Assalammu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Welcome to Blog ADAM DIANSUNI IDIIL (ADID) MUTHALIB

Jumat, 28 Maret 2014

DIKHOTOMI OTONOMI DAN INDEPENDENSI

"Don't confuse a clear vision with a short distance." (Paul Saffo, Institute for the Future) Isu seputar otonomi daerah tidak pernah surut sejak pertama kali dicetuskan sebagai tindak lanjut reformasi, dan kemudian diimplementasikan. Mulai dari isu terkait dengan batas kewenangan, kriteria, pembagian hasil, sampai isu-isu yang intinya membicarakan pembagian “kue” kekuasaan yang menjadi terpecah-pecah (decentralized) sebagai konsekuensi dari otonomi daerah yang dijalankan di negara kita. Bahkan lebih jauh lagi, pemberlakukan otonomi daerah akhirnya mendorong pemecahan/pemekaran wilayah-wilayah dengan pertimbangan dan asumsi bahwa pengelolaan sumberdaya alam akan lebih lebih merata dan lebih fokus untuk kepentingan masyarakat di masing-masing wilayah. Pertimbangan awal otonomi daerah diberlakukan pasca reformasi adalah karena desakan untuk mendistribusikan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah, dengan tujuan agar dapat mempercepat proses pembuatan keputusan. Masing-masing pemerintah daerah (PEMDA) memfokuskan pada bagaimana cara meningkatkan nilai tambah/nilai jual daerahnya dengan memanfaatkan potensi sumberdaya yang ada di daereahnya secara maksimal. Dampaknya adalah eksklusivitas PEMDA-PEMDA tertentu yang memiliki keunggulan komparatif maupun kompetitif karena potensi sumberdaya kelolaan daerahnya. Eksklusivitas tersebut mendorong arogansi dan keinginan mendapatkan hak swakelola/share yang lebih besar, karena daerah-daerah tersebut merasa independen dan karenanya tidak membutuhkan bantuan pemerintah pusat maupun daerah lain. Otonomi daerah juga mengakibatkan banyak aturan-aturan negara yang tadinya diberlakukan secara nasional di seluruh daerah jadi “tidak punya gigi” lagi karena “dikalahkan” oleh kepentingan masing-masing daerah. Dampak otonomi daerah diperburuk lagi dengan adanya kepentingan individu-individu yang menjadi “elite” di pemerintahan daerah, dimana setiap penguasa daerah biasanya memiliki kepentingan masing-masing sebagai “raja lokal” sehingga terjadilah konflik kepentingan. Ekskalasi konflik-konflik kepentingan di daerah akhirnya mencuat di tingkat nasional, yang dampaknya lama-kelamaan memperlebar kesenjangan antara kepentingan nasional negara dan kepentingan daerah. Apabila kita melihat implementasi kebijakan Strategic Business Unit (SBU) di perusahaan, menurut hemat penulis dalam beberapa hal dapat dipersamakan dengan otonomi daerah. Tujuan yang ingin dicapai oleh top management dengan diberlakukannya SBU adalah agar setiap unit bisnis dapat lebih fokus dan detail dalam menggarap sektor/segmen bisnis yang telah ditetapkan oleh manajemen sebagai targetnya. Namun kondisi yang dapat timbul sebagai dampaknya adalah kecenderungan masing-masing unit bisnis hanya berusaha agar target bisnis unit kerjanya dapat tercapai, sehingga segala upaya dilakukan untuk membuat kinerja unit bisnisnya tampak hebat agar dikenal. Untuk memastikan implementasi SBU berjalan sesuai keinginan manajemen, diperlukan komitmen dan ketegasan dari unit kerja yang yang menjalankan fungsi mediasi agar konflik kepentingan antar unit bisnis dapat diminimalisir sehingga keberadaan SBU sebagai unit yang terintegrasi dapat meningkatkan daya saing organisasi di pasar. Keberadaan unit bisnis “moderator” sekaligus menjadi internal strategic partner bagi semua unit bisnis dalam mendapatkan kejelasan arahan strategi manajemen secara makro. Karena implementasi SBU yang tidak dilakukan secara sekaligus/komprehensif biasanya berdampak pada kurang jelasnya arahan yang didapatkan oleh unit bisnis, sementara di sisi lain unit bisnis selalu dituntut untuk dapat mencapai target. Kondisi seperti ini akan mendorong pimpinan setiap unit bisnis untuk selalu memikirkan strategi yang lebih sempit/mikro untuk keberhasilan unit bisnis yang dipimpinnya, terkadang tanpa memikirkan dampaknya secara luas ke organisasi. Seringkali keputusan manajemen untuk menerapkan satu kebijakan disusul dengan arahan untuk segera mengimplementasikannya, terkadang disertai dengan target waktu yang ditentukan oleh manajemen berdasarkan pertimbangan prestise perusahaan di pasar. Keputusan seperti ini seringkali mengharuskan untuk menetapkan dulu target waktu implementasi sesuai keinginan manajemen, baru kemudian menetapkan aturan/ketentuan sambil berjalan (learning by doing). Hal positif dari gaya implementasi seperti diatas adalah target waktu menjadi terukur dan relatif pasti (measurable & framed), sehingga sangat sesuai dan mendukung keinginan pembuat keputusan. Namun di sisi lain, ada beberapa kutipan pendapat yang patut dipertimbangkan terkait gaya implementasi seperti diatas, yaitu: • "If you fail to plan, you are planning to fail." - unknown : perencanaan yang baik dapat menjadi kunci kesuksesan. • “It’s easier to act your way into a new way of thinking than to think your way into a new way of acting.” - Monique Sternin : lebih mudah menuangkan pemikiran sebagai suatu konsep daripada mengimpelementasikannya. • “Any man who can drive safely while kissing a pretty girl is simply not giving the kiss the attention it deserves.” - Albert Einstein : suatu pemikiran/perbuatan yang baik seharusnya dilakukan dengan kesungguhan. • "Competition brings out the best in products and the worst in people." - David Sarnoff : Persaingan dapat menimbulkan jarak antara mereka yang bersaing. • "When a ship sinks, does it matter whether the water came in through a small hole or a large one?" - St. Augustine : Ketidakselarasan dan tidak adanya kerjasama internal yang baik akan berpotensi melemahkan organisasi. Jadi kembali ke dikhotomi antara otonomi dan independensi, pertanyaan yang harus dijawab oleh semua pihak adalah apakah kekuasaan dan kewenangan dapat dijadikan pembenaran untuk memaksakan implementasi keputusan sesuai keinginannya, dengan cara dikemas sebagai suatu kebijakan dengan pertimbangan untuk mendapatkan prestise?