Assalammu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Welcome to Blog ADAM DIANSUNI IDIIL (ADID) MUTHALIB

Selasa, 27 Januari 2015

FUNGSI EDUKASI PERBANKAN

"Don't confuse a clear vision with a short distance." (Paul Saffo, Institute for the Future) Musibah yang menimpa penumpang dan awak pesawat Air Asia menjelang pergantian tahun merupakan sebuah tragedi yang menyisakan rasa duka yang panjang dan mendalam. Kecelakaan tersebut menambah daftar musibah kecelakaan pesawat yang kerap terjadi di negeri ini dan menimbulkan keprihatinan mendalam bagi seluruh elemen bangsa. Tanpa mengurangi rasa prihatin atas kejadian tersebut, yang menarik adalah mengikuti berita penanganan jatuhnya pesawat Air Asia. Berbeda dengan kecelakaan-kecelakaan yang terjadi sebelumnya, penanganan kecelakaan yang terjadi pada awal pemerintahan Presiden Jokowi diwarnai dengan semangat dan respons yang positif dari berbagai pihak, baik instansi yang terkait langsung karena tugas maupun anggota masyarakat yang bersimpati. Seluruh pihak yang bertugas maupun para simpatisan melakukan koordinasi secara terpadu serta fokus pada tujuan untuk penyelamatan penumpang dan awak pesawat yang jatuh, dan semuanya tunduk dan berada di bawah satu komando yaitu Badan SAR Nasional (BASARNAS). Terpadunya koordinasi upaya penyelamatan diatas, selayaknya bisa dijadikan referensi dalam bisnis perbankan di negara kita. Sejauh ini kita sudah melihat bagaimana gencarnya upaya yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah yang berfungsi sebagai regulator, dalam mengatur pengelolaan bisnis perbankan maupun institusi keuangan lainnya di negara kita. Salah satu tujuannya adalah untuk memastikan agar perbankan maupun institusi keuangan lainnya dapat menjalankan fungsinya secara menyeluruh, termasuk fungsi edukasi yaitu untuk mendukung pendidikan di masyarakat agar seluruh anggota masyarakat sadar dan mau menabung/berinvestasi, serta meninggalkan gaya hidup konsumtif. Lembaga-lembaga regulator telah membuat aturan-aturan untuk mengantisipasi persaingan di dunia perbankan dalam mengakuisisi nasabah, seperti membatasi “perang bunga” (price war) maupun persaingan pemberian hadiah seperti kendaraan bermotor dan barang-barang elektronik sebagai bentuk reward kepada nasabah. Namun sangat ketat dan kerasnya persaingan membuat bank-bank mencari-cari cara lain guna mensiasati aturan-aturan yang ada agar dapat memenangkan persaingan yang tampak jelas di depan mata, dan melupakan fungsi dan visi untuk mengedukasi masyarakat. Bank-bank di Indonesia berlomba-lomba membuat marketing program dengan tujuan untuk menggaet dana masyarakat, yang intinya mengiming-imingi hadiah bunga atau berbagai barang yang justru mendorong masyarakat malah menjadi konsumtif. Di sisi lain, ketatnya persaingan dalam membuat berbagai program tersebut memunculkan permasalahan naiknya biaya, baik cost of fund maupun cost of marketing yang semakin membebani kinerja bank. Bandingkan dengan keadaan di Jepang. Masyarakat Jepang memiliki kesadaran yang sudah sangat tinggi utuk menabung/berinvestasi, sehingga mendorong mereka untuk tidak bergaya hidup konsumtif. Suku bunga perbankan di Jepang sudah demikian rendah, bahkan hampir mencapai 0%. Bagi perbankan disana, menaikkan suku bunga di dalam negeri tidak termasuk dalam pilihan karena tidak akan berpengaruh secara signifikan bagi masyarakat Jepang yang sudah investment-minded. "The ability to understand doesn't automatically confer the ability to change." (Robert Parker). Ungkapan tersebut sangat tepat untuk menggambarkan bagaimana perilaku bank-bank di Indonesia seperti yang digambarkan diatas. Di satu sisi bank-bank di Indonesia berusaha untuk mengembangkan bisnisnya untuk dapat meningkatkan profit yang dihasilkan. Namun dengan kondisi persaingan nyaris sempurna yang terjadi di industri perbankan, mendorong langkah-langkah pengembangan bisnisnya banyak dilakukan dalam bentuk pricing strategy yang justru menekan laba. Walaupun mereka memahami perlunya merubah strategi ke arah edukasi yang akan dapat menekan biaya, namun sulit bagi mereka untuk menjalankannya karena ketidakyakinan bahwa bank-bank lain memiliki visi dan strategi yang sama sehingga akan melakukan hal yang sama. Akibatnya tidak seperti upaya penyelamatan korban pesawat Air Asia, langkah-langkah di dunia perbankan menjadi tidak fokus dan tidak terkoordinasi secara terpadu. Untuk itu, perlu adanya gerakan bersama yang didorong oleh semangat dan komitmen yang dikoordinasikan secara terpadu untuk merubah perilaku masyarakat (consumer behavior) terhadap perbankan. Tujuannya yaitu mengedukasi dan mendorong masyarakat agar tidak konsumtif, dan memanfaatkan bank serta institusi-institusi keuangan lainnya sebagai tempat menabung dan berinvestasi, dan bukan untuk mendapatkan hadiah yang menjadi mindset mereka selama ini. Contoh kongkrit yang dapat dilakukan oleh perbankan adalah dengan mempertimbangkan bentuk lain dalam pemberian reward kepada nasabah yang sejalan dengan fungsi bank untuk mengedukasi masyarakat agar gemar menabung/berinvestasi. Misalnya hadiah yang diberikan berupa obligasi, reksadana, asuransi, emas, dan barang-barang lainnya yang bernilai investasi, sehingga mendorong masyarakat untuk giat/sadar melakukan kegiatan finansial secara positif, dan bukan sebaliknya secara tidak langsung mendorong mereka justru untuk semakin berperilaku konsumtif seperti yang terjadi selama ini. Apabila hal ini dapat dikoordinasikan untuk dilaksanakan secara bersama-sama oleh seluruh bank di Indonesia sebagai bagian dari strategi, maka tidak mustahil akan mendorong turunnya cost of fund. Selain itu, akan terbuka peluang untuk kerjasama yang lebih baik lagi antara perbankan dengan institusi-institusi keuangan lainnya yang mengelola investasi baik sebagai selling agent/cross selling maupun dalam bentuk bundling program, tentunya di bawah koordinasi terpadu pemerintah sebagai regulator keuangan misalnya dengan menetapkan parameter-parameter baru dalam mengukur dan menentukan kesehatan lembaga keuangan.