Assalammu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Welcome to Blog ADAM DIANSUNI IDIIL (ADID) MUTHALIB

Minggu, 23 Mei 2010

MENCIPTAKAN ‘COMFORT ZONE’ PEGAWAI

“If you treat people right, they will treat you right – at least 90 percent of the time.” (Franklin Delano Roosevelt)


Dalam kehidupan sehari-hari sudah sering kita mendengar istilah “comfort zone”. Di lingkungan kerja, istilah ini bahkan sudah mempunyai makna tersendiri. Dalam pekerjaan, “comfort zone” cenderung dipersepsikan sebagai hal negatif karena munculnya “comfort zone” yang memanjakan pegawai dianggap sebagai penyebab menurunnya produktifitas dan kinerja.

Pertanyaannya: Apakah benar demikian? Benarkah “comfort zone” merupakan suatu kondisi yang harus dihindari di tempat kerja karena secara psikologis dapat mempengaruhi kinerja pegawai sehingga menjadi tidak produktif? Sebaliknya, jika jawabannya tidak, dalam batasan apakah “comfort zone” memang diperlukan pegawai, dan perlukah difasilitasi secara khusus?

Lingkungan kerja merupakan suatu komunitas terbatas. Idealnya interaksi yang terjadi di tempat kerja cenderung lebih intensif dan mendalam. Namun dalam kenyataannya interaksi antar individu di tempat kerja tidak selalu demikian. Mengapa? Karena tidak semua individu yang ada bisa merasakan keterikatan (bounded) dan merasa aman (secure) ketika berinteraksi dengan individu lain di lingkungan kerjanya. Apabila kondisi ini terjadi maka akan mempengaruhi terciptanya suasana kerja kondusif yang ajeg.

Salah satu akibat yang mungkin ditimbulkan oleh suasana diatas adalah tingginya angka keluar-masuk (turnover) pegawai. Untuk jangka pendek hal ini mungkin tidak terlalu berpengaruh karena bisa diatasi dengan rekrutmen baru. Namun untuk jangka panjang dampaknya bisa bersifat fundamental bagi perusahaan, yaitu selain meningkatnya direct cost misalnya untuk biaya rekrutmen, juga bisa menimbulkan indirect cost akibat persepsi negatif terhadap perusahaan.

Pada prinsipnya setiap perusahaan selalu berusaha mempertahankan pegawai yang memiliki kinerja baik. Lalu apa yang menyebabkan betah-tidaknya pegawai bekerja di suatu perusahaan?

Dilihat dari sisi motivasi, ada tiga faktor utama yang membuat seseorang tetap berdedikasi di tempat kerjanya, yaitu karena:
• melakukan jenis pekerjaan yang disukai,
• berada di lingkungan kerja yang menyenangkan, dan
• adanya sistem remunerasi yang dianggap memadai.

Semakin lengkap ketiga faktor itu terpenuhi, maka akan semakin betah seseorang di tempat kerjanya. Namun terpenuhi-tidaknya ketiga faktor tersebut tentunya dipengaruhi faktor-faktor seperti kondisi internal pegawainya sendiri karena preferensi setiap orang berbeda, atau karena memang manajemen tidak berhasil menghadirkan salah satu atau ketiga faktor tersebut di tempat kerja.

Secara naluriah, tujuan seseorang dalam bekerja atau mencari nafkah tentunya untuk mencapai kesejahteraan dan kemapanan hidup. Didorong oleh tujuan tersebut maka diapun berusaha menjaga semangat untuk memberikan konsistensi kinerja yang positif dimanapun dia bekerja. Lalu bagaimanakah peran manajemen (baca: atasan) untuk menghadirkan semangat tersebut?

Disinilah seorang atasan perlu untuk tidak hanya mengetahui namun juga menyadari dan memahami preferensi masing-masing pegawai di dalam timnya. Tentunya tidaklah bijaksana apabila seorang atasan menyamaratakan preferensi semua bawahannya hanya dari sisi materi karena menganggap bahwa perusahaan telah memberikan sistem remunerasi yang memadai. Mengutip ulasan yang diberikan oleh ibu Eileen Rachman di harian Kompas, diperlukan keahlian dari seorang pemimpin untuk dapat memelihara kesadaran (awareness) agar bisa melakukan antisipasi, membuat asumsi, memprediksi dan mengelola banyak kegiatan pikir lainnya yang tidak bisa dikuasai melalui latihan saja, melainkan perlu diasah secara individual.

Semakin tinggi kesadaran (awareness) seseorang, maka akan semakin tinggi kemampuannya untuk menangkap tidak hanya yang tersurat tapi juga yang tersirat. Hal ini melibatkan penghayatan sosial, religius dan emosi. Semakin sering seseorang mengasah kemampuan menalar lingkungannya, maka akan semakin sensitif kesimpulan yang diambil untuk membuat suatu keputusan karena dia bisa menemukan hal-hal yang terlewat, seperti mengenal potensi anak buah secara mendalam, meramalkan kesuksesan anak buah, serta memilih anak buah yang bisa dia percaya.

Seorang atasan harus memiliki kesadaran (awareness) tentang keadaan di unit kerjanya, dan tidak boleh mengabaikannya karena dengan kemampuannya tersebut dia akan dapat menciptakan suasana kerja yang saling menghargai, saling percaya dan bekerjasama. Mengutip ucapan Benjamin Franklin: ”To be humble to superiors is duty, to equals courtesy, to inferiors nobleness”. Dengan kemampuan itu pula dia akan dapat membuat seluruh pegawainya menikmati peran dan tugas masing-masing di tempat kerjanya. Dengan kata lain, setiap pegawai akan merasa nyaman dan bergairah dalam bekerja. Kondisi ini tentunya akan berpengaruh positif terhadap kinerja pegawai. Mari jadikan lingkungan kerja sebagai “comfort zone” untuk seluruh pegawai!