dikenal ternyata memiliki peluang lebih besar mendapatkan promosi untuk menjadi pemimpin dibanding mereka yang tidak terlalu dikenal. Slogan “untuk bisa dipromosikan, seseorang tidak cukup hanya pintar, tapi yang lebih penting adalah dikenal” dalam hal ini mungkin ada benarnya. Tapi rasanya akan lebih baik lagi apabila seseorang dipromosikan bukan karena dirinya sering muncul dan dikenal wajahnya oleh orang-orang yang berwenang untuk mempromosikannya, namun juga dikenal karena kepintarannya (smartness). Seseorang pemimpin sejati seharusnya senantiasa menawarkan nilai tambah (added value), dan bukan sekedar menjadi penyegaran (refreshment) bagi organisasi, dengan cara mendorong orang yang dipimpinnya untuk berpikir kreatif. Diibaratkan seorang marketing kendaraan bermotor yang tidak hanya menawarkan konsumennya untuk mengganti kendaraan miliknya dengan keluaran terbaru tapi dengan jenis kendaraan yang sama (misalnya Panther lama diganti dengan Panther terbaru), tapi harusnya yang ditawarkan adalah kendaraan yang memberi nilai dan pengalaman lebih dibandingkan kendaraan yang dimiliki konsumen sebelumnya (misalnya Panther diganti dengan Alphard atau bahkan Hummer). Seorang pemimpin sejati dalam mengelola organisasi, termasuk orang-orang yang dipimpinnya, seharusnya memiliki sense or ownership dan tidak merasa hanya perpanjangan tangan dari atasannya, karena jika tidak demikian maka pemimpin tersebut tidak akan menjadi ”shockbreaker absorber” bagi orang yang dipimpinnya, sebaliknya yang muncul adalah sikap mementingkan keselamatan sendiri. Ilustrasi yang mungkin dapat menggambarkan sikap kontradiktif seperti ini adalah jika kita melihat perbedaan antara rak alas kaki di mesjid/musholla yang menyediakan alas kaki/sendal pengganti dengan tempat yang tidak. Di tempat yang tidak menyediakan biasanya relatif bisa lebih rapih selalu, sementara di mesjid yang menyediakan justru hampir tidak pernah begitu. Kenapa? Karena di mesjid yang menyediakan alas kaki pengganti, rak digunakan juga untuk meletakkan kembali alas kaki pengganti milik bersama sehabis kita berwudhu. Sementara di mesjid yang tidak, rak hanya digunakan untuk menyimpan alas kaki milik kita sewaktu kita menunaikan sholat, dan biasanya kita cenderung hati-hati menjaga milik kita. Akhirnya, sesuai tuntunan agama seorang pemimpin sejati haruslah seorang yang amanah dan istiqomah dalam melaksanakan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya dan bukan hanya melihat kenikmatan dan kenyamanan yang diperoleh dari kedudukannya tersebut, karena dirinya selalu ingat akan konsekuensi kedudukannya yang harus dipertanggungjawabkan kelak. Pemimpin seperti ini akan menjadi panutan, dan bukan menjadi momok, bagi orang-orang yang dipimpinnya, dan insya Allah menimbulkan perasaan segan dan respek dari orang-orang lain di sekitarnya, termasuk atasan yang juga amanah. "True leadership only exists if people follow when they have the freedom not to." -- Jim Collins, author of Good To Great

