Assalammu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Welcome to Blog ADAM DIANSUNI IDIIL (ADID) MUTHALIB

Jumat, 14 Maret 2014

PEMIMPIN SEJATI

“Sometimes when I’m angry I have the right to be angry, but that doesn’t give me the right to be cruel” Adalah lumrah dan sudah kita ketahui bersama bahwa Allah SWT melengkapi kehidupan di bumi dengan berbagai guncangan sebagai variasi, baik itu guncangan-guncangan kecil maupun guncangan-guncangan yang lebih besar dirasakan manusia seperti gempa dahsyat maupun gunung meletus. Guncangan-guncangan seperti itu akan tetap dirasakan oleh manusia di bumi dan terus terjadi hingga pada akhir masa ketika Allah memberikan guncangan maha dahsyat di hari kiamat yang menjadi akhir dari kehidupan seluruh mahluk di alam dunia. Dalam kehidupan sehari-hari, setiap individu dihadapkan dengan berbagai peran di komunitas atau kelompok di masyarakat yang berbeda-beda pula. Terkadang keberadaan kita sebagai anggota di satu kelompok, namun di kelompok lain bisa jadi kita dihadapkan dengan peran sebagai pemimpin, baik sebagai pemimpin formal (achieved status) maupun informal (ascribed status). Dalam kedua status kepemimpinan tersebut, kita ditantang untuk bisa menunjukkan leadership kita. Dalam hal kedudukan sebagai pemimpin formal, kita perlu mendapatkan dukungan bukan hanya dari atasan tapi juga dari bawahan, yang akan memberikan kita legalitas dalam melakukan tindakan agar semua pihak dapat menerima (buy-in). Dalam kehidupan suatu komunitas/kelompok atau organisasi, tentunya tidak akan terlepas juga dari berbagai gejolak yang harus dihadapi oleh komunitas atau organisasi tersebut. Disinilah peran seorang pemimpin sejati yang harus mampu meredam dampak guncangan-guncangan tersebut sehingga tidak perlu dirasakan oleh seluruh orang yang dipimpinnya. Pemimpin ibarat shockbreaker absorber di kendaraan yang berfungsi meredam “gejolak-gejolak” yang berasal dari luar organisasi yang dipimpinnya agar bagian-bagian lain dari organisasi tersebut dapat merasakan kestabilan, dan berfungsi serta menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Mari kita lihat bagaimana shockbreaker absorber bekerja dalam kendaraan. Berbeda dari bagian-bagian lain dari kendaraan, misalnya rem atau gas yang berfungsi jika diinjak oleh pengemudi (responsive), atau bahkan setir maupun bagian lain seperti lampu dan wiper yang menunggu instruksi dari yang mengemudikan kendaraan, maka shockbreaker absorber dalam menjalankan fungsinya memiliki fleksibilitas dan mendapat kewenangan yang relatif independen dalam menjalankan fungsinya, yaitu menjaga harmonisasi dengan cara menyesuaikan guncangan yang terjadi dari luar sehingga fungsi-fungsi lain yang ada di kendaraan dapat berfungsi optimal. Tidak pernah terjadi shockbreaker absorber menyalahkan fungsi lain, misalnya rem yang tidak segera berfungsi ketika ada lubang di jalan karena kondisi yang berasal dari luar memang unpredictable. Keberadaan shockbreaker absorber yang posisinya tersembunyi/terlindung seakan-akan membuatnya tidak terlihat mencolok. Begitupun pemimpin yang terkadang terkesan berlindung di balik fasilitas-fasilitas serta privileges yang diberikan kepadanya. Seorang pemimpin seharusnya tidak boleh terlena oleh fasilitas-fasilitas dan privileges yang dimilikinya, dan harus mau keluar dari ‘comfort zone’ tersebut, tidak takut menghadapi guncangan seperti apapun dan siap berkorban demi harmonisasi kerja fungsi-fungsi yang ada di bawah koordinasinya, seperti halnya shockbreaker absorber sehingga kendaraan dapat berjalan dengan baik dan selamat sampai tujuan. Di sisi