Assalammu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Welcome to Blog ADAM DIANSUNI IDIIL (ADID) MUTHALIB

Jumat, 07 Maret 2014

HIDUP ADALAH PILIHAN

”Try not to become a man of success, but rather a man of value.” (Albert Einstein) Akhir-akhir ini sering kita mendengar informasi maupun menerima berita duka, baik tentang orang-orang dekat yang kita kenal maupun tokoh yang tidak kita kenal langsung, yang meninggal di usia relatif masih muda yaitu sekitar 40 tahun. Padahal seperti ungkapan yang sering kita dengar bahwa seharusnya ”Life begins at 40”. Di sisi lain berdasarkan informasi dari The US CIA World Factbook (Nopember 2012), bahwa harapan hidup rata-rata manusia di berbagai negara lain justru semakin bertambah. Misalnya harapan hidup orang Cina hingga usia 75 tahun, orang India hingga 67 tahun, orang Jepang hingga 84 tahun, orang Inggris hingga 80 tahun, dan orang Srilanka hingga 76 tahun. Pertanyaannya: Apakah umur panjang tersebut menjadi indikator utama kebahagiaan hidup seseorang? Apakah seseorang yang meninggal dalam usia relatif muda bisa diartikan bahwa seseorang tersebut tidak bahagia dalam hidupnya? Haruskah seseorang berumur panjang agar bisa menjadi orang yang bahagia dalam hidupnya? Pada dasarnya setiap individu di dunia, apapun dan siapapun dia, sudah menjadi pemenang begitu dia lahir ke dunia karena terpilihnya dia untuk lahir dan hadir di dunia ini sendiri sudah merupakan suatu kompetisi yang berhasil dimenangkannya. Namun sebagai konsekuensi dalam menjalani kehidupan selanjutnya, setiap individu idealnya harus melalui berbagai tahapan/fase sejalan dengan bertambahnya umur dan berjalannya masa-masa dalam kehidupannya. Berdasarkan pengalaman dan kehidupan yang telah dijalani, Penulis memberanikan diri untuk mencoba membuat pembagian masa kehidupan seseorang menjadi 4 fase: Fase 1 (FEEDING) Umur 0 s/d 15 tahun (Bayi hingga SMP); Fase 2 (PROPOSITIONING) Umur 16 s/d 22 tahun (SMA hingga Kuliah); Fase 3 (VALUE CREATING/POSITIONING) Usia 23 s/d 40 tahun; dan Fase 4 (BALANCING/SMOOTHING) Umur 41 tahun s/d RIP. Untuk mempermudah Pembaca dalam memahami apa yang Penulis sampaikan dalam tulisan ini, berikut ilustrasi yang dapat menggambarkan/menjelaskan masing-masing fase diatas: Sekarang sudah lazim orangtua memperkenalkan gadget kepada anak-anaknya, bahkan pada usia sangat dini/balita. Seseorang pada Fase 1 (Feeding) sudah dibiasakan (socialized) mengenal gadget, sehingga muncul rasa ingin tahu (HOW). Maka, pada Fase 2 (Propositioning) dia akan terus membiasakan diri (internalized) dengan gadget, bahkan melihat gadget sebagai ”sesuatu” yang tidak terpisahkan dari hidupnya (WHAT). Namun pada Fase 3 (Value Creating/Positioning), yang bersangkutan akan lebih kritis dengan melakukan penilaian (personal judgement) apakah penggunaan gadget tersebut akan memberi benefit bagi dirinya, sehingga yang bersangkutanpun akan menentukan seberapa tingkat kebutuhan gadget disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhannya (WHY). Sikap dan kebiasaan yang terbentuk di Fase 3 tersebut akan berlanjut di Fase terakhir. Berbeda dengan fase sebelumnya, dalam fase terakhir (Balancing/Smoothing) individu diibaratkan melihat bagaimana gadget yang dimilikinya akan memberikan benefit bagi dirinya. Dalam fase kehidupan ini, akan lazim terjadi interupsi seperi layaknya”arus pendek/korsluiting”, yang akan menimbulkan ”kejutan-kejutan” dalam perjalanan hidupnya. Tapi layaknya menghadapi korsluiting listrik yang menyebabkan lampu padam, secara naluriah setiap individu pasti ingin kembali ke kondisi semula (lampu kembali menyala), dan karenanya akan berusaha agar kondisi kembali ”normal”. Interaksi terhadap berbagai interupsi yang dialami akan membuat individu tersebut terbiasa dan terlatih dalam mengantisipasi dan meredam ”kejutan-kejutan”. Hal ini menjadikan individu tersebut semakin matang (mature) sehingga secara naluriah mampu menentukan sikap dan membuat keputusan sesuai apa yang dihadapinya (WHO, WHEN, WHERE). Kehidupan ibarat permainan Tetris atau ibarat naik lift. Jika awalnya orang cenderung untuk memaksakan diri agar bisa naik lift senyaman mungkin tanpa mempedulikan keadaan sekitar, maka perjalanan waktu akan merubah sikap tersebut menjadi keinginan untuk berusaha agar lift bisa optimal, sehingga orang yang sudah berada dalam lift berusaha untuk memberikan ruang kepada orang lain yang akan masuk sesuai kapasitas muatan lift. Begitulah idealnya kehidupan berjalan, dimana pada akhirnya setiap orang seharusnya berusaha mencari keseimbangan untuk mendapatkan nilai-nilai hakiki sebagai bekal menjalani kesempurnaan hidup yang sesungguhnya, insya Allah. ”It’s not the sky that limits you, it’s your own vision does instead”