Jumat, 07 Maret 2014

HIDUP ADALAH PILIHAN

”Try not to become a man of success, but rather a man of value.” (Albert Einstein) Akhir-akhir ini sering kita mendengar informasi maupun menerima berita duka, baik tentang orang-orang dekat yang kita kenal maupun tokoh yang tidak kita kenal langsung, yang meninggal di usia relatif masih muda yaitu sekitar 40 tahun. Padahal seperti ungkapan yang sering kita dengar bahwa seharusnya ”Life begins at 40”. Di sisi lain berdasarkan informasi dari The US CIA World Factbook (Nopember 2012), bahwa harapan hidup rata-rata manusia di berbagai negara lain justru semakin bertambah. Misalnya harapan hidup orang Cina hingga usia 75 tahun, orang India hingga 67 tahun, orang Jepang hingga 84 tahun, orang Inggris hingga 80 tahun, dan orang Srilanka hingga 76 tahun. Pertanyaannya: Apakah umur panjang tersebut menjadi indikator utama kebahagiaan hidup seseorang? Apakah seseorang yang meninggal dalam usia relatif muda bisa diartikan bahwa seseorang tersebut tidak bahagia dalam hidupnya? Haruskah seseorang berumur panjang agar bisa menjadi orang yang bahagia dalam hidupnya? Pada dasarnya setiap individu di dunia, apapun dan siapapun dia, sudah menjadi pemenang begitu dia lahir ke dunia karena terpilihnya dia untuk lahir dan hadir di dunia ini sendiri sudah merupakan suatu kompetisi yang berhasil dimenangkannya. Namun sebagai konsekuensi dalam menjalani kehidupan selanjutnya, setiap individu idealnya harus melalui berbagai tahapan/fase sejalan dengan bertambahnya umur dan berjalannya masa-masa dalam kehidupannya. Berdasarkan pengalaman dan kehidupan yang telah dijalani, Penulis memberanikan diri untuk mencoba membuat pembagian masa kehidupan seseorang menjadi 4 fase: Fase 1 (FEEDING) Umur 0 s/d 15 tahun (Bayi hingga SMP); Fase 2 (PROPOSITIONING) Umur 16 s/d 22 tahun (SMA hingga Kuliah); Fase 3 (VALUE CREATING/POSITIONING) Usia 23 s/d 40 tahun; dan Fase 4 (BALANCING/SMOOTHING) Umur 41 tahun s/d RIP. Untuk mempermudah Pembaca dalam memahami apa yang Penulis sampaikan dalam tulisan ini, berikut ilustrasi yang dapat menggambarkan/menjelaskan masing-masing fase diatas: Sekarang sudah lazim orangtua memperkenalkan gadget kepada anak-anaknya, bahkan pada usia sangat dini/balita. Seseorang pada Fase 1 (Feeding) sudah dibiasakan (socialized) mengenal gadget, sehingga muncul rasa ingin tahu (HOW). Maka, pada Fase 2 (Propositioning) dia akan terus membiasakan diri (internalized) dengan gadget, bahkan melihat gadget sebagai ”sesuatu” yang tidak terpisahkan dari hidupnya (WHAT). Namun pada Fase 3 (Value Creating/Positioning), yang bersangkutan akan lebih kritis dengan melakukan penilaian (personal judgement) apakah penggunaan gadget tersebut akan memberi benefit bagi dirinya, sehingga yang bersangkutanpun akan menentukan seberapa tingkat kebutuhan gadget disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhannya (WHY). Sikap dan kebiasaan yang terbentuk di Fase 3 tersebut akan berlanjut di Fase terakhir. Berbeda dengan fase sebelumnya, dalam fase terakhir (Balancing/Smoothing) individu diibaratkan melihat bagaimana gadget yang dimilikinya akan memberikan benefit bagi dirinya. Dalam fase kehidupan ini, akan lazim terjadi interupsi seperi layaknya”arus pendek/korsluiting”, yang akan menimbulkan ”kejutan-kejutan” dalam perjalanan hidupnya. Tapi layaknya menghadapi korsluiting listrik yang menyebabkan lampu padam, secara naluriah setiap individu pasti ingin kembali ke kondisi semula (lampu kembali menyala), dan karenanya akan berusaha agar kondisi kembali ”normal”. Interaksi terhadap berbagai interupsi yang dialami akan membuat individu tersebut terbiasa dan terlatih dalam mengantisipasi dan meredam ”kejutan-kejutan”. Hal ini menjadikan individu tersebut semakin matang (mature) sehingga secara naluriah mampu menentukan sikap dan membuat keputusan sesuai apa yang dihadapinya (WHO, WHEN, WHERE). Kehidupan ibarat permainan Tetris atau ibarat naik lift. Jika awalnya orang cenderung untuk memaksakan diri agar bisa naik lift senyaman mungkin tanpa mempedulikan keadaan sekitar, maka perjalanan waktu akan merubah sikap tersebut menjadi keinginan untuk berusaha agar lift bisa optimal, sehingga orang yang sudah berada dalam lift berusaha untuk memberikan ruang kepada orang lain yang akan masuk sesuai kapasitas muatan lift. Begitulah idealnya kehidupan berjalan, dimana pada akhirnya setiap orang seharusnya berusaha mencari keseimbangan untuk mendapatkan nilai-nilai hakiki sebagai bekal menjalani kesempurnaan hidup yang sesungguhnya, insya Allah. ”It’s not the sky that limits you, it’s your own vision does instead”