Assalammu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Welcome to Blog ADAM DIANSUNI IDIIL (ADID) MUTHALIB

Minggu, 13 Maret 2016

MELAWAN DILEMA

"You can't build a reputation on what you are going to do." (Henry Ford) Fenomena yang menarik di negara Indonesia adalah bisa bersatunya dua “budaya/karakter” yang berlawanan dalam satu individu karena mengikuti kepentingan, yaitu budaya ngetem dan budaya instan. Budaya ngetem biasanya muncul pada waktu seseorang tersebut menjadi penyedia layanan (service provider), sementara budaya instan muncul pada waktu orang yang sama menjadi pelanggan (customer). Istilah ngetem sendiri rasanya hanya ada di Indonesia, karena sulit mencari padanan katanya dalam bahasa internasional misalnya bahasa Inggris. Banyak contoh aktivitas yang memperlihatkan bagaimana budaya ngetem dilakukan. Hal yang paling kita kenal dalam keseharian adalah angkutan umum yang terbiasa berhenti di suatu lokasi tertentu untuk waktu tertentu, menunggu calon penumpang hingga dirasa cukup oleh si awak bis. Namun contoh tersebut bukan hanya di jalan. Kita sering melihat di berbagai acara resmi kantor yang waktunya sudah ditentukan, ternyata tertunda untuk dimulai karena pertimbangan yang sama seperti angkutan umum yang ngetem, misalnya menunggu undangan penuh atau menunggu seseorang yang diperlakukan sebagai undangan khusus/VIP. Demikian pula seringkali kita melihat aktifitas kantor selama jam kerja yang ternyata banyak diisi dengan “haha-hihi” yang berkelanjutan atau lunch time yang molor. Bila hal seperti ini kerap dilakukan atau bahkan menjadi kebiasaan, maka aktivitas di kantor tersebut bisa diibaratkan seperti ngetem dengan resiko penumpukan kerja yang bias menjadi opportunity loss. Atau dampak lainnya adalah bertambahnya biaya lembur, yang jika berulang terjadi bisa berakibat pada kenaikan overhead cost dan menurunnya produktifitas karena secara alamiah efektivitas beban tubuh manusia sudah diatur dan diukur sedemikian rupa oleh Allah. Dampak kedua hal tersebut secara kolektif adalah menurunnya competitiveness perusahaan. Pertanyaan selanjutnya berkaitan dengan budaya ngetem adalah mana yang seharusnya dilakukan, apakah menunggu hingga penuh (sempurna) baru jalan, atau biarkan semua berjalan mengikuti waktu Pada dasarnya kita harus memiliki keyakinan bahwa Allah sudah mengatur segalanya, sehingga kita tinggal mengikuti jalan/caraNya. Manusia tidak dapat menghentikan waktu dengan segala konsekuensi kejadian yang tidak bisa diputar kembali oleh manusia. Atas dasar keyakinan tersebut, maka sebagai mahluk kita tinggal menjalankan segala rencana Allah dengan tawakal karena tidak ada satupun kejadian di dunia ini kecuali dengan izin Allah. Berkaitan dengan munculnya pandangan seperti diatas, kita perlu melihat dua hal yang jika dipahami sepintas, keduanya dianggap mempunyai pengertian yang sama, yaitu : ngetem dan tawakal. Keduanya seringkali dimaknai tidak berbuat apa-apa karena biasanya individu yang melakukan masing-masing dari kedua hal tersebut cenderung terlihat pasif, yaitu menunggu sesuatu yang akan terjadi padanya. Tetapi jika kita melihat implementasi dari kedua hal tersebut tersebut secara end to end sebagai suatu proses, maka kita akan melihat bahwa keduanya tidak hanya dapat dimaknai sebagai dua hal yang relatif sama, namun justru bahkan sama sekali berbeda. Kita bisa melihat bahwa apabila kita melakukan ikhtiar dengan tawakal berarti kita telah melakukan sesuatu yang benar dengan didasari keyakinan bahwa apa yang terjadi adalah dengan izin Allah. Hal ini tentunya berbeda dengan ngetem, yaitu diam menunggu apa yang akan datang/terjadi pada kita, namun setelah itu kita melakukan tindakan secara berbeda (kontradiktif) yaitu terburu-buru dan cenderung impulsif dengan dalih mengejar rezeki Allah. Belakangan ini di media sosial kita melihat banyak beredar komentar-komentar yang skeptis terhadap upaya-upaya yang tengah dilakukan oleh pemerintah dalam mengembangkan infrastruktur di negara kita. Berbagai komentar yang muncul, sebagian besar intinya adalah menganggap bahwa upaya-upaya pembangunan yang dilakukan dirasakan lambat dan tidak langsung mengena ke masyarakat sehingga dipertanyakan efektivitasnya. Mengutip ucapan Ernest Hemingway “Never confuse movement with action”, seharusnya komentar-komentar seperti itu bisa disikapi secara bijak dan dewasa agar tidak menimbulkan dilema yang meluas di masyarakat. Bagi kita sebagai bagian dari masyarakat, pilihannya adalah apakah akan mendukung polemik yang terus diciptakan dan secara cepat atau lambat akan membawa kita kembali kepada kondisi ngetem (status quo), atau justru mendukung dengan keyakinan bahwa perubahan yang sedang terjadi adalah atas izin Allah, serta mendahulukan prasangka baik (husnudzon) bahwa ikhtiar yang sedang dilakukan oleh para pemimpin bangsa merupakan bentuk tindakan yang didasari oleh sikap tawakal kepada Sang Pencipta. Apabila setiap anggota masyarakat sudah memiliki keyakinan dan sikap tawakal demikian, maka akan berkuranglah dilema yang justru akan memecah-belah masyarakat. Kondisi ini akan menguntungkan pihak-pihak yang sebelumnya merasa dirugikan akibat terjadinya perubahan, dan berpotensi menimbulkan bahaya yang lebih besar apabila kita tidak bersatu. Maka kuncinya adalah bertawakalah kepada Allah. “One of the basic causes for all the trouble in the world today is that people talk too muh and think too little. They act impulsively without thinking. I always try to think before I talk.” (US Senator Margaret Chase Smith) Mandiri University Group (14032016)