Assalammu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Welcome to Blog ADAM DIANSUNI IDIIL (ADID) MUTHALIB

Jumat, 28 Mei 2010

TIGA MENUJU SEMPURNA

“High achievement comes from high aims.”
- King Ching of Chou (1100 B.C.)

Dalam suatu sesi training yang Penulis ikuti, pernah muncul pertanyaan yang diajukan oleh salah satu peserta training dari unit kerja lain. Pertanyaan yang diajukan sekilas terdengar sangat “rutin” dan bernada mengeluh: Sebenarnya apa sih yang diinginkan oleh manajemen? Sebelumnya seluruh unit kerja diberikan arahan untuk memfokuskan target kepada pencapaian contribution margin. Namun kemudian seperti ada perubahan target dari manajemen yang semula fokus pada contribution margin beralih ke market share. Apakah yang sebenarnya ingin dituju manajemen?

Menurut Penulis, apa yang dilakukan oleh manajemen perusahaan seperti hal diatas belum tentu merupakan perubahan kontroversial yang muncul akibat distorsi ataupun disorientasi target yang dialami manajemen. Justru tampaknya hal tersebut dilakukan sebagai bagian dari strategi manajemen dalam mengkalibrasikan target serta merealisasikan upaya-upaya pencapaiannya. Karena organisasi bisnis manapun tentunya akan menempatkan laba sebagai tujuan utama, atau seperti istilah sehari-hari yang sering kita dengar bahwa tujuan utama adalah “Ujung-ujungnya duit!”.

Lantas bagaimana hubungan antara contribution margin dan market share? Contribution margin (CM) merupakan indikasi besarnya keuntungan yang bisa diciptakan oleh suatu perusahaan dari transaksi produk dan jasa yang dilakukannya dengan counterparty. Sementara market share (MS) biasanya dijadikan indikasi terhadap kesuksesan perusahaan dalam melakukan penetrasi di pasar.

Dari penjelasan diatas, pertanyaannya adalah apakah suatu perusahaan yang memiliki CM besar berarti akan mampu melakukan penetrasi pasar lebih agresif? Atau justru bila memiliki MS yang dominan maka suatu perusahaan akan mampu menciptakan CM yang besar? Atau bahkan hubungan keduanya seperti ayam dan telur?

Sebetulnya kedua premis diatas benar, namun memerlukan satu aspek lagi untuk bisa membuat hubungannya tidak seperti ayam dan telur, yaitu adanya brand equity. Brand equity (BE) dapat dipahami secara bebas sebagai marketing value yang diberikan oleh brand perusahaan sebagai intangible asset dimana keberadaannya bisa meningkatkan positioning perusahaan maupun produk-produk yang dijualnya. Seperti ungkapan sehari-hari yang sering kita dengar “Posisi menentukan prestasi”, semakin baik posisi brand suatu perusahaan, maka akan besar peluang perusahaan tersebut untuk dapat menikmati premium price karena semakin tinggi positioning suatu brand biasanya semakin rendah sensitifitas pelanggan terhadap harga produk dan/atau jasa yang dipasarkan dengan brand tersebut.

Keterkaitan ketiganya adalah dengan adanya brand equity yang dinilai tinggi oleh masyarakat (baca: konsumen), maka berarti mereka mempersepsikan produk/jasa yang dikaitkan dengan brand tersebut memiliki kualitas tinggi pula. Akibatnya penetrasi pasar yang dilakukan biasanya akan lebih mudah karena persepsi positif yang dimiliki masyarakat terhadap brand tersebut. Ditambah dengan adanya premium price yang dimiliki, maka kombinasi keduanya akan meningkatkan MS dan CM. Dalam konteks keilmiahan, bias dikatakan BE berperan sebagai independent variable sementara dua lainnya menjadi dependent variable.

Namun demikian, keberadaan ketiganya dalam perusahaan dapat diibaratkan seperti tripod yang melambangkan kehandalan dalam menopang kestabilan posisi benda yang didukung. Namun demikian, kesempurnaan dukungannya tergantung pada keseimbangan ketiga kakinya yang menjadi kekuatan utama.

Artinya, suatu perusahaan yang didukung oleh adanya ketiga hal yaitu CM, MS dan BE memiliki potensi kekuatan yang akan menopang eksistensi perusahaan secara konsisten. Yang selanjutnya perlu dilakukan adalah bagaimana strategi mengembangkan dan memelihara ketiganya secara simultan agar tumbuh seimbang dalam perusahaan sehingga benar-benar dapat menjadi tiang penopang yang sempurna bagi perusahaan.

Ketidakseimbangan pertumbuhan ketiga hal tersebut dalam perusahaan dapat diibaratkan seperti sebuah tripod yang memiliki tiga kaki yang tidak sama panjang. Bayangkan tripod yang kaki-kakinya tidak seimbang, akibatnya walaupun tripod tersebut masih tetap dapat berdiri dan berfungsi menopang, namun dengan salah satu saja kakinya lebih pendek maka tripod tersebut tidak akan mencapai ketinggian yang ideal yang diperlukan seorang fotografer untuk mendapatkan sudut yang tepat dalam membidik obyek.

Tantangan yang harus dijawab adalah bagaimana meningkatkan BE? Menyitir ucapan Henry Ford “You can’t build a reputation on what you are going to do”, maka segera lakukan inovasi atau diferensiasi agar brand yang dimiliki selalu menjadi yang pertama diingat oleh konsumen diantara seluruh brand pesaing (top of mind/brand salience). Dalam beberapa kasus pemuatan iklan secara gencar kelihatannya dapat meningkatkan awareness konsumen walaupun belum bisa dibuktikan keterkaitan langsung antara iklan dengan peningkatan akuisisi pelanggan.

Cara lainnya adalah dengan masuk ke niche market. Namun upaya ini harus diiringi dengan kemampuan untuk mengedukasi (baca: men-drive) kebutuhan konsumen yang lebih luas untuk segmen tersebut dalam rangka memperluas pasar. Tetap waspada, karena para pesaingpun tentu akan berusaha masuk ke niche market yang menggairahkan. Maka jika ketiga kaki tripod sudah tegak berdiri dengan kokoh, lensa sudah terpasang dengan mantap …… let’s shoot the market!!