Assalammu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Welcome to Blog ADAM DIANSUNI IDIIL (ADID) MUTHALIB

Selasa, 27 Januari 2015

KETIKA TUJUAN MENGHALALKAN CARA

"No man has a good enough memory to be a successful liar."(Abraham Lincoln) Sebagaimana kondrat yang telah ditentukan Allah untuk manusia, maka setiap manusia yang terlahir ke bumi sudah mendapatkan fitrahnya untuk menjadi seorang pemimpin, paling tidak pemimpin bagi dirinya sendiri ataupun bagi lingkungan terdekatnya seperti keluarga. Kodrat sebagai pemimpin di muka bumi ini dipertegas oleh hakikat dan predikat khusus yang diberikan Allah hanya kepada setiap insan manusia, yaitu menjadi khalifah (utusan) Allah. Dalam perjalanan kehidupannya, manusia sebagai mahluk yang lemah seringkali teralihkan perhatiannya dari tujuan utama hidup oleh target-target sementara yang sifatnya fana dan duniawi. Perjalanan kehidupan dunia yang relatif dirasakan panjang dan lama membuat manusia terkadang menciptakan target-target antara yang sifatnya subyektif dan penuh dengan pembenaran. Padahal kehidupan di dunia sendiri merupakan sebuah proses perjalanan menuju tujuan akhir yang sebenarnya, sehingga target-target antara yang diciptakan di dunia seharusnya hanya bersifat sementara dan merupakan bagian dari proses perjalanan, bukan tujuan. Sebagaimana layaknya sebuah proses, maka perjalanan kehidupan berkaitan erat dengan perjalanan waktu. Permasalahan yang muncul dan seharusnya dirasakan manusia bukanlah betapa terbatasnya waktu yang harus dilalui di dunia, namun bagaimana manusia memanfaatkan waktu agar dapat menjalankan kewajiban sebagai khalifah sehingga tidak membuatnya termasuk golongan yang merugi. Seorang pemimpin yang amanah bukan hanya menyuruh kepada yang lain untuk berbuat, namun juga selalu memberikan contoh yang baik (uswatun hasanah) secara ikhlas dan konsisten, atau yang dalam bahasa manajemen modern dikenal dengan istilah “walk the talk”. Mengutip ucapan Winston Churchill “I am always ready to learn, although I do not always lilke being taught”, seseorang diikuti dan dijadikan panutan dengan ikhlas bukan karena apa yang dia perintahkan namun apa yang dicontohkan secara konkrit dalam perbuatannya sehari-hari. Saat ini banyak bermunculan pemimpin-pemimpin baru yang pada awalnya dijadikan panutan oleh yang lain karena perbuatan-perbuatannya terlihat membawa kepentingan umum pada kesan pertama, atau yang dalam ilmu Sosiologi disebut sebagai impression management. Namun seiring perjalanan waktu, apa yang dilakukan oleh sebagian pemimpin-pemimpin tersebut ternyata bukanlah didasari oleh fitrahnya sebagai insan yang ingin mencapai tujuan utamanya di dunia sebagai khalifah. Banyak yang menjadikan kepemimpinan ataupun kekuasaan yang didapatkannya tersebut sebagai tujuan-tujuan antara untuk mencapai kepentingan-kepentingan pribadinya yang dianggap lebih berharga walaupun mereka tahu pencapaian tersebut sifatnya semu dan sementara. Kita mengenal istilah-istilah yang muncul di masyarakat untuk memberikan gambaran tentang kondisi-kondisi seperti diatas. Ada istilah STMJ yang dipelesetkan menjadi “Sholat Terus, Maksiat Jalan”, NATO (“No Action, Talk Only”), atau istilah yang lebih dikenal secara global seperti “The End Justifies the Means” (Tujuan Menghalalkan Cara). Istilah-istilah tersebut sebagai sindiran atas apa yang banyak terjadi di masyarakat. Seharusnya, suatu perbuatan tidak hanya dilihat dari hasil akhirnya, tapi juga dilihat bagaimana proses yang dilalui untuk mencapai tujuan tersebut. "The ability to understand doesn't automatically confer the ability to change." (Robert Parker). Secara umum, setiap kelompok masyarakat secara kolektif sudah menyadari akan pentingnya peran moral dan ketertiban dalam menjaga tatanan kehidupan yang baik. Setiap anggota masyarakat secara sadar maupun tidak sadar dituntut untuk berlaku sesuai norma-norma yang berlaku. Pelajaran tentang norma agama dan etika terus diajarkan dan didapat sejak manusia mulai bergaul dengan lingkungannya. Namun seringkali hal pengetahuan tersebut hanya dalam tataran teoritis, tidak dilaksanakan dalam praktek sehari-hari. Kita tahu bahwa kenyataannya banyak tokoh-tokoh masyarakat yang dikenal karena pemahamannya yang sangat baik tentang norma-norma sosial maupun agama, ternyata perbuatannya tidak dapat dijadikan panutan. Tujuan pendidikan etika dan agama adalah agar manusia membangun sistem pertahanan diri sehingga terhindar dari perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Namun agar sistem pertahanan diri tersebut bisa terbangun dengan baik dan utuh, perlu adanya “law enforcement mechanism”. Idealnya manusia jika akan berbuat yang tidak sesuai norma, maka kesadaran dalam dirinyalah (self control) yang akan menjadi early warning system yang memastikan dirinya melakukan perbuatan halal dan thoyib. Mekanisme yang lain seperti social punishment maupun law punishment control hanya akan menghalangi, namun tidak mencegah manusia dari perbuatan istidraj, karena Allah tetap memberikan peringatan untuk perbuatan yang dilakukan untuk tujuan baik, namun cara/underlyingnya tidak halal. Belajar dari metodologi pembelajaran yang diterapkan oleh Bank dimana Penulis saat ini bekerja, yaitu ”I Know, I Learn, I Share”, maka apa yang kita ketahui seyogyanya juga perlu mekanisme untuk memastikan bahwa hal-hal tersebut telah dilaksanakan, yaitu dengan cara berbagi pengalaman kepada orang lain melalui berbagai media, yang intinya adalah menginformasikan apa yang telah kita praktekkan (Walk the Talk). Dan bukan dengan cara sebaliknya yaitu ”I Want, I Go, I Don’t Care”, yaitu dengan cara memajukan kepentingan-kepentingan pribadi saja yang kita paksakan untuk dilaksanakan dengan mengatasnamakan kepentingan atau kinerja bersama/organisasi, yang pada akhirnya setelah hasilnya menunjukkan ketidakharmonisan, dilakukan pembenaran dengan mengatasnamakan dinamika perubahan dalam organisasi (faktor internal) ataupun perubahan yang diperlukan mengikuti tuntutan persaingan (faktor eksternal). Wallahua’lam.