lain, shockbreaker absorber yang berada di tempat yang tidak mudah dilihat, tidak pernah memaksakan agar dirinya terlihat ketika sedang berfungsi agar kelihatan penting dan dikenal. Begitu juga seorang pemimpin sejati tidak perlu hanya dikenali sosoknya, tapi yang terpenting justru dikenali karakternya. Pemimpin sejati seharusnya bukan dikenal sekedar dari bagaimana penampilan dirinya, tapi yang lebih utama adalah bagaimana dia menjalankan peran terbaiknya sehingga orang-orang yang dipimpinnya dapat bersinergi secara harmonis dan produktif. Dalam kehidupan organisasi, seringkali kita temui kenyataan bahwa orang yang dikenal ternyata memiliki peluang lebih besar mendapatkan promosi untuk menjadi pemimpin dibanding mereka yang tidak terlalu dikenal. Slogan “untuk bisa dipromosikan, seseorang tidak cukup hanya pintar, tapi yang lebih penting adalah dikenal” dalam hal ini mungkin ada benarnya. Tapi rasanya akan lebih baik lagi apabila seseorang dipromosikan bukan karena dirinya sering muncul dan dikenal wajahnya oleh orang-orang yang berwenang untuk mempromosikannya, namun juga dikenal karena kepintarannya (smartness). Seseorang pemimpin sejati seharusnya senantiasa menawarkan nilai tambah (added value), dan bukan sekedar menjadi penyegaran (refreshment) bagi organisasi, dengan cara mendorong orang yang dipimpinnya untuk berpikir kreatif. Diibaratkan seorang marketing kendaraan bermotor yang tidak hanya menawarkan konsumennya untuk mengganti kendaraan miliknya dengan keluaran terbaru tapi dengan jenis kendaraan yang sama (misalnya Panther lama diganti dengan Panther terbaru), tapi harusnya yang ditawarkan adalah kendaraan yang memberi nilai dan pengalaman lebih dibandingkan kendaraan yang dimiliki konsumen sebelumnya (misalnya Panther diganti dengan Alphard atau bahkan Hummer). Seorang pemimpin sejati dalam mengelola organisasi, termasuk orang-orang yang dipimpinnya, seharusnya memiliki sense or ownership dan tidak merasa hanya perpanjangan tangan dari atasannya, karena jika tidak demikian maka pemimpin tersebut tidak akan menjadi ”shockbreaker absorber” bagi orang yang dipimpinnya, sebaliknya yang muncul adalah sikap mementingkan keselamatan sendiri. Ilustrasi yang mungkin dapat menggambarkan sikap kontradiktif seperti ini adalah jika kita melihat perbedaan antara rak alas kaki di mesjid/musholla yang menyediakan alas kaki/sendal pengganti dengan tempat yang tidak. Di tempat yang tidak menyediakan biasanya relatif bisa lebih rapih selalu, sementara di mesjid yang menyediakan justru hampir tidak pernah begitu. Kenapa? Karena di mesjid yang menyediakan alas kaki pengganti, rak digunakan juga untuk meletakkan kembali alas kaki pengganti milik bersama sehabis kita berwudhu. Sementara di mesjid yang tidak, rak hanya digunakan untuk menyimpan alas kaki milik kita sewaktu kita menunaikan sholat, dan biasanya kita cenderung hati-hati menjaga milik kita. Akhirnya, sesuai tuntunan agama seorang pemimpin sejati haruslah seorang yang amanah dan istiqomah dalam melaksanakan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya dan bukan hanya melihat kenikmatan dan kenyamanan yang diperoleh dari kedudukannya tersebut, karena dirinya selalu ingat akan konsekuensi kedudukannya yang harus dipertanggungjawabkan kelak. Pemimpin seperti ini akan menjadi panutan, dan bukan menjadi momok, bagi orang-orang yang dipimpinnya, dan insya Allah menimbulkan perasaan segan dan respek dari orang-orang lain di sekitarnya, termasuk atasan yang juga amanah. "True leadership only exists if people follow when they have the freedom not to." -- Jim Collins, author of Good To